Sebagaimana petani di Uni Eropa, pemerintah bisa menghapuskan berbagai subsidi terkait sarana produksi pertanian dan HPP menjadi satu: jaminan penghasilan petani yang ditransfer setiap bulan melalui kartu tani.
Oleh
Catur Sugiyanto
·4 menit baca
”Petani Belum Terjamin”. Demikian judul berita Kompas di halaman 1 beberapa hari yang lalu, 11 Februari 2020. Kondisi petani semakin tidak tersentuh kebijakan untuk meningkatkan kesejahteraan.
Selama ini, upaya peningkatan kesejahteraan petani dilakukan melalui mekanisme pasar. Pemerintah dalam hal ini menentukan harga pembelian (HPP) berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2015 tentang Kebijakan Pengadaan Beras/Gabah dan Penyaluran Beras oleh pemerintah.
Harga gabah kering panen (GKP) di tingkat petani ditentukan Rp 3.700 per kilogram. Sayangnya, HPP ini hampir selalu di bawah harga yang terjadi di pasar. Oleh karena itu, kebijakan tersebut tidak efektif.
Kebijakan melindungi petani sebenarnya memiliki sejarah panjang, sejak awal Orde Baru. Sebagai bagian dari strategi pembangunan jangka lima tahun (Repelita), petani wajib menjalankan Panca Usaha Tani: melakukan pengolahan (penyiapan) lahan, penggunaan bibit unggul, pemupukan, pemberantasan hama dan irigasi yang baik. Untuk mendukung upaya ini, petani memperoleh bantuan pupuk, bibit dan obat-obatan.
Di samping itu, pemerintah menentukan harga dasar dan harga atas untuk menjamin penerimaan petani. Pemerintah membangun Badan Usaha Unit Desa (BUUD), Koperasi Unit Desa (KUD), Pusat Koperasi Unit Desa (Puskud), dan Bulog untuk memengaruhi bekerjanya pasar beras, menyerap ketika musim panen raya dan melepaskan gabah ke pasar ketika musim paceklik, menjamin agar harga beras berpihak kepada petani dan konsumen, sekaligus mendorong swasembada.
Berbagai intervensi tersebut mencapai puncak sukses ketika kita mencapai swasembada beras pertama kali tahun 1984. Namun, dalam perkembangannya, kebijakan intervensi pemerintah, penentuan harga dasar, dan berbagai subsidi menjadi tidak efektif. Kritik terhadap berbagai intervensi tersebut disebabkan karena intervensi yang bersifat distortif.
Di samping itu, dalam era perdagangan bebas sekarang ini, intervensi pemerintah yang berpengaruh langsung terhadap bekerjanya pasar tidak diperbolehkan. Lantas bagaimana seharusnya pemerintah melindungi petani?
Perlindungan petani ala Uni Eropa
Yang diperlukan adalah bagaimana melindungi petani secara efektif dan terhindar dari tuduhan melakukan intervensi bersifat distortif dan yang termasuk mengganggu bekerjanya mekanisme pasar.
Uni Eropa, sebagai contoh, pada tahun 2018 memberikan perlindungan petani senilai 58,82 miliar euro atau sekitar Rp 80 juta per petani per tahun. UE menggunakan dua pilar perlindungan, yaitu melalui pembayaran langsung (menggunakan 70 persen anggaran perlindungan di atas) dan pembangunan desa. Untuk pembayaran langsung, petani di UE menerima transfer langsung (seperti bantuan langsung tunai/BLT).
Penentuan alokasi bantuan berdasarkan status sebagai petani ataupun berdasarkan lahan pertanian. Pembayaran seperti ini ditujukan untuk memengaruhi tingkat pendapatan petani secara langsung. Dengan demikian, ibaratnya tanpa melakukan apapun, petani di UE menerima penghasilan Rp 80 juta per tahun.
Apabila terjadi perkembangan pasar yang berakibat buruk terhadap petani (terjadi wabah/hama yang menyebabkan permintaan pasar menurun drastis atau produksi yang terlalu melimpah), pemerintah UE juga akan melakukan intervensi untuk membantu petani. Anggaran ini mencapai 2,7 miliar euro atau 4,5 persen dari total anggaran.
Salah satu bentuk perlindungan melalui pilar pembangunan desa, pemerintah UE memberikan bantuan langsung kepada petani muda (usia di bawah 35 tahun). Bantuan ini termasuk untuk keperluan pelatihan dan memulai usaha.
Salah satu bentuk perlindungan melalui pilar pembangunan desa, pemerintah Uni Eropa memberikan bantuan langsung kepada petani muda (usia di bawah 35 tahun).
Di belahan dunia yang lain, seperti Kanada, Jepang, China, dan Amerika Serikat, subsidi pertanian merupakan pengeluaran pemerintah yang tidak kecil. Di AS, Farm Bill merupakan bentuk intervensi pemerintah untuk langsung menstabilkan penghasilan petani.
China memberikan subsidi untuk petani kedelai, jagung, serta peralatan pertanian. Jepang memberikan pembayaran langsung kepada petani untuk tidak menanam padi (set-aside policy) untuk menjaga pasokan beras. Sementara Kanada membantu petani antara lain untuk melakukan inovasi, pertanian lestari, pengembangan bisnis dan pengelolaan risiko.
Jaminan penghasilan
Berbagai subsidi pemerintah sekarang ini dilakukan dengan pemberian langsung tunai. Kartu Tani, misalnya, sekarang ini menjadi media untuk pemberian subsidi pupuk. Oleh bank yang mengelola kartu tani, kartu bisa menjadi kartu ATM untuk berbagai keperluan petani. Dalam praktiknya, subsidi yang diterima dalam bentuk uang (melalui transfer dan kartu) bisa dibelanjakan untuk kebutuhan pada umumnya.
Pemerintah sebenarnya tinggal selangkah untuk mengubah subsidi pupuk yang ditransfer ini menjadi subsidi jaminan penghasilan petani. Sebagaimana petani di UE yang menerima penghasilan langsung, pemerintah bisa menghapuskan berbagai subsidi yang berkaitan dengan sarana produksi pertanian dan HPP menjadi satu: jaminan penghasilan petani yang ditransfer setiap bulan melalui kartu tani.
(Catur Sugiyanto, Guru Besar pada Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM)