Jika pemerintah tetap ingin membentuk DKN, fungsinya hanya terbatas pada memberi nasihat dan rekomendasi kepada presiden. DKN tidak boleh memiliki fungsi operasional karena hal itu akan menjadi masalah baru.
Oleh
Al Araf
·5 menit baca
Pemerintah berencana membentuk Dewan Keamanan Nasional (DKN). Pembahasan konsep dan naskah akademik yang disiapkan pemerintah telah dibahas intensif oleh Dewan Ketahanan Nasional (Wantannas), Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional Republik Indonesia/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), serta Kementerian Pertahanan. Menurut rencana, pembentukan DKN dituangkan dalam bentuk keputusan presiden.
Pembentukan DKN sesungguhnya merupakan isu lama pada pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono ketika mengajukan RUU Keamanan Nasional (Kamnas) ke DPR. Pada saat itu, kritik dan penolakan terhadap RUU Kamnas dan DKN disampaikan masyarakat sipil dan anggota Komisi I DPR. Alhasil, RUU Kamnas kemudian dikembalikan DPR kepada pemerintah dan gagal disahkan menjadi undang-undang.
Selain urgensinya dipertanyakan, substansi rancangan undang-undang tersebut dianggap berpotensi mengancam HAM dan demokrasi.
Maka, rencana pembentukan DKN perlu dilihat secara kritis dalam bingkai tata kelola keamanan yang sudah dibangun selama ini. Jangan sampai pembentukan DKN justru menimbulkan masalah baru.
Tata kelola keamanan
Tata kelola keamanan di Indonesia sesungguhnya sudah menghasilkan beberapa capaian positif sejak reformasi 1998. Meski terdapat berbagai kekurangan, proses menata ulang sektor keamanan telah dilakukan secara bertahap.
Esensi dari proses reformasi sektor keamanan adalah pengelolaan sektor pertahanan dan keamanan secara transparan dan akuntabel guna tercipta tata pemerintahan yang bersih dan baik (good and clean governance). Tujuan utama dari pembaruan ini tentu saja untuk mewujudkan rasa aman bagi masyarakat.
Perbaikan dilakukan sebagai bentuk koreksi karena pada masa otoriter Orde Baru keamanan dan pertahanan yang lebih mementingkan kelangsungan rezim dan bukan rasa aman masyarakat. Marak kasus-kasus kekerasan dan pelanggaran HAM.
Berbagai aturan dibentuk untuk memperbarui sektor pertahanan dan keamanan melalui penataan peran dan fungsi aktor pertahanan dan keamanan agar sesuai prinsip kehidupan negara yang demokratis. Dibentuknya TAP MPR Nomor VI dan VII Tahun 2000 tentang Pemisahan Peran, Fungsi, dan Kelembagaan TNI dan Polri menjadi pijakan awal penataan aktor pertahanan dan keamanan.
Selanjutnya, peran dan fungsi TNI, Polri, dan intelijen diatur melalui UU No 3/2002 tentang Pertahanan Negara, UU No 2/2002 tentang Polri, UU No 34/2004 tentang TNI, UU No 17/2011 tentang Intelijen Negara, dan aturan lain.
Meski reformasi sektor keamanan sudah berjalan, dalam tataran implementasi masih terdapat catatan negatif. Berbagai kekerasan negara yang dilakukan aktor pertahanan dan keamanan tetap terjadi pada masa reformasi. Hal ini ditunjukkan dengan adanya sejumlah laporan masyarakat sipil dan Komnas HAM terkait kasus kekerasan. Transparansi dan akuntabilitas di sektor pertahanan dan keamanan juga perlu dibenahi.
Berbagai kekerasan negara yang dilakukan aktor pertahanan dan keamanan tetap terjadi pada masa reformasi.
Dalam aspek regulasi, pemerintah dan DPR masih perlu menuntaskan beberapa aturan krusial. Hal itu di antaranya revisi terhadap UU No 31/1997 tentang Peradilan Militer sebagai bagian penting dalam proses reformasi peradilan militer, revisi terhadap aturan kedaruratan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No 23/1959, serta revisi legislasi tentang kontrol peredaran senjata api dan bahan peledak yang diatur dalam UU No 12/Drt/1951.
Dalam konteks hubungan TNI dan Polri, pemerintah dan DPR perlu segera membahas RUU tentang Tugas Perbantuan TNI. Keberadaan aturan ini penting karena menjadi pijakan dasar TNI dalam pelaksanaan tugas operasi militer selain perang untuk membantu pemerintah, khususnya Polri.
Selama ini, berbagai pelibatan TNI dalam operasi nonperang dilakukan dengan dasar hukum lemah dan bermasalah, seperti nota kesepahaman TNI dengan berbagai lembaga serta melalui undang-undang yang sifatnya parsial. Pembentukan aturan tentang perbantuan ini sejatinya merupakan mandat dari UU TNI, UU Polri, dan Tap MPR No VII/ 2000.
Di tengah banyaknya pekerjaan rumah yang masih perlu dibenahi dalam tata kelola sektor pertahanan dan keamanan, wajar jika rencana pembentukan DKN mendapatkan sorotan masyarakat.
DKN atau DPN
Jika mengacu kepada UU No 3/2002 tentang Pertahanan Negara, pemerintah diminta membentuk Dewan Pertahanan Nasional (DPN) dan bukan DKN. Pasal 15 menyebutkan bahwa dalam menetapkan kebijakan umum pertahanan negara, presiden dibantu oleh Dewan Pertahanan Nasional. Dewan Pertahanan Nasional berfungsi sebagai penasihat presiden dalam menetapkan kebijakan umum pertahanan dan pengerahan segenap komponen pertahanan negara. Pembentukan DPN akan diatur melalui keputusan presiden.
Meski demikian, sejak legislasi tersebut disahkan pada 2002, pemerintah belum juga membentuk DPN. Justru saat ini pemerintah ingin membentuk DKN yang tidak memiliki basis amanat perundang-undangan yang kuat seperti DPN.
Wajar kemudian jika sejumlah anggota Komisi I DPR, seperti Tubagus Hasanuddin dan Charles Honoris dari Fraksi PDI-P serta Farah Puteri Nahlia dari Fraksi PAN, mempertanyakan ide pembentukan DKN melalui keputusan presiden. Hal ini mengingat tidak ada undang-undang yang mengatur tentang DKN.
Dalam praktiknya, beberapa negara memiliki institusi seperti DKN. Amerika Serikat, misalnya, memiliki DKN yang bernama National Security Council (NSC). NSC merupakan forum untuk membahas masalah keamanan nasional, militer, dan kebijakan luar negeri.
Jika mengacu kepada UU No 3/2002 tentang Pertahanan Negara, pemerintah diminta membentuk Dewan Pertahanan Nasional dan bukan DKN.
NSC bertugas untuk memberikan rekomendasi, nasihat, dan membantu presiden dalam mengoordinasikan kebijakan dengan berbagai lembaga pemerintah. NSC diketuai presiden dan anggotanya terdiri dari beberapa menteri dan pejabat terkait dengan masalah keamanan nasional.
Dalam konteks Indonesia, fungsi memberi nasihat, saran, dukungan, dan rekomendasi kepada presiden sudah dijalankan oleh beberapa lembaga, seperti Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas), Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres), Wantannas, dan Kantor Staf Presiden (KSP). Sementara untuk fungsi koordinasi di bidang keamanan, ada Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan.
Guna menghindari kegaduhan berlarut, pemerintah harus menjelaskan kepada publik secara transparan soal rencana pembentukan DKN. Pembentukan lembaga ini harus benar-benar memperhatikan berbagai pertimbangan masyarakat agar jangan sampai terbentuk lembaga keamanan baru yang represif seperti Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) pada masa Orde Baru.
Jika pemerintah tetap ingin membentuk DKN, fungsinya hanya terbatas pada memberi nasihat dan rekomendasi kepada presiden. DKN tidak boleh memiliki fungsi operasional karena hal itu akan menjadi masalah baru dalam pembaruan tata kelola keamanan. Konsekuensinya, perlu ada evaluasi terhadap semua lembaga negara yang memiliki fungsi serupa dengan DKN.
Jika pemerintah tetap ingin membentuk DKN, fungsinya hanya terbatas pada memberi nasihat dan rekomendasi kepada presiden.
Pemerintah dan parlemen memang memiliki otoritas untuk membentuk lembaga baru. Namun, pembentukan lembaga itu harus sesuai dengan undang-undang dan memperhatikan kelembagaan yang sudah ada agar tidak tumpang tindih fungsi dan tugasnya serta menghormati HAM dan kehidupan negara demokrasi.
Al Araf, Direktur Imparsial dan Penggiat Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan