Jika politik itu matematika, UU Sapu Jagat Cipta Kerja pasti akan gol dan disahkan oleh DPR. Presiden Joko Widodo mengharapkan UU itu selesai dalam 100 hari.
Oleh
·2 menit baca
Dengan kekuasaan yang terkonsolidasi, koalisi pemerintah menguasai 427 kursi DPR dari 525 kursi atau 81 persen kursi, pasti Presiden Jokowi dan menterinya akan mudah berunding dengan DPR dan mengesahkan RUU Cipta Kerja. Hal yang sama pernah terjadi ketika Presiden Jokowi merevisi UU KPK pada akhir DPR periode 2014-2019 yang berujung uji materi di MK dan merosotnya kepercayaan publik pada KPK.
Setelah lama disembunyikan, substansi UU Cipta Kerja mulai terbuka. Presiden Jokowi menyerahkan Surat Presiden dan draf RUU Cipta Lapangan Kerja ke DPR.
Sebagaimana diberitakan Kompas, 13 Februari 2020, beberapa pasal dalam RUU Cipta Kerja lebih berpihak pada kepentingan investor dan merugikan kepentingan buruh. Kewajiban pengusaha memberikan pesangon kepada buruh dikurangi, meski pemerintah memberikan kompensasi lain.
RUU Cipta Kerja dimaksudkan untuk melakukan transformasi ekonomi. Pemerintah beranggapan investasi akan mempekerjakan tujuh juta rakyat yang tak punya kerja. Pandangan itu positif. Namun, bagaimana membuat keseimbangan antara investasi dan pekerja. Kesejahteraan pekerja juga tak boleh dilupakan. Keberpihakan pemerintah menjadi penting. Sebagaimana pernah dinyatakan filsuf Thrasymachus, ”Hukum bisa menjadi alat legitimasi mereka yang sedang berkuasa. Sementara bagi mereka yang lemah, hukum tidak berdaya membela.”
Seperti diingatkan Bambang Kesowo dalam artikel di harian Kompas, 13 Februari 2020, bertajuk ”Pembonceng Omnibus”, terkait masalah hak paten. Berkaitan dengan paten, Bambang menulis, ”Mereka senang, sedang kita telanjang. Bukankah sebagai metode, omnibus bukan lantas berarti ’sapu jagat’, dan jauh pula dari arti amuk-amukan.”
Pembahasan RUU Cipta Kerja tak perlu dilakukan terburu-buru. Semua pihak harus dilibatkan, termasuk para buruh, bukan hanya pimpinannya. Berbagai kelompok harus didengar agar bisa mengawal kewarasan publik.
Dalam visi-misi Presiden Jokowi dan Ma’ruf Amin, tertulis visi misi Presiden di sektor ketenagakerjaan, yakni pemerintah ingin membangun sistem perburuhan dan pengupahan yang dapat meningkatkan kesejahteraan buruh sekaligus meningkatkan daya saing nasional. Apakah RUU Cipta Kerja itu masih sesuai dengan visi-misi Presiden?
Setelah Presiden menyatakan posisi politiknya dalam RUU Cipta Kerja, publik menggantungkan diri pada DPR. Nurani partai politik diketuk. Akankah politisi DPR hanya mengiyakan keinginan kekuasaan atau mau mendengarkan aspirasi kepentingan buruh dan kelompok masyarakat lain? Bangsa ini membutuhkan investasi, tetapi tidak boleh mengorbankan nasib buruh. Konsultasi publik perlu dibuka seluas-luasnya. agar tidak ada sekat aspirasi yang tersumbat.