Rencana pemerintah melanjutkan gasifikasi batubara sepertinya kurang sejalan dengan momentum besar dunia yang mulai beralih ke energi terbarukan.
Oleh
·2 menit baca
Oleh karena itu, membaca berita di harian ini, Senin (10/2/2020) kemarin, tentang teknologi energi, kita bertanya-tanya. Menurut Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik, dan Kerja Sama Kementerian ESDM Agung Pribadi, pandangan yang menilai gasifikasi batubara tidak ekonomis kini disanggah dengan fakta bahwa kemajuan teknologi telah membuat energi terbarukan semakin murah. Sebagai contoh, energi surya yang semula 10 sen dollar AS per kilowatt jam (kWh) kini sudah ditawarkan 4 sampai 5 sen dollar AS per kWh. Hal ini perkirakan juga berlaku untuk gasifikasi batubara, proses yang mengubah batubara menjadi gas yang bisa dimanfaatkan untuk berbagai keperluan penerangan dan transportasi.
Ketika mewacanakan jenis energi yang masih berbasis energi fosil ini, berita yang sama juga mengangkat terus meningkatnya pengembangan dan pemanfaatan energi terbarukan di berbagai penjuru dunia. Menurut Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform Fabby Tumiwa, gerakan menuju pengembangan (pemanfaatan) energi terbarukan terutama dilatarbelakangi menguatnya isu perubahan iklim, juga untuk mendapatkan lingkungan yang lebih bersih dan bebas polusi dari pembakaran energi fosil.
Di sinilah muncul kesan anakronistis (tidak pas lagi waktunya) untuk terus bertahan pada energi fosil. Fabby menambahkan, sudah banyak negara yang meninggalkan batubara sebagai sumber energi primer pembangkit tenaga listrik, digantikan energi bersih dan ramah lingkungan, seperti tenaga surya, angin, dan hidro, yang biaya produksinya semakin murah karena teknologi yang semakin efisien.
Tren baru ini telah bergulir dan semakin banyak yang memanfaatkan, semakin cepat dicapai skala ekonomi, yang pada gilirannya akan semakin membuat harga energi terbarukan semakin terjangkau. Sebagai contoh, Finlandia tidak akan lagi memakai batubara mulai tahun 2030. Peran batubara hanya (tinggal) 9 persen dan bahan bakar minyak 0,3 persen.
Indonesia seperti di persimpangan jalan. Di satu sisi ingin memanfaatkan cadangan energi fosilnya, seperti batubara, yang sangat besar, di sisi lain, RI tidak bisa menutup mata bahwa dunia—demi mengerem pemanasan global dan perubahan iklim—sedang mengarah ke sumber energi terbarukan. Tidak bisa kita lupakan bahwa negara kita juga telah berkomitmen memangkas emisi gas karbon untuk berkontribusi pada upaya mengerem pemanasan global.
Hal lain yang juga disimak oleh pengamat adalah Indonesia dengan jumlah penduduk besar akan menyongsong era dengan jumlah penduduk produktif tinggi. Penduduk produktif niscaya butuh energi untuk mendukung aktivitasnya.
Kebutuhan energi listrik Indonesia diperkirakan akan lipat dua dalam 10 tahun mendatang, tetapi Indonesia masih sangat tergantung pada energi bahan bakar fosil, yang paling tinggi di kawasan. Hal ini dinilai kontras dengan negara kawasan yang justru kian beralih ke energi terbarukan.