Segala bentuk kendala regulasi harus kita sederhanakan, harus kita potong, harus kita pangkas. Demikian pidato Presiden Joko Widodo di MPR, 20 Oktober 2019.
Oleh
·2 menit baca
Dalam pidato pelantikan itulah, Presiden Joko Widodo menyampaikan rencana membuat undang-undang dengan metode omnibus law atau sapu jagat, yang dapat mengharmoniskan secara cepat sejumlah undang-undang yang tumpang-tindih agar tidak lagi menghambat proses pengambilan keputusan di era yang berubah cepat ini. Sejak saat itu pulalah, kata omnibus law diperbincangkan.
Ada tiga rancangan undang-undang yang disiapkan melalui metode omnibus law tersebut, yaitu RUU Cipta Lapangan Kerja, RUU Ketentuan Umum dan Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan Perekonomian, dan RUU Ibu Kota Baru.
Jumlah undang-undang yang akan diharmonisasi tidak sedikit. RUU Cipta Lapangan Kerja saja terkait dengan 75 undang-undang. Jumlah pasalnya mencapai 1.244 pasal.
Diharapkan, dengan terbitnya RUU Cipta Lapangan Kerja yang bersifat sapu jagat ini, berbagai kendala masuknya investasi bisa segera diatasi; lapangan kerja lebih banyak tercipta; usaha mikro, kecil, dan menengah ”merekah”; dan berujung pada peningkatan kesejahteraan seluruh rakyat.
Meski demikian, tampaknya, meski waktu sudah berjalan tiga bulan lewat, misi itu belum banyak diketahui, apalagi dipahami publik. Hasil jajak pendapat Litbang Kompas terhadap 532 responden yang tersebar di 17 Kota menangkap fenomena mengejutkan. Sebanyak 76,9 persen responden menjawab tidak tahu soal rencana pemerintah membuat UU omnibus law. Responden yang yakin UU sapu jagat bisa terwujud sesuai target pemerintah pun hanya 54,9 persen. Padahal, program deregulasi merupakan satu dari lima program prioritas lima tahun Joko Widodo-Ma’ruf Amin.
Belakangan ini bahkan muncul sejumlah aksi penolakan omnibus law. Alih-alih RUU Cipta Lapangan Kerja memangkas peraturan malah memangkas hak-hak pekerja dan hanya menguntungkan segelintir pengusaha kaya raya.
Boleh jadi, ini implikasi dari belum adanya transparansi ataupun pelibatan partisipasi publik dalam proses legislasi. Draf tiga RUU sapu jagat yang tengah disiapkan pemerintah itu tidak pernah disampaikan ke publik. Akhirnya, yang beredar hanyalah naskah beragam versi dan menimbulkan mispersepsi.
UU No 15/2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Bab XI, sesungguhnya mengatur pentingnya partisipasi masyarakat. Pasal 96 (1) menegaskan, masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang mencakup tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan. Naskah pun harus mudah diakses.
Kini, setelah tiga bulan berlalu, perlu kiranya meneguhkan kembali misi UU sapu jagat. Pastinya adalah demi rakyat, bukan untuk pejabat, apalagi hanya segelintir konglomerat.