Mahkamah Arbitrase Permanen pada 12 Juli 2016 menolak klaim “sembilan garis putus-putus” (nine-dash line) China atas alasan kesejarahan. Oleh sebab itu, China akan menghindari sengketa hukum dengan Indonesia.
Oleh
IDG Palguna
·4 menit baca
Kompas (23/1/2020) memberitakan ”Dorong Operasi Kapal Besar di Natuna Utara”. Operasi kapal berukuran lebih dari 150 gros ton di zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia itu untuk menguatkan nelayan kita.
Kekosongan perairan ZEE di Laut Natuna Utara dari kapal-kapal Indonesia berukuran besar memicu masuknya kapal asing. Sehari berikutnya, Kompas memuat berita serupa, menegaskan bahwa pemerintah bakal mengizinkan kapal-kapal berukuran lebih dari 150 gros ton untuk beroperasi di ZEE Indonesia (”Kapal Besar ke Zona Eksklusif”, 24/1/2020).
Dengan kedua berita tersebut, ketegangan diplomatik antara Indonesia dan China akibat berkeliarannya kapal-kapal nelayan China dengan kawalan kapal-kapal penjaga pantai mereka untuk menangkap ikan di perairan Kepulauan Natuna seakan lenyap. Benarkah?
Kedua berita yang berdekatan itu seakan ”mengamini” imbauan Panglima Komando Wilayah Pertahanan I (Pangkowilhan I) Laksamana Madya TNI Yudo Margono yang meminta agar polemik mengenai kapal-kapal nelayan dan penjaga pantai China di Laut Natuna tersebut jangan sampai memanaskan situasi. Menurut Pangkowilhan I, kapal-kapal penjaga pantai China telah mengakui ZEE Indonesia di perairan Natuna.
Tulisan ini hendak memberikan perspektif lain sebagai antisipasi terhadap kemungkinan tak terduga, mengingat China sempat melontarkan alasan ”kesejarahan” untuk membenarkan para nelayan dan aparat penjaga pantainya di ZEE Indonesia itu. Pemerintah China mengatakan, tidak bisa menjamin bahwa ke depan nelayan-nelayan mereka tidak menangkap ikan lagi di sana dengan alasan kesejarahan.
Dengan kata lain, pernyataan kapal-kapal penjaga pantai China belum memadai menjadi jaminan pendapat resmi Pemerintah China.
Terlepas dari persoalan kelemahan argumentasi faktual ataupun teoretiknya, jika klaim itu sungguh-sungguh menjadi pendapat resmi Pemerintah China, potensi terjadinya sengketa hukum (sengketa perikanan) tidak dapat dinihilkan.
Langkah antisipatif
Apa langkah antisipatif yang dibutuhkan? Pengerahan nelayan Indonesia, termasuk kapal-kapal berukuran besar—bila perlu dikawal kapal-kapal penjaga pantai Indonesia dan TNI Angkatan Laut—ke perairan ZEE Indonesia di Laut Natuna penting dan harus dilakukan.
Berdasarkan hukum laut internasional positif, dalam hal ini Pasal 56 Ayat (1) huruf a Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UN Convention on the Law of the Sea, UNCLOS), Indonesia sebagai negara pantai memiliki hak kedaulatan bukan sekadar untuk menangkap ikan, melainkan juga untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi, konservasi dan pengelolaan sumber daya alam, baik hayati maupun nonhayati, serta aktivitas eksploitasi dan eksplorasi ekonomis lain di perairan ZEE itu.
Misalnya, kegiatan memproduksi energi yang bersumber dari air, arus, atau angin di perairan tersebut. Artinya, dalam konteks ZEE di Laut Natuna, hak untuk memanfaatkan kekayaan hayati berupa ikan di ZEE hanya sebagian kecil dari keseluruhan hak eksklusif yang diberikan UNCLOS kepada Indonesia sebagai negara pantai.
Hak itu tidak mungkin dibantah oleh siapa pun, lebih-lebih oleh negara-negara pihak dalam UNCLOS, termasuk China, karena UNCLOS itu de lege lata (hukum positif). Apabila terjadi sengketa, dibawa ke Mahkamah Internasional (International Court of Justice/ICJ).
Sesuai Pasal 38 Ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional (Statute of the International Court of Justice), ICJ akan memperlakukan ketentuan UNCLOS, khususnya tentang ZEE sebagai sumber hukum primer dalam mengadili dan memutus sengketa.
China juga tahu bahwa kedudukan istimewanya sebagai salah satu negara lima besar pemegang hak veto tidak ada manfaatnya. Sebab, ini bukan pengambilan keputusan di Dewan Keamanan. Apalagi Mahkamah Arbitrase Permanen (Permanent Court of Arbitration) pada 12 Juli 2016 menolak klaim ”sembilan garis putus-putus” (nine-dash line) China yang juga atas alasan kesejarahan. Oleh sebab itu, China akan menghindari sengketa hukum dengan Indonesia, apalagi sampai dibawa ke ICJ.
Lantas apa maksud China dengan alasan ”kesejarahan”? Dalam hal ini kita hanya dapat menduga-duga. Mungkin China ingin coba-coba, meniru argumentasi Norwegia yang antara lain juga menggunakan alasan kesejarahan dalam klaim atas perairan seluas 1.000 mil garis pantai di utara negeri itu, sebagaimana tertuang dalam Dekrit Raja (Royal Decree) 1935.
Dekrit itu membawa Norwegia bersengketa dengan Inggris yang berakhir di ICJ. Dalam putusannya yang terkenal Anglo-Norwegian Fisheries Case (1951), ICJ untuk pertama kali menarik garis pangkal dengan menggunakan garis pangkal lurus (straight baseline) guna mengukur lebar laut teritorial yang diakui sebagai kaidah hukum internasional.
Ada ketentuan hukum
Namun, ganjil rasanya jika hal itu menjadi latar belakang klaim China di ZEE Indonesia di Laut Natuna. Sebab, klaim kesejarahan tidak mungkin digunakan jika obyek yang menjadi klaim telah ada ketentuan hukum internasionalnya.
Lagi pula, jika menggunakan Anglo-Norwegian Fisheries Case sebagai acuan dan jika belum ada rezim hukum ZEE yang berlaku, quod non, pihak yang lebih tepat menggunakan klaim kesejarahan demikian justru pihak Indonesia.
Ataukah, dengan melontarkan alasan ”kesejarahan” China hendak menggunakan fakta ini sebagai alasan membangun dalil pendudukan yang efektif atas perairan di ZEE Indonesia itu? Dalam hal ini China akan berhadapan setidaknya dengan dua kelemahan mendasar yang kumulatif.
Kedua, doktrin pendudukan efektif hanya diakui apabila selama pendudukan itu tidak pernah terdapat keberatan. Sementara dalam kasus ini, keberatan bukan hanya nyata, melainkan hampir menimbulkan krisis diplomatik serius.
Lantas, apa maksud China dengan klaim kesejarahan itu? Mungkin sekadar iseng-iseng berhadiah, siapa tahu Indonesia sedang ”bermurah hati”.