Meski disebut berada di ”masa transisi”, Inggris memulai hari ini dengan berada di luar Uni Eropa. Perpisahan yang dahulu hampir mustahil kini menjadi kenyataan.
Oleh
·2 menit baca
Dinamika politik yang tinggi selama lebih dari tiga tahun, yakni sejak diadakan referendum British Exit (Brexit) pada 2016, menjadi tanda bahwa proses keluarnya negara itu dari Uni Eropa (UE) sangat tidak mudah. Pendukung keluarnya Inggris dari UE gigih mendorong Brexit. Di sisi lain, kubu yang menginginkan Inggris tetap berada bersama UE tidak kalah keras. Perpecahan tak hanya terjadi di antara elite politik atau politisi di parlemen, tetapi juga di tengah masyarakat.
Referendum Brexit dimenangi pendukung keluarnya Inggris dari UE dengan 52 persen berbanding 48 persen. Umumnya, pemilih di kota besar Inggris memilih tetap berada di UE, sementara pemilih di kota-kota kecil memilih berpisah. Irlandia Utara dan Skotlandia tegas memilih tetap bergabung dengan UE.
Negosiasi proses keluarnya Inggris berlangsung berlarut-larut antara London dan Brussels. Saat kesepakatan tercapai antara Pemerintah Inggris dan UE, naskah tersebut beberapa kali tidak disetujui parlemen Inggris. Kebuntuan ini dinilai telah menyebabkan parlemen Inggris nyaris lumpuh.
Setelah Perdana Menteri Inggris Boris Johnson, politisi Partai Konservatif, dan pendukung Brexit menggelar pemilu serta mendapatkan tambahan kursi cukup banyak, proses di parlemen berjalan lebih mulus. Naskah yang mengatur proses keluarnya Inggris dapat disepakati.
Dalam periode transisi yang dimulai pada 1 Februari hingga 31 Desember 2020, Inggris sesungguhnya sudah berada di luar UE, tetapi masih bisa menikmati regulasi perdagangan dengan UE. Selama transisi, digelar negosiasi lanjutan untuk menentukan banyak hal, antara lain hubungan dagang UE dan Inggris pasca-31 Desember 2020.
Pada masa transisi dan mungkin juga pasca-31 Desember 2020, diperkirakan perbedaan tajam di antara kedua kubu masih terjadi. Wali Kota London Sadiq Khan yang berasal dari Partai Buruh, misalnya, menjelang 1 Februari 2020, menyatakan, ibu kota Inggris akan tetap bersifat ”global” dan tetap merupakan ”kota Eropa”. London selamanya mengusung ide progresif, nilai-nilai kebebasan, dan terus menyambut orang dari seluruh dunia tanpa memedulikan warna kulit mereka. Selama ini Khan memang dikenal mengaitkan Brexit sebagai bagian dari sikap ”anti-orang asing”.
Sebaliknya, Nigel Farage, aktivis anti-UE, bersiap menggelar perayaan keluarnya Inggris dari UE. Bagi para aktivis Brexit, UE selama ini terlalu birokratis dan membuat Inggris tak memiliki kebebasan.
Situasi inilah yang harus dikelola Inggris, terutama pemerintahnya. Brexit telah menjadi kenyataan, dan yang harus dipastikan ialah babak baru ini mampu membuat rakyat Inggris tetap sejahtera, dan negara itu terus berkontribusi positif bagi kawasan serta dunia.