”Jurnalisme masa depan, dan sudah dimulai sekarang, adalah jurnalisme multipel media.” Dan, wartawannya pun sebisa mungkin dapat bekerja multitasking.
Oleh
·2 menit baca
”Jurnalisme masa depan, dan sudah dimulai sekarang, adalah jurnalisme multipel media.” Dan, wartawannya pun sebisa mungkin dapat bekerja multitasking.
Pesan itu berulang kali disampaikan pendiri dan Pemimpin Umum Kompas, Jakob Oetama, lebih dari 10 tahun lalu. Pesan ini seperti melengkapi peringatan PK Ojong lebih dari 40 tahun lalu. ”Pers yang tidak mendapat subsidi hanya bisa berkembang kalau di samping redaksinya, kepandaian tata-usahanya, dan kebaikan percetakannya, daya beli rakyat ada di faktor lain. Dan, faktor lain itu ialah kepercayaan terhadap harian itu,” kata PK Ojong, yang juga pendiri Kompas.
Masa depan jurnalisme dan media massa, khususnya media cetak, bergantung pada kemandirian redaksinya, kepandaian pengelola bisnis (tata-usaha)-nya, teknologi (kebaikan) percetakannya, daya beli masyarakat, kepercayaan masyarakat, dan multimedia. Media konvensional, baik media cetak, elektronik, maupun dalam jaringan (daring) atau online, tidak boleh hanya mengandalkan satu platform, satu media, atau satu chanel, tetapi harus multimedia.
Inovasi dan kemampuan beradaptasi dengan perubahan dalam masyarakat menjadi kata kunci lahirnya teknologi yang mendukung pengembangan media dan lahirnya multimedia.
Jurnalisme dan kehidupan media, tak hanya di Indonesia, tetapi juga di dunia, dihadapkan pada persoalan hidup-mati. Sejumlah media mengakhiri penerbitannya, dan sebagian beralih ke platform digital sepenuhnya, karena tak mampu menghadapi perubahan, menghadapi disrupsi digital, dan lahirnya media baru, media sosial yang menjadi rujukan baru bagi masyarakat dalam mendapatkan informasi.
Di Indonesia, Ketua Dewan Pers Mohammad Nuh, dalam sambutannya pada Hari Pers Nasional (HPN) 2020 di Kalimantan Selatan, menyatakan, masyarakat pers sudah memahami lahirnya tantangan baru yang dihadapi dunia media (dan jurnalisme). Migrasi media dari fisik menuju siber (digital), meningkatkan kualitas kemerdekaan pers dan kompetensi wartawan, adalah sejumlah langkah yang diambil pengelola media agar tetap hidup, bahkan bisa berkembang.
Strategi agar media bisa bertahan, jurnalisme bisa berkembang, dan masyarakat mendapatkan informasi kredibel itu menjadi perhatian dalam peringatan HPN, yang dirayakan setiap tanggal 9 Februari. Tentu tak mudah, apalagi masyarakat benar-benar berubah dalam menggunakan media.
Survei yang dilakukan Dewan Pers bersama Universitas Prof Dr Moestopo (Beragama) Jakarta tahun 2019 menunjukkan, dari 1.020 responden hanya 25,8 persen yang setiap hari membaca surat kabar. Selain itu, sebanyak 31,9 persen masih menonton televisi selama 2-8 jam per hari dan hanya 7,6 persen yang setiap hari mendengarkan radio. Sementara 31,57 persen setiap hari membuka Facebook, membuka Youtube (39,9 persen), memakai Whatsapp (47,75 persen), dan 33,33 persen menggunakan Instagram selama 2-8 jam.
Mari beradaptasi dengan perubahan, mari berubah untuk media tetap hidup, dan jurnalisme berkembang. Selamat merayakan HPN 2020.