Menjaga Masa Depan Film Indonesia
Makin besarnya peran film- film papan tengah dalam penjualan tiket menunjukkan bahwa industri film Indonesia mulai memiliki fondasi yang lebih kuat.
Industri film Indonesia menunjukkan perkembangan menggembirakan beberapa tahun belakangan ini. Survei SMRC di 103 kabupaten/kota pada September 2019 menunjukkan bahwa 9,3 persen masyarakat Indonesia berusia 17 tahun ke atas menonton film nasional di bioskop dan 8,2 persen menonton film asing di bioskop.
Studi berikutnya pada Desember 2019 dengan responden anak muda berusia 15-39 tahun di 16 kota besar di Indonesia menunjukkan bahwa 67 persen menyatakan menonton film nasional dan 55 persen menonton film asing.
Namun, pangsa pasar (market share) film Indonesia berkisar di angka 35 persen dan film asing 65 persen menunjukkan bahwa frekuensi menonton film asing jauh lebih banyak ketimbang film nasional. Meskipun begitu, ini lebih baik ketimbang sebagian besar negara Asia. Hanya empat negara Asia yang angka pangsa pasar film lokalnya di atas Indonesia, yaitu China (62 persen), India (85 persen), Jepang (54 persen), dan Korea Selatan (52 persen).
Tren berkelanjutan?
Setelah kelesuan yang cukup lama, awal abad ke-21 ditandai pasang naik dengan film seperti Petualangan Sherina (2000) dan Ada Apa dengan Cinta (2002). Namun, tahun-tahun berikutnya surut kembali. Pasang naik berikutnya adalah tahun 2007-2009 dengan film- film seperti Get Married (2007), ¬Laskar Pelangi (2008), Ayat- ayat Cinta (2008), dan Sang Pemimpi (2009).
Tahun 2008, sekitar 32 juta tiket film Indonesia terjual (pangsa pasar 28 persen) dan pada 2009 mulai menurun dengan 28,5 juta tiket terjual (pangsa pasar 24 persen). Setelah itu, selama enam tahun (2010-2015) rata-rata hanya terjual 16 juta tiket per tahun. Pangsa pasar film Indonesia pun turun terus—dari sekitar 21 persen pada 2010 menjadi 12 persen tahun 2015.
Tahun 2016 menjadi titik balik ketika jumlah tiket film Indonesia terjual melonjak menjadi 37 juta tiket dengan film- film di atas 2 juta tiket, seperti Warkop DKI Reborn, Ada Apa dengan Cinta 2, My Stupid Boss, dan Cek Toko Sebelah. Pangsa pasar film Indonesia pun melonjak menjadi 23 persen tahun itu.
Tren positif ini terus terjadi selama empat tahun terakhir ini. Tahun 2019 mencatat 52 juta penjualan tiket dengan pangsa pasar sebesar 34 persen. Kita berharap tren positif ini berlangsung terus dan tidak mengalami penurunan seperti masa-masa sebelumnya setelah terjadinya pasang naik film Indonesia.
Tergantung ”box office”?
Untuk kemudahan, mari kita bagi film Indonesia menjadi tiga kategori, yaitu box office (terjual di atas 1 juta tiket), papan tengah (250.000 sampai 1 juta), dan papan bawah (di bawah 250.000). Sejak 2016, jumlah film box office dan papan tengah bertambah. Tahun 2016, sebanyak 10 judul film box office meraup 73 persen dari total penjualan tiket film nasional dan 12 film papan tengah meraih 15 persen penjualan tiket. Lalu pada 2017, sebanyak 11 film box office mendapatkan 58 persen dan 23 film papan tengah meraih 29 persen penjualan tiket.
Tren positif masih berlanjut pada 2018, yaitu 14 film box office meraih 55 persen dari total tiket terjual dan 30 film papan tengah meraup 32 persen penjualan tiket. Terakhir tahun 2019, sebanyak 15 judul film box office mencatat 57 persen dari total penjualan tiket, sedangkan 27 film papan tengah mengukir 30 persen penjualan tiket.
Makin besarnya peran film- film papan tengah dalam penjualan tiket menunjukkan bahwa industri film Indonesia mulai memiliki fondasi yang lebih kuat.
Jumlah layar
Jumlah layar bioskop pun terus tumbuh dari tahun ke tahun. Jika pada 2008 penonton film dilayani oleh 574 layar, di Januari 2020 sudah tersedia 2.051 layar. Pertumbuhan layar juga didorong oleh munculnya jaringan-jaringan baru, seperti CGV dan Cinepolis.
Karena itulah, jika tahun 2008 Cinema XXI menguasai 76 persen jumlah layar di Indonesia, awal 2020 ini pangsanya turun menjadi 58 persen jumlah layar. Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia (GPBSI) memproyeksikan jumlah layar menjadi 3.000-an pada 2024.
Jumlah tersebut hanyalah delapan layar untuk setiap sejuta orang Indonesia. Bandingkan dengan negara lain: China dengan 38 layar dan Meksiko dengan 48 layar untuk setiap sejuta orang. Di India, sebenarnya hanya 9 layar setiap sejuta penduduk. Namun, karena budaya menonton film yang jauh lebih kuat, volume industri film India sangatlah besar. Tahun 2011, tak kurang dari 3,5 miliar tiket film terjual di India.
Dalam konteks ini, menarik untuk merujuk pada riset SMRC Desember 2019 yang bertanya apa saja alasan responden yang tidak pernah menonton film Indonesia. Ternyata 25 persen responden tersebut menjawab bahwa mereka memang tidak suka menonton film. Alasan berikutnya adalah tiket dianggap terlalu mahal (23 persen) dan lokasi bioskop terlalu jauh (12 persen).
Alasan yang menganggap film Indonesia tidak menarik hanya sebesar 9 persen dan yang menjawab bahwa film Indonesia tidak bermutu hanya 3 persen.
Karena itu, selain menambah terus jumlah layar, tantangan lain bagi industri film Indonesia adalah bagaimana mendorong orang lebih sering menonton film Indonesia. Dari sisi produser film, hal itu bisa dilakukan dengan memproduksi film-film dengan production value yang baik, genre yang makin beragam, dan promosi yang tepat sasaran.
Bersama menjaga
Semua pemangku kepentingan punya peran dalam menjaga tren positif ini. Pemerintah seharusnya berperan besar dalam upaya ini. Sekadar contoh, pemerintah bisa berperan lebih jauh dengan memfasilitasi peningkatan kualitas sumber daya manusia melalui pendidikan-pendidikan khusus, seperti penulisan skenario atau penyutradaraan.
Masalah pembajakan juga tantangan besar bagi industri, terutama yang dilakukan oleh situs-situs penyedia film gratis. Banyak film Indonesia yang masih tayang di bioskop sudah bisa ditonton di situs-situs tersebut. Konsistensi penegakan hukum sangat diperlukan dalam hal penting dan genting ini.
Mari bersama menjaga kemajuan film Indonesia.
PUTUT WIDJANARKO
Direktur Mizan Pictures dan Dosen Paramadina
Graduate School of Communication