Saatnya Bangun Kepercayaan
Walaupun saat ini memang masih menjadi masa yang sulit bagi pemain media, selama kredibilitas dan reputasi bisa dijaga, waktu akan membuktikan keberadaannya.
Dalam dunia hubungan masyarakat, baik organisasi maupun merek (brand), media adalah komponen strategis dalam menyosialisasikan konten kepada publik. Tentunya agar konten yang diusung bisa membangun kepercayaan (trust) danreputasi.
Sebagai praktisi humas, kita terus mengamati perubahan lanskap industri media yang terdampak disrupsi teknologi. Ada dua hal penting di sini. Pertama, tentang tren media di Indonesia. Kedua, aspek media yang benar-benar kredibel!
Jika diberi tahu berapa perusahaan media di Indonesia saat ini, Anda bisa shock! Menurut Dewan Pers, diperkirakan ada 47.000 media, bahkan Indonesia diklaim memiliki media terbanyak di dunia. Faktanya, hampir 79 persen merupakan media abal-abal, dengan berita yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Bahkan, membuat berita yang berasal dari perusahaan media lain alias menyadur.
Menurut Dewan Pers, diperkirakan ada 47.000 media, bahkan Indonesia diklaim memiliki media terbanyak di dunia. Faktanya, hampir 79 persen merupakan media abal-abal, dengan berita yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Di antara jumlah tersebut, 43.300 media adalah media online. Sekitar 2.000 di antaranya berupa media cetak. Sisanya adalah radio dan stasiun televisi yang memiliki siaran berita. Namun, yang tercatat sebagai media profesional dan lolos verifikasi Dewan Pers hingga tahun 2018 hanya sekitar 2.400 perusahaan media.
Jumlah media abal-abal ini tentu menjadi masalah kompleks bagi praktisi humas! Ketika pitching konten atau berkolaborasi, tentu praktisi humas harus mencari media yang kredibel dan bisa dipercaya. Sementara media abal-abal menggunakan clickbait headline yang tendensius, nama yang mirip dengan instansi pemerintah, atau perusahaan pers besar.
Media abal-abal ini bisa mengancam posisi perusahaan, termasuk merek. Mereka kerap menjebak pembaca yang tidak hati-hati atau kurang teliti. Otomatis opini publik bisa salah arah dan merugikan tidak saja perusahaan pers yang bersangkutan, tetapi juga organisasi atau merek yang diusungnya.
Celakanya, media abal-abal terkadang bisa bergerak lebih cepat. Mereka tidak memiliki hierarki dalam approval, apalagi aturan kode etik jurnalistik yang sebenarnya! Semua konten bisa dibuat kapan saja, di mana saja, oleh siapa saja!
Sementara media abal-abal menggunakan clickbait headline yang tendensius, nama yang mirip dengan instansi pemerintah, atau perusahaan pers besar.
Tak berhenti
Selain terkait isu media yang kredibel, bukan abal-abal, persoalan lain yang membelit media di Indonesia, juga di dunia, adalah tumbangnya perusahaan media. Media yang mengakhiri penerbitannya atau peredarannya di dunia seakan tak pernah berhenti.
Tahun 2019 lalu, koran Express yang diterbitkan The Washington Post dari Amerika Serikat tutup dan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK). Padahal, koran Express ini dimiliki oleh Jeff Bezos, pendiri Amazon.com sekaligus orang terkaya di dunia.
Sebulan kemudian, Oktober 2019, giliran koran bernama Utusan Malaysia yang telah berusia 80 tahun harus mem-PHK 800 karyawan karena masalah keuangan. Pada Januari 2020, Warren Buffett, salah satu orang terkaya di dunia, pun akhirnya menyerah berbisnis koran dan menjual semua portofolio bisnis koran yang dimiliki oleh perusahaannya, Berkshire Hathaway.
Ternyata bagi billionaire sekelas Warren Buffet dan Jeff Bezos, uang yang seharusnya bukan masalah utama ternyata harus menyerah berbisnis media!
Diakui, dunia digital mengubah segalanya, mulai dari cara membaca, mencari informasi, hingga lainnya. Dunia digital juga memungkinkan siapa saja bisa menjadi jurnalis ”dadakan” hanya berbekal smartphone!
Dunia digital juga memungkinkan siapa saja bisa menjadi ’jurnalis dadakan’ hanya berbekal smartphone!
Kebebasan itulah yang membuat industri media harus menghadapi kompetisi sangat sengit. Kompetitor bukan datang dari sesama media, melainkan juga para netizen. Kerasnya persaingan sebenarnya telah disadari oleh para pemain media di dunia, termasuk di Indonesia. Kita amati, perusahaan media bersama-sama beralih ke platform digital, mulai dari berbentuk website, e-paper, video, hingga lainnya.
Namun, dunia digital tak serta-merta menjadi solusi. Untuk website news, misalnya. Pemain media berlomba menghadirkan beragam berita semenarik mungkin agar bisa berkompetisi dengan pesaingnya yang selama ini perhatian pembaca ”dicuri” oleh media sosial. Dengan semakin banyak konten, konsekuensinya jumlah jurnalis bertambah dan alhasil biaya operasional pun otomatis meningkat.
Harus diakui, sulit untuk mencari pembaca yang mau berkontribusi dari sisi biaya, dan skema berlangganan (subscriber) sulit untuk berjalan. Sejumlah pemikiran menghampiri pembaca, ”Kalau bayar, ya tinggal cari saja di media lain yang gratis”. atau ”Mending saya baca di Facebook, Twitter, Instagram, atau tinggal googling. Gratis!”.
Nasib hampir mirip dialami media ketika merilis e-paper. Bahkan, via Whatsapp, kita sering mendapatkan shareable PDF koran dan majalah. Hal ini menjadi tantangan, baik dari segi konten maupun juga pengiklan karena tidak efektif meraih target pembaca yang sebenarnya.
Hampir bisa dipastikan bahwa media online mempunyai sebuah agenda, yaitu meraih pembaca sebanyak-banyaknya. Alhasil, demi menarik minat pembaca, terkadang media kerap membuat judul click bait, malas melakukan konfirmasi, turut menyebar hoaks, serta fake news. Meski tidak semua, harus diakui ada beberapa media yang rela mempertaruhkan reputasinya.
Harus diakui, sulit untuk mencari pembaca yang mau berkontribusi dari sisi biaya, dan skema berlangganan (subscriber) sulit untuk berjalan.
Walau kondisi dan tantangan yang dialami media terbilang berat, bukan berarti tidak ada kesempatan yang tersedia. Kuncinya adalah kredibilitas dan dipercaya! Ujungnya, media yang telah ada harus bisa menjadi sumber fakta dan verifikasi informasi yang tepercaya.
Hal ini menjadi kesempatan bagi media. Sebagai contoh, ketika mendapatkan blast pesan dari seseorang—entah melalui Whatsapp, Twitter, atau Facebook—perihal virus korona baru oleh netizen. Simpang siur informasi menimbulkan kekhawatiran serta menggiring berbagai opini dan spekulasi publik. Di sinilah peran media kredibel menjadi strategis untuk menangkal hoaks dan fakenews.
Beberapa media tepercaya langsung membuat artikel fakta versus hoax, yang membuat lini masa jadi agak tenang. Bagi pembaca, media-media kredibel inilah yang menjadi acuan untuk pembuktian dan pembenaran. Itulah yang akan menjadi diferensiasi media kredibel dan abal-abal di luar sana.
Harus diakui, sulit mencari pembaca yang mau berkontribusi dari sisi biaya, dan skema berlangganan (subscriber) sulit untuk berjalan. Tidak instan apalagi mudah untuk membangun keduanya. Jangan heran jika Warren Buffett pernah berujar, ”It takes 20 years to build a reputation and five minutes to ruin it.”
Harus diakui, sulit untuk mencari pembaca yang mau berkontribusi dari sisi biaya, dan skema berlangganan (subscriber) sulit untuk berjalan.
Sebagai praktisi humas, kita percaya industri media akan tetap eksis. Walaupun saat ini memang masih menjadi masa yang sulit bagi pemain media, selama kredibilitas dan reputasi bisa dijaga, waktu akan membuktikan keberadaannya.
Jadi, jadilah sumber kebenaran di tengah arus informasi yang sangat deras ini. Selamat Hari Pers Nasional!
(Agung Laksamana, Ketua Umum Badan Pimpinan Pusat Perhimpunan Humas Indonesia)