Perkembangan sosial-masyarakat memunculkan kosakata atau istilah baru yang kurang dikenal. Hari ini kita membaca istilah baru, doxing.
Oleh
·2 menit baca
Menurut kamus Oxford, dox berarti ’mencari dan menyiarkan informasi pribadi tentang seseorang di internet, biasanya untuk maksud tidak baik”. Sekadar contoh penggunaan, ”peretas dan vigilan online secara rutin men-dox figur publik dan perseorangan”.
Dalam berita kemarin, seorang aktivis mengaku jadi korban doxing ketika dua fotonya diedit dengan bagian tubuh dikaburkan hingga menimbulkan kesan dirinya tanpa busana. Foto editan disebarluaskan setidaknya di 76 akun Twitter, tiga akun Instagram, dan di Facebook, padahal dirinya tidak pernah mengunggah foto seperti itu di media sosial. Foto (asli) ada di telepon selulernya, dan ia tidak tahu bagaimana pelaku mengakses foto yang ia simpan di telepon selulernya.
Korban lain adalah aktivis politik yang data pribadinya disebarkan dengan narasi yang dicocok-cocokkan. Dalam berita juga disebutkan pengalaman jurnalis Kumparan.com yang mendapatkan ancaman setelah media tempatnya bekerja menurunkan liputan khusus tentang satu pihak tertentu.
Jika hacking dipadankan dengan peretasan, doxing semestinya harus dipadankan dengan istilah lain yang bermakna lebih jauh daripada hacking karena ada aksi lain yang lebih dari sekadar ”meretas” akun, yaitu setelah mendapat data melalui peretasan, pelaku mengedit (mengubah atau menambahi) dan lalu menyebarkan melalui media sosial, dengan tujuan fitnah.
Kita apresiasi Laporan Tahunan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) yang dua tahun silam sudah mendeteksi adanya ancaman baru digital ini. Bahwa organisasi seperti AJI sudah dini mengenali fenomena ini kiranya masuk akal, mengingat aktivis dan jurnalis dilihat sebagai kalangan yang paling rentan menjadi korbannya, meski siapa pun bisa menjadi korban.
Menanggapi makin maraknya fenomena doxing, dosen Ilmu Komunikasi UI Endah Triastuti menilai perlu dipikirkan perlindungan terhadap para pekerja di industri yang terkait dengan jurnalisme. Sementara peneliti LIPI, Ibnu Nadzir Daraini, melihat doxing secara lebih lugas, yakni sebagai aksi pembungkaman kebebasan bersuara jika itu dialami oleh aktivis atau jurnalis. Jika doxing dialami oleh warga biasa, itu bisa dimaknai sebagai aksi perundungan.
Dari sisi fenomenanya, kita menyaksikan bahwa teknologi informasi telah memperlihatkan kemampuan barunya untuk melakukan aksi doxing. Individu dan mereka yang bekerja di bidang rentan, seperti jurnalisme atau pegiat politik, perlu semakin meningkatkan kewaspadaan, dan pihak berwenang perlu proaktif dan mengambil tindakan tegas dan cepat manakala ada kasus doxing.
Kita menyadari bahwa kemajuan teknologi selalu bermata dua, dan mereka yang menggunakannya harus menemukan cara-cara cerdas untuk meminimalkan potensi negatif pemanfaatannya.