Tesis dalam disertasi itu boleh saja bertentangan dengan teori yang sudah ada dan bahkan sudah mapan asalkan disertai dengan argumentasi yang kuat dan atau data observasional atau eksperimental dari ”lapangan”.
Oleh
L Wilardjo
·4 menit baca
Johanes Eka Priyatma (JEP), Rektor Universitas Sanata Dharma, memungkasi artikelnya, ”Merdeka Berpikir”, dengan saran: ”Akan lebih baik bila setiap perguruan tinggi membekali mahasiswanya dengan filsafat ilmu sebagai cara memperkuat fondasi berpikir kritis-ilmiah dalam mengerjakan skripsi.”
Saran JEP itu mengingatkan saya pada ”pengakuan dosa” mahasiswi saya ketika dia lulus ujian disertasi dan menjadi doktor. Dia mengakui ketidaksukaannya pada mata kuliah filsafat ilmu yang saya ampu. Baru menyadari pentingnya ilmu itu setelah meneliti dan mulai menyusun disertasi.
Saya tak hendak membantah atau mengamini pernyataan JEP dan mahasiswi saya. Saya hanya ingin membicarakan patokan kebenaran ilmiah dalam filsafat ilmu dan dipakai pembimbing dan penguji dalam menilai (draf) disertasi.
Patokannya ada dua, yakni koherensi dan korespondensi. Koheren itu logis, tanpa ada kontradiksi antara satu bagian dari karya tulis itu dengan bagian (-bagian) lainnya. Pernyataan-pernyataan dalam karya tulis juga konsisten dengan teori-teori dan fakta-fakta yang sudah diketahui sebelumnya dan sudah terbukti kebenarannya.
Tesis dalam disertasi itu boleh saja bertentangan dengan teori yang sudah ada dan bahkan sudah mapan asalkan disertai dengan argumentasi yang kuat dan atau data observasional atau eksperimental dari ”lapangan”.
Tesis dalam disertasi itu boleh saja bertentangan dengan teori yang sudah ada dan bahkan sudah mapan asalkan disertai dengan argumentasi yang kuat dan atau data observasional atau eksperimental dari ”lapangan”.
Percobaan fisikawan Amerika, Albert Abraham Michelson, di Potsdam (Jerman) tahun 1881, gagal. Ia tidak mendapatkan apa yang dicarinya, yakni adanya kecepatan cahaya relatif terhadap ”aether” yang (pada waktu itu diyakininya) mengisi seluruh ruang, baik ruang di sekeliling kita maupun ruang angkasa tempat benda-benda langit (celestial bodies) berada. Hasil penelitian itu negatif, artinya tidak konsisten dengan teori yang diyakini sudah terbukti kebenarannya.
Hasil yang negatif itu tidak ”dibela” oleh Michelson (dan rekan kerjanya, Edward Morley) dengan argumentasi yang logis-rasional. Namun, hasil tersebut merupakan fakta eksperimental, dan Michelson menggunakan alat ukur yang sangat akurat, yakni interferometer yang dirancangnya sendiri dan sudah diuji coba di laboratoriumnya.
Alih-alih dicemooh oleh komunitas ilmiah, Michelson malah menjadi fisikawan Amerika pertama yang mendapat Nobel (1907).
Patokan korespondensi menuntut kebersesuaian pernyataan dengan kenyataan. Pernyataan harus ada konfirmasi atau—kalau mengikuti Karl R Popper—harus gagal difalsifikasi.
Pernyataan (atau dalil) yang memenuhi patokan koherensi disebut sahih (valid), dan kesahihan itu sudah cukup untuk karya tulis dalam ilmu formal, seperti logika, matematika, dan gramatika.
Namun, dalam ilmu real yang berkaitan dengan peristiwa di dalam alam dan/atau pengalaman dalam kehidupan manusia dan pergaulan sosialnya di masyarakat, koherensi harus dilengkapi dengan korespondensi, supaya karya itu tidak hanya sahih, tetapi juga benar secara ilmiah (scientifically true).
Ada pembimbing penulisan tesis S-2 dan pembimbing penyusunan disertasi S-3 yang selain menuntut koherensi dan korespondensi, menambahkan patokan yang ketiga, yakni pragmatisme. Harus dijelaskan, apa implikasi praktis dari temuan ilmiah itu, dan apakah nilai guna itu juga akan memberikan nilai tambah apabila temuan ilmiah itu diaplikasikan.
Pada hemat saya, menuntut pemenuhan patokan yang ketiga itu berlebihan. Lebai! Koherensi dan korespondensi itu saja sudah merupakan syarat perlu (necessary condition) dan syarat cukup (sufficient condition). Kalau kebetulan ada juga uraian tentang implikasi praktis dari temuan ilmiah dalam disertasi, tentu baik sekali. Akan tetapi, tanpa aspek praktis-pragmatis itu, karya ilmiah disertasi sudah sah.
Itu semua lebai, sebab tuntutan pembimbing itu mungkin tidak sesuai dengan gagasan mahasiswa dan akan ditunjukkan kebenarannya melalui penelitian. Bagaimana pembimbing bisa menuntut pendekatan kuantitatif, misalnya, kalau hal yang akan digarap si mahasiswa adalah konsep kualitatif? Dapatkah untuk pengertian ”kasih” atau ”iman”, misalnya, dibuat definisi operasionalnya?
Tidak menuntut hal-hal yang berlebihan itulah yang oleh filsuf (yang hebat tetapi eksentrik) dari Austria, Paul Feyerabend, disebut ”Apa saja boleh” atau Anything goes (Science in a Free Society, NLB, London, 1978).
Jadi, koherensi dan korespondensi itu sudah bagus, dan implikasi praktis merupakan bonus. Janganlah mahasiswa diharuskan memakai cara ini atau ancangan itu.
Kalau semangat ”bagus-bonus” dan ”Apa saja boleh” dalam ranah kegiatan ilmiah ini kita bawa ke kehidupan kita sebagai bangsa di NKRI yang demokratis dan menghargai keterbukaan serta menginginkan kecerdasan, kritik harus diperbolehkan dan didengarkan serta dicamkan, tanpa si pengkritik harus memberikan solusi.
Kritik itu sendiri sudah merupakan kontribusi, sedangkan mencari solusinya lebih merupakan tugas pejabat pemerintah yang mempunyai otoritas.