Mendaki menuju Paro Taktsang, kuil Buddha paling terkemuka di Himalaya, saya merasa sebagai pendaki paling lemah. Orang-orang lain dari Amerika, Eropa, negeri-negeri Asia, terutama India, mendahului saya.
Oleh
Bre Redana
·3 menit baca
Mendaki menuju Paro Taktsang, kuil Buddha paling terkemuka di Himalaya, saya merasa sebagai pendaki paling lemah. Orang-orang lain dari Amerika, Eropa, negeri-negeri Asia, terutama India, mendahului saya. Ada yang seperti berlari. Saya sendiri setiap jengkal memerlukan berhenti mengumpulkan napas.
Paro Taktsang, kuil sekaligus biara yang juga dikenal dengan sebutan Tiger Nest, terletak di tubir karang terjal pada ketinggian 3.120 meter di daerah Paro, kota yang menjadi gerbang negeri Bhutan di kaki Himalaya. Saya jadi ingat Merbabu, gunung di kota kelahiran saya yang berkali-kali saya daki semasa mahasiswa. Gunung Merbabu memiliki ketinggian 3.145 meter—hampir persis sama dengan Taktsang.
Bedanya, karang di mana Taktsang bertengger berada di atas Lembah Paro setinggi 900 meter. Kota Paro sendiri memiliki ketinggian 2.500 meter di atas permukaan laut. Dihitung-hitung, Paro Taktsang memiliki ketinggian lebih dari 6.500 meter di atas permukaan laut alias dua kali lipat puncak Merbabu.
Salju menempel di karang-karang, batu-batu, dan bukit-bukit pada musim dingin awal Februari. Dari atas gunung kadang salju runtuh menimbulkan suara berdegum. Oksigen amat tipis. Paru-paru saya bekerja sangat keras, membuat dada sakit. Penahan ketinggian homeopathic coca yang diberikan oleh sahabat saya, Sarie Febriane, tak begitu menolong.
Tak saya pedulikan orang lain berlalu. Saya berserah pada ruang dan waktu saya sendiri. Saya telanjur membawa prayer flags atau bendera doa yang saya niatkan untuk diberkati oleh rahib di Taktsang.
Dalam ruang dan waktu sendiri, saya menyadari apa yang paling saya butuhkan, yakni bernapas. Di sejumlah titik saya melihat bangku dengan tulisan diperuntukkan bagi nama seseorang. Menurut pemandu, itu sumbangan keluarga bagi saudara atau orang tercinta yang meninggal di jalur pendakian ini. Saya termangu-mangu. Mudah-mudahan istri saya, Vivi, tidak perlu membuat instalasi bangku di sini dengan tulisan ”for the loving memory of Bre Redana”.
Saya kian menyadari sejatinya tidak banyak yang dibutuhkan orang. Dalam ruang dan waktu sendiri, setiap individu memiliki kebutuhan masing-masing. Biarlah saya lega situ, kebutuhan yang relevan dengan diri saya hanya bernapas dan berjalan.
Sebagai pensiunan wartawan, saya teringat bagaimana dulu saya terus-menerus merespons sekeliling dengan pertanyaan, apa yang relevan bagi pembaca. Kurang saya sadari bahwa yang relevan bagi seseorang sifatnya sangat individual. Di tengah banjir bandang informasi pada era digital ini, didikte oleh berita yang diperbarui setiap detik seolah semua hal di dunia penting dan harus diketahui semua orang, hidup saya nyatanya cuma begini-begini saja. Begitu pun saya kira kehidupan sehari-hari kalian.
Kita dikondisikan untuk memikirkan hal-hal yang sebetulnya tidak ada urusan dengan diri sendiri. Apa relevansinya berita seorang artis, pesohor, tidak bisa mengupas kulit pisang, apalagi menyeterika baju. Fokus kita diceraiberaikan setiap hari oleh media massa dan media sosial. Ada korupsi yang dibahas soal teknis proseduralnya, bukan moral. Ekonomi katanya maju, tapi hidup rakyat susah. Dikelilingi legiun penasihat dari generasi milenial hingga kolonial, pernyataan penguasa tetap saja lebih banyak bikin puyeng.
Masyarakat Bhutan di Himalaya dikenal sebagai masyarakat paling berbahagia di dunia. Buku-buku dan ajaran yang berhubungan dengan kebahagiaan disertai kegiatan berupa meditasi, yoga, semadi, berlangsung di mana-mana. Seperti bendera warna-warni bertulis doa yang terbentang di gunung-gunung: kenyataan di alam, kehidupan, dan estetika menyatu di Bhutan.
Kebahagiaan dalam sistem kepercayaan ini bukanlah produk, melainkan jalan. Kebahagiaan sebagai jalan tidak selalu nikmat. Jalan kebahagiaan kadang berat dan bikin sengsara, seperti pendakian ke kuil Taktsang.
Jalan kebahagiaan adalah jalan melepaskan, antitesis dari memiliki. Saya sempat berpikir mengapa mereka yang kufur nikmat dalam kekuasaan suka berbohong dan ngibul. Jalan kebohongan lebih mudah daripada jalan kebahagiaan.