Tidak ada yang abadi selain kepentingan. Pengumuman Filipina mengakhiri perjanjian militer dengan Amerika Serikat membenarkan ungkapan itu.
Oleh
·2 menit baca
Filipina dan Amerika Serikat pernah sangat dekat. Dulu ada pangkalan militer AS di Subic dan Clark. Dahulu, kedua pangkalan itu tercatat sebagai instalasi militer AS terbesar yang ada di luar negara tersebut. Pada awal dekade 1990-an, Subic dan Clark tidak lagi menjadi pangkalan militer AS.
Meski demikian, kerja sama militer antara Filipina dan AS tetap erat. Keduanya menandatangani Visiting Forces Agreement tahun 1998 yang memfasilitasi kunjungan pasukan, kapal, dan pesawat terbang AS ke Filipina. Visiting Forces Agreement 1998 juga menjadi dasar bagi AS melatih tentara Filipina, dasar bagi latihan militer kedua negara, serta pemberian bantuan bagi kegiatan antiterorisme.
Kerja sama erat itu tak lama lagi akan berakhir karena Presiden Filipina Rodrigo Duterte, Selasa silam, mengumumkan diakhirinya perjanjian tersebut. Pemerintah Filipina menyampaikan pula bahwa Duterte tidak menerima inisiatif pembicaraan apa pun dari AS. Dengan kata lain, pintu negosiasi telah ditutup rapat.
Menurut Manila, alasan yang menyebabkan Duterte mengakhiri perjanjian militer antara lain serangkaian tindakan legislatif dan eksekutif AS yang tak ubahnya menyerang kedaulatan dan tak menghormati sistem peradilan Filipina.
Pada awal Januari, Senat AS memang mengeluarkan resolusi mengecam Pemerintah Filipina, yang mendukung pembunuhan di luar hukum sebagai bagian dari kampanye antinarkoba. Kelompok hak asasi menyebut, lebih dari 12.000 warga Filipina meninggal akibat operasi itu. Resolusi Senat meminta Presiden AS untuk menjatuhkan sanksi atas pejabat Filipina yang bertanggung jawab.
Beberapa pekan kemudian, Senator Filipina, Ronald dela Rosa, orang yang berperan dalam perang antinarkoba serta mantan kepala kepolisian negara itu, mendapati permohonan visanya ditolak AS.
Langkah Duterte itu dinilai memukul AS dan kepentingannya di Asia Tenggara. Menteri Pertahanan AS Mark Esper menyebut keputusan itu ”tak menguntungkan” dan tidak mendukung upaya Washington serta sekutunya saat berusaha menghadapi China. Meski demikian, Presiden AS Donald Trump memberi respons berbeda. Ia menyatakan tak keberatan dengan keputusan Filipina. Berakhirnya kerja sama juga justru menghemat keuangan AS.
Hubungan Filipina dengan AS, setelah Duterte mulai memerintah pada 2016, memang mengalami dinamika yang berbeda ketimbang sebelumnya. Duterte tampak memberikan sinyal lebih positif kepada China meski kedua negara bersengketa wilayah di Laut China Selatan. Di tengah kebangkitan China dan meluasnya pengaruh negara itu, bantuan Beijing pun disambut dengan tangan lebih terbuka oleh Manila.