Indonesia menghadapi tantangan menurunkan angka perkawinan usia anak yang masih tinggi untuk dapat memanfaatkan bonus demografi secara penuh.
Oleh
·2 menit baca
Data Badan Pusat Statistik (BPS) memperlihatkan, kejadian perkawinan usia anak masih tinggi, yaitu 11,2 persen atau berjumlah 1,2 juta kasus pernikahan. Data ini dikumpulkan dari pernikahan tercatat di kantor urusan agama, dinas kependudukan, dan catatan sipil. Laporan ini belum memasukkan kasus perkawinan yang tidak tercatat di lembaga negara, praktik yang mudah ditemui terjadi di masyarakat.
Masih tingginya jumlah perkawinan usia anak menimbulkan keprihatinan. Ada banyak bukti ilmiah bahwa perkawinan anak membawa banyak kerugian bagi anak secara langsung maupun secara nasional.
Perkawinan usia anak lebih mengancam kehidupan dan kesehatan anak perempuan karena fungsi reproduksinya. Perkawinan anak juga membatasi prospek masa depannya. Perempuan yang dipaksa menikah pada usia anak kerap hamil pada usia remaja. Keadaan itu meningkatkan risiko komplikasi kehamilan dan kelahiran, dan menjadi faktor risiko kematian remaja perempuan.
Yang kerap dilupakan orangtua adalah kesiapan mental anak. Anak-anak yang pada dasarnya masih ingin bermain harus terikat pada urusan rumah tangga, termasuk mengasuh anak. Perkawinan anak merampas hak anak mendapat pendidikan. Bukan hanya mereka kehilangan kesempatan mendapatkan pengetahuan dan kehidupan yang lebih baik, melainkan juga dampaknya akan diturunkan kepada anak-anak yang dilahirkan.
Data BPS yang dirangkum dalam ”Laporan Pencegahan Perkawinan Anak: Percepatan yang Tidak Bisa Ditunda” menyebutkan, penyebab perkawinan anak beragam. Ada yang karena kemiskinan, kehamilan tidak diinginkan, hingga praktik adat setempat.
Pada dasarnya, perkawinan anak menggambarkan ketimpangan relasi kuasa. Anak tidak memiliki posisi tawar dalam pengambilan keputusan. Di dalam perkawinan, anak-anak yang tidak siap secara ekonomi tidak memiliki kemandirian. Kita dapat menduga perkawinan berisiko perceraian atau kekerasan terhadap pasangan, terutama pada perempuan.
Perkawinan anak dapat menjadi indikator kualitas kemajuan pembangunan manusia. Dana Kependudukan Organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (NFPA) menyebut perkawinan anak sebagai pelanggaran hak asasi manusia.
Undang-Undang (UU) Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menetapkan batas usia minimal menikah bagi anak perempuan dan laki-laki adalah 19 tahun.
Tantangan bagi kita bersama adalah memastikan peraturan tersebut dilaksanakan oleh kantor urusan agama dan kantor catatan sipil. Pemuka masyarakat dan tokoh agama juga perlu diajak berperan mencegah perkawinan usia anak. Menghapus perkawinan usia anak akan melahirkan generasi berkualitas pada periode bonus demografi yang sedang kita nikmati.