Pembangunan Daerah Tertinggal
Ada empat tantangan utama pembangunan daerah tertinggal yaitu rendahnya kualitas sumber daya manusia, tingginya angka kemiskinan, terbatasnya infrastruktur dan aksesibilitas wilayah, dan banyaknya desa tertinggal.
Satu dari tujuh agenda pembangunan dalam RPJMN 2020-2024 adalah mengembangkan wilayah untuk mengurangi kesenjangan dan menjamin pemerataan.
Komitmen pemerataan pembangunan antarwilayah di antaranya tertuang dalam kebijakan percepatan pembangunan daerah tertinggal.
Daerah tertinggal diukur dengan enam kriteria. Pertama, kondisi ekonomi masyarakat dengan ukuran pendapatan per kapita dan tingkat kemiskinan.
Kedua, capaian pembangunan manusia, diukur dari komponen indeks pembangunan manusia (IPM), seperti usia harapan hidup dan tingkat pendidikan. Ketiga, ketersediaan sarana prasarana daerah seperti transportasi, sekolah, rumah sakit, listrik, telekomunikasi, pasar, dan seterusnya.
Keempat, kemampuan keuangan daerah untuk membangun. Kelima, keterjangkauan masyarakat terhadap sarana prasarana publik. Keenam, karakteristik kewilayahan, terutama kerentanan terhadap bencana alam ataupun sosial.
Pada periode 2015-2019 pemerintah telah menetapkan 122 kabupaten sebagai daerah tertinggal. Sebagai gambaran, dari 122 daerah tertinggal, 19 kabupaten di Sumatera dan Jawa, 12 kabupaten di Kalimantan, 18 kabupaten di Sulawesi, dan 73 kabupaten di Kepulauan Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua.
Untuk lima tahun ke depan (2020-2024), Kemendes PDTT telah mengidentifikasi 62 daerah tertinggal, terdiri dari 60 daerah tertinggal yang belum mentas di periode 2015-2019 ditambah Manokwari Selatan dan Pegunungan Arfak sebagai daerah otonom baru. Sebagian besar daerah tertinggal di wilayah timur Indonesia, khususnya NTT, Maluku, dan Papua.
Empat tantangan
Ada empat tantangan utama pembangunan daerah tertinggal, yaitu rendahnya kualitas sumber daya manusia, tingginya angka kemiskinan, terbatasnya infrastruktur dan aksesibilitas wilayah, serta banyaknya desa berstatus tertinggal ataupun sangat tertinggal.
Sebagai gambaran, pada 2015 IPM daerah tertinggal hanya 59,91. Artinya, secara rata-rata daerah tertinggal berstatus low human development.
Tingkat elektrifikasi di bawah 82 persen, bandingkan dengan angka nasional di atas 96 persen. Jarak rata-rata dari desa ke puskesmas di daerah tertinggal (30,06 km) hampir dua kali lebih jauh rata-rata nasional (16,70 km). Demikian pula rata-rata jarak desa ke pasar dua kali lebih jauh rata-rata nasional.
Pada 2019 persentase penduduk miskin di daerah tertinggal 17,41 persen. Jauh lebih tinggi dibandingkan angka kemiskinan nasional 9,22 persen. Tantangan berikutnya ialah fakta bahwa pada 2018, dari 18.223 desa di 122 daerah tertinggal, 83 persen berstatus tertinggal dan sangat tertinggal. Hanya 0,03 persen desa berstatus mandiri.
Meskipun dihadapkan pada tantangan yang tak mudah, selama 2015-2019 ada 62 daerah tertinggal berhasil entas. IPM daerah tertinggal naik 2,72 poin dari 59,23 (2014) menjadi 61,95 (2018). Lebih tinggi dari kenaikan IPM Nasional sebesar 2,49 poin dari 68,90 (2014) menjadi 71,39 (2018).
Namun, tidak demikian halnya untuk capaian kinerja kemiskinan dan pertumbuhan ekonomi daerah tertinggal. Data 2018 menunjukkan, laju pertumbuhan ekonomi daerah tertinggal 4,29 persen, di bawah angka pertumbuhan ekonomi nasional 5,17 persen. Angka kemiskinan di daerah tertinggal hanya turun kurang dari 1 persen 2015-2019. Bandingkan dengan penurunan kemiskinan nasional yang lebih dari 1,7 persen di periode yang sama.
Strategi ke depan
Ada tiga strategi penting untuk pembangunan daerah tertinggal ke depan. Pertama, pemerintah bersama pemda harus memastikan bahwa seluruh daerah tertinggal yang sudah entas tidak turun lagi menjadi daerah tertinggal.
Ketiadaan dana alokasi khusus (DAK) Afirmasi setelah dinyatakan entas menyebabkan kapasitas fiskal daerah tertinggal entas berkurang. Oleh karena itu, harus dirancang kebijakan pembinaan daerah tertinggal entas agar tak kembali menjadi daerah tertinggal.
Strategi berikutnya bertujuan mengatasi lambatnya penurunan angka kemiskinan dan pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa sejak pemberlakuan otonomi daerah di Indonesia (2001), pertumbuhan ekonomi daerah berdampak besar terhadap penurunan kemiskinan.
Tanpa pertumbuhan ekonomi memadai di daerah tertinggal, angka kemiskinan sulit diturunkan. Daerah yang mengandalkan sektor pertanian cenderung menghasilkan nilai tambah lebih rendah dibandingkan daerah dengan dominasi sektor sekunder maupun tersier dalam pembentukan produk domestik regional bruto (PDRB).
Sektor pertanian di daerah tertinggal sangat dominan, menyumbang 30-40 persen PDRB. Di saat bersamaan, kualitas sumber daya manusia daerah tertinggal rendah. Maka, strategi kedua ialah menjalankan kebijakan pembangunan manusia yang dapat mendukung peningkatan nilai tambah sektor pertanian.
Pendidikan vokasi dan kejuruan di daerah tertinggal dapat diarahkan guna menunjang pertanian (dalam arti luas termasuk perikanan, peternakan, kehutanan) modern, dengan produktivitas dan nilai tambah tinggi, misalnya mengadopsi konsep smart farming. Peningkatan kualitas sumber daya manusia seiring nilai tambah sektor pertanian.
Daerah tertinggal akan menjadi pilar ketahanan pangan dan lingkungan Indonesia. Pembangunan sektor pertanian di daerah tertinggal juga perlu diarahkan untuk mendukung upaya perbaikan gizi. Pembangunan sarana dan prasarana (listrik, telekomunikasi, dan transportasi) di daerah tertinggal perlu diprioritaskan untuk mendukung peningkatan nilai tambah sektor pertanian.
Strategi ketiga mempertimbangkan korelasi yang kuat antara pembangunan desa dan pembangunan daerah tertinggal. Mengentaskan desa tertinggal dan sangat tertinggal (83 persen dari keseluruhan desa di daerah tertinggal) sama artinya dengan mengentaskan daerah tertinggal. Dana desa yang begitu besar jumlahnya sebaiknya diprioritaskan untuk mendukung kegiatan ekonomi desa.
(Sonny Harry B Harmadi, Deputi Bidang Koordinasi Pemberdayaan Masyarakat, Desa, dan Kawasan Kemenko PMK)