Obrolan tentang hukum rimba ini muncul di sela rehat lokakarya sejarah lokal di Kota Jambi beberapa waktu lalu. Beredar cerita lama mengenai peminggiran Orang Rimba di Provinsi Jambi. Peminggiran terjadi setelah sebagian lokasi permukiman Orang Rimba—di irisan wilayah “segi tiga” Kebupaten Sarolangun, Tabo, dan Batanghari—dikonversi menjadi areal hutan tanaman industri dan perkebunan komersial dalam bingkai pertumbuhan ekonomi pada masa orde-orde lampau. Sering terdengar keluhan Orang Rimba bahwa “orang terang [orang luar komunitas] ngambik [mengambil lahan], tapi Orang Rimbo dak dihubungi.”
Boleh dikata, berujar seorang peserta lokakarya, “Orang Rimba telah menjadi korban praktik hukum rimba.” Frase hukum rimba itu tak lain tamzil populer dalam bahasa Indonesia yang sudah lama dikenal umum: \'siapa kuat akan membaham yang lemah\'. Tampaknya frase itu sengaja dikutip supaya mendapat “efek bersajak” dengan orang rimba. Namun, peserta tersebut juga berargumen serius bahwa eksploitasi besar-besaran atas kawasan hutan itu, juga program transmigrasi, memang mencaplok sebagian areal bediom atau ruang hidup Orang Rimba. Mereka yang terdesak akhirnya terlunta-lunta melangun ‘mengembara’ hingga meluber ke tepian jalan raya lintas Sumatra.
Akan tetapi, jelas pula bahwa hukum rimba bukanlah istilah hukum yang dikodifikasi dalam leksikon hukum resmi. Pertandanya cukup terang: tak satu pun kamus hukum mencatat hukum rimba dalam daftar lemanya. Bahkan, kamus umum bahasa Indonesia arus utama—semisal karya Poerwadarminta dan Badudu/Zain—juga menafikannya. Namun, kamus babon Badan Bahasa telah mendaftarnya sebagai salah satu sublema entri hukum. Agak aneh pula beberapa kitab peribahasa pun mengabaikannya. Sementara bisa disimpulkan, hukum rimba tampaknya akan “terhenti” lebih sebagai ujaran lisan belaka.
Yang saya ingat kemudian Alexander Solschenizyn, sastrawan besar Rusia tempo lalu. Roman pendeknya, Sehari dalam Hidup Ivan Denisovich, berkisah tentang Shukov yang hidup dalam sekapan kamp tahanan, bekerja rodi sepanjang siang-malam, dan melayani aneka titah penguasa Markas Besar. “Di sini berlaku hukum rimba, kawan-kawan. Tetapi di sini engkau bisa juga hidup . . . menjilat mangkok-mangkok [kotor] sampai bersih, percaya pada rumah sakit, atau berkhianat pada orang-orang kikir,” Shukov berparodi getir.
Balik ke Jambi: mengapa Orang Rimba tidak melawan terhadap “proyek” peminggiran mereka? Rupanya mereka justru menghindari konflik dengan cara mematuhi hukumnya sendiri yang disebut “pucuk undang nan selapan [delapan]” seperti lazim dianut masyarakat adat Melayu di Sumatra. Pasal-pasal dalam undang-undang itu bak petatah-petitih yang andal mengendalikan perilaku Orang Rimba dari kemungkinan benturan komunal ataupun konflik eksternal. Misal, pasal tantang pahamu, yang bermakna pantang menantang berkelahi; sio baka (atau siar bakar di Minangkabau), larangan membakar hutan atau pondok kecil sekali pun; emar geram, larangan keras bunuh-membunuh, dan seterusnya.
Orang Rimba, jadinya, condong bersikap defensif terhadap apa yang disebut praktik hukum rimba tersebut seraya mendemonstrasikan “hukum rimba” lain yang berbeda—yakni aturan normatif dalam kehidupan di alam rimba-raya secara arif. “Hukum rimba” yang satu ini jelas bermakna positif dan sangat berlawanan arti terhadap hukum rimba dalam ujaran populer itu.
KASIJANTO SASTRODINOMO, alumni FIB Universitas Indonesia