Sendiri?
Saya telah banyak mendengar bagaimana seseorang bisa menjadi begitu kesepian, merasa sendiri, dan merasa tak ada orang yang memedulikan mereka.
Saya telah banyak mendengar bagaimana seseorang bisa menjadi begitu kesepian, merasa sendiri, dan merasa tak ada orang yang memedulikan mereka. Cerita saya di bawah ini membuat saya menyimpulkan bahwa tak ada seorang pun yang boleh berpikir demikian.
Perhatian
Sejak Tahun Baru, saya bolak-balik ke rumah sakit. Memeriksakan kesehatan ke beberapa dokter spesialis. Di luar rumah sakit, saya juga masih mendatangi beberapa dokter yang memiliki klinik sendiri. Kalau biasanya saya hanya memeriksakan keadaan ginjal, sekarang ditambah memeriksa liver, paru-paru, dan air dalam rongga perut.
Sampai tulisan ini saya setor ke meja redaksi, tak ada satu pun dokter yang saya datangi tahu penyebab adanya air dalam rongga perut itu. Air itu tak hanya bercokol di dalam perut, tetapi juga ada dalam paru-paru. Bahkan, hasil menyedot paru-paru kanan saya menghasilkan cairan sebanyak 750 cc.
Semua itu saya lakukan sendiri tak ada yang menemani. Sampai seorang suster bertanya kepada saya, mengapa saya tak mengajak istri dan anak saya. Saya jelaskan kalau saya ini lajang lapuk. Ia hanya tersenyum sambil bergumam.
”Bapak bisa aja. Ganteng-ganteng gini masak enggak laku.” Kenyataannya memang saya tak laku.
Cerita itu tak penting. Itu sedikit keterangan yang mendramatisasi tulisan ini. Tetapi, cerita itu benar terjadi dan bukan khayalan belaka. Sepulang dari rumah sakit itu, saya memesan taksi seperti biasa. Taksi itu mengantar saya ke tujuan berikutnya. Di akhir perjalanan, saat saya membayar ongkosnya, sopir taksi itu berkata begini. ”Terima kasih ya, Pak. Bapak yang sehat ya.”
Mendengar itu, saya dibuat terharu. Terharu tak hanya ucapannya, tetapi juga perhatian yang diberikan. Saya juga tak tahu apakah perhatiannya itu merupakan hasil didikan perusahaan taksi untuk mewujudkan layanan yang memberi kepuasan pelanggan, sungguh saya tak tahu. Yang jelas, sore itu saya merasa ada yang masih memedulikan saya.
Kejadian simpatik dari orang yang tak saya kenal juga terjadi beberapa minggu sebelum itu, saat saya diantar seorang suster ke pemeriksaan laboratorium setelah cairan paru-paru saya dikeluarkan. Selesai pemeriksaan, suster memegang bahu saya. ”Saya tinggal ya, Pak. Bapak yang sehat dan cepat sembuh.”
Satu minggu yang lalu saya pulang dari rumah ibadah. Saya menaiki taksi untuk menuju taman bermain saya bernama mal. Dalam perjalanan, bapak sopir yang kira-kira seusia saya bercerita tentang keluarganya di kampung. Tiba di sebuah mal, saat saya hendak keluar dari taksi itu, ia berkata begini. ”Bapak yang sehat, ya. Saya akan doakan Bapak. Bapak juga jangan lupa mendoakan saya.”
Kapan?
Setelah turun dari taksi itu, sungguh saya bingung dibuatnya. Saya hampir menangis. Bagaimana ia tahu kalau saya sedang bergumul dengan penyakit saya sehingga ucapannya bisa seperti itu. Tetapi, harus saya akui, sore itu saya sungguh merasa tak sendiri.
Setelah kejadian itu, saya merasa masih ada begitu banyak orang yang memberi perhatian dan peduli. Selama ini saya tak peka. Pada sore itu saya berpikir tak seorang pun boleh mengizinkan pikirannya mengatakan bahwa ia hidup dalam kesendirian dan tak ada yang memedulikan.
Kalaupun saya tak berpasangan, kalaupun saudara sekandung saya tinggal begitu jauhnya, kalaupun saya ini seorang yatim piatu, kalaupun penyakit dan masalah datang tanpa henti menghantam, Tuhan itu tak pernah membiarkan saya sendiri. Ia memberikan saya teman dan orang- orang tak dikenal yang menaruh perhatian.
Perhatian yang mungkin durasinya hanya sekian detik saat tangan suster memegang bahu saya, sekian detik dari sebuah ucapan dan doa seorang sopir taksi. Tetapi, sekian detik yang sangat berharga yang seperti siraman air yang memberi semangat nyata bahwa saya tak pernah dibiarkan dalam kesendirian.
Setelah kejadian itu, pekerjaan rumah saya adalah meningkatkan kepekaan saya akan kebutuhan orang lain, bahkan orang-orang yang tak saya kenal. Bukan hanya melalui doa, melainkan dalam perbuatan yang nyata, sekalipun sederhana. Saya tak pernah terpikir melakukan perbuatan sederhana seperti apa yang dilakukan sopir taksi dan suster itu. Sebuah tindakan sederhana yang membuat orang merasa tak sendiri.
Pekerjaan rumah saya adalah belajar melatih melihat kebutuhan orang lain untuk memberikan sesuatu yang meringankan, yang membuat mereka tak merasa sendiri dan terbuang. Pekerjaan rumah saya adalah belajar peka melihat bahwa ada orang mengasihi saya meski jumlahnya mungkin bisa dihitung dengan jari.
Pagi ini saat saya sedang membuat tulisan ini, seorang teman mengirim pesan sederhana. ”How are you feeling today.” Ia hanya mengirim pesan untuk menanyakan keadaan saya dan memberi tahu ia baru saja membelikan vitamin yang saya butuhkan.
Setelah membaca pesan itu, saya berkata dalam hati, bagaimana saya bisa mengatakan bahwa hidup saya begitu kesepian dan tak ada orang yang mengasihi saya hanya karena saya tidak berpasangan, hanya karena sudah lajang bertahun lamanya? Bagaimana saya bisa sampai tak cukup peka untuk menyadari bahwa saya tak pernah ditinggalkan.
Hari ini, saya mau menantang Anda, perbuatan sekian detik apakah yang telah Anda lakukan untuk seseorang sehingga membuatnya tak merasa sendiri? Kapan terakhir Anda mengirim pesan singkat yang sekian detik hanya untuk menanyakan keadaan seseorang? Kapan terakhir Anda mendoakan mereka? Kapan?