RUU Ketahanan Keluarga yang Antikeluarga
Sungguhpun ditulis dengan kata dan frasa yang membuai seolah memuliakan keluarga, sesungguhnya banyak pasal yang mengguncang keberlangsungan keluarga Indonesia.
Lagi-lagi kita dikejutkan oleh lahirnya usulan rancangan undang- undang (RUU) yang dianggap kontroversial oleh kalangan luas. RUU ini sejak dalam perumusannya sudah kehilangan legitimasi sosial.
Sungguhpun ditulis dengan kata dan frasa yang membuai seolah memuliakan keluarga, sesungguhnya banyak pasal yang mengguncang keberlangsungan keluarga Indonesia. Tulisan ini akan memeriksa apakah RUU Ketahanan Keluarga memenuhi syarat pembentukan hukum yang baik, yaitu syarat filosofis, hukum, dan sosiologis. Selanjutnya akan ditunjukkan bagaimana RUU ini merugikan perempuan sebagai subyek hukum.
Pemenuhan syarat yuridis
Secara filosofis, RUU ini bermasalah. HAL Hart, seorang filsuf dan ahli hukum mengatakan bahwa hukum dan etika moral harus dipisahkan, sebab bila tidak, akan membusukkan keduanya. Pemisahan dimaksudkan agar etika moral dan hukum saling mengoreksi satu sama lain. Hukum memang berasal dari tradisi moral, bertujuan melindungi masyarakat dari kejahatan, perbuatan serakah, dan memastikan keadilan.
Demikian pula etika moral. Namun tak semua prinsip moralitas harus dijadikan hukum tertulis. Etika moral lebih tinggi dari hukum, sungguhpun tak memiliki ancaman pidana, tetapi memiliki sanksi sosial amat kuat, dipertanggungjawabkan manusia sebagai makhluk berakhlak mulia dan bermoral kepada Tuhan dan masyarakat. Banyak pasal RUU yang seharusnya berada di ranah etika, bukan di ranah hukum.
Banyak pasal RUU yang seharusnya berada di ranah etika, bukan di ranah hukum.
RUU ini mengatur apa yang boleh dan tak boleh dilakukan dalam relasi suami istri secara berlebihan. Negara intervensi terlalu jauh sampai soal hubungan intim dan hak reproduksi, terkait ranah integritas ketubuhan perempuan. Substansi RUU juga menajamkan segregasi masyarakat karena bertujuan jaga kemurnian keturunan sedarah dan seagama, dengan melarang donor sperma dan ovum, surogasi, dan larangan pengangkatan anak beda agama.
Secara yuridis, keseluruhan substansi RUU ini menunjukkan tumpang tindih (overlapping) dan inkonsistensinya dengan berbagai peraturan perundangan lain, yang memastikan kesetaraan perempuan. Semangatnya mengembalikan keberadaan perempuan sebatas kasur, sumur dan dapur. Padahal sebagai negara modern, konstitusi kita telah menjamin persamaan laki-laki dan perempuan di muka hukum.
Perjuangan masyarakat sipil Indonesia khususnya sejak era Reformasi telah melahirkan banyak instrumen hukum dalam ranah hak asasi perempuan. Terdapat berbagai kebijakan untuk mengatasi ketertinggalan perempuan dan anak seperti Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).
Syarat sebagai suatu rumusan hukum yang baik tak dipenuhi RUU ini. Banyak pasal yang bersifat tautologis, berisi pengulangan pernyataan, penggunaan kata secara berlebihan dan tak perlu. Banyak definisi dijelaskan dalam istilah teknis dan atribut, bukan narasi.
Substansi ratusan pasal RUU ini nampak bersifat petunjuk, teknikalitas cara-cara berkeluarga, yang tak lazim ada dalam hukum setingkat UU. Artinya RUU ini tidak memiliki konsep dasar dan doktrin hukum yang jelas. RUU ini melampau batas kewenangannya karena mengatur banyak urusan domain berbagai peraturan perundangan lain.
Keharusan keluarga memiliki penghasilan/pekerjaan, rumah layak huni dan kamar terpisah orangtua dan anak, anak laki dan perempuan, akses pendidikan, kesejahteraan sosial, kesehatan, psikologis, kultural yang tanggung jawabnya dibebankan ke pemerintah pusat dan daerah. RUU ini juga mengatur soal kekerasan seksual di ranah KUHP atau RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS).
Kewenangan pengadilan memaksa ayah yang bercerai menafkahi anak juga diambil alih RUU ini. Secara sosiologis, substansi RUU ini tak sesuai dengan fakta, realitas dan pengalaman perempuan Indonesia.
Secara sosiologis, substansi RUU ini tak sesuai dengan fakta, realitas dan pengalaman perempuan Indonesia.
Ada jutaan perempuan bekerja di sektor formal maupun informal dan penghasilannya digunakan untuk keperluan keluarga. Juga terdapat 14.744 perempuan pekerja migran, 9.104 di antaranya berkeluarga. Mereka menghasilkan devisa besar (BNP2TKI, 2019). Perempuan menjadi tulang punggung keluarga adalah suatu keniscayaan.
Sejarah gerakan perempuan Indonesia sudah dimulai sejak sebelum kemerdekaan. Mereka berjuang secara elegan melalui organisasi dan koridor hukum. Organisasi Poetri Mahardika mengirim mosi ke Gubernur Jenderal Belanda menuntut persamaan hukum sekitar 1915.
Kongres Perempuan pertama 22 Desember 1928 melahirkan Perikatan Perkumpulan Istri Indonesia. Organisasi ini mengirim mosi kepada Dewan Rakyat, Fraksi Nasional dan Gubernur Jenderal Belanda, menuntut hak politik perempuan pribumi, agar dapat memilih dan dipilih dalam Dewan Kota.
Sampai hari ini gerakan perempuan jadi bagian penting gerakan masyarakat sipil Indonesia; menjadi watch dog mengawasi jalannya demokrasi, penegakan konstitusi, dan cita-cita pendiri bangsa. Membuat RUU yang mendomestikasi perempuan akan menghentikan kontribusi perempuan bagi kemajuan bangsa.
RUU ini berasumsi semua keluarga Indonesia potensial mengalami kerentanan akibat pengaruh dari luar yang melahirkan seks bebas dan orientasi seksual “menyimpang”; sehingga urusan keluarga yang paling intim harus diatur negara.
Fokusnya tertuju soal tindakan seksual privat antara laki-laki dan perempuan saja, tak melihat hubungan antar-manusia sebagai makhluk sosial dan berakal sehat yang bekerja sama dan saling memberdayakan satu sama lain. Padahal pengaruh luar paling membahayakan Indonesia hari ini juga paham radikal dan budaya intoleran yang mengancam kohesi sosial masyarakat.
Membuat RUU yang mendomestikasi perempuan akan menghentikan kontribusi perempuan bagi kemajuan bangsa.
Solusi kerentanan keluarga yang ditawarkan adalah pendidikan agama. Padahal kurikulum pendidikan Indonesia dari PAUD sampai universitas sudah memasukkan pendidikan agama. Siswa dan mahasiswa harus mengikuti pelajaran agamanya sendiri, tak dimungkinkan dapat pembelajaran dari agama lain, yang padahal dibutuhkan untuk membangun saling pengertian dan menghargai perbedaan.
Pelajaran agama di sekolah formal diajarkan sebagai sistem keyakinan (cara beribadah), bukan sebagai sistem pengetahuan sosial humaniora yang memberi kekayaan intelektualitas. Nampak bahwa agama yang dimaksud hanyalah agama resmi, karena menekankan sahnya perkawinan dan anak ditandai oleh sertifikat.
Sementara banyak pemeluk keyakinan di luar enam agama resmi, yang tidak memiliki sertifikat perkawinan dan akta lahir, hanya karena agama mereka tidak diakui oleh Kantor Catatan Sipil, padahal mereka adalah warga negara Indonesia. RUU ini bersifat diskriminatif.
Salah satu teori besar dalam ilmu hukum adalah Yurisprudensi Berperspektif Perempuan (Feminist Jurisprudence). Tujuannya adalah mengajukan pertanyaan perempuan terhadap hukum untuk mengujinya. Bagaimanakan seksualitas, imajinasi dan peran perempuan distrukturkan, dikonseptualisasi oleh hukum? Apakah realitas dan pengalaman perempuan diperhitungkan oleh hukum? Apakah hukum merugikan perempuan, kelompok perempuan yang mana, dan dengan cara bagaimana?
Solusi kerentanan keluarga yang ditawarkan adalah pendidikan agama. Padahal kurikulum pendidikan Indonesia dari PAUD sampai universitas sudah memasukkan pendidikan agama.
Substansi RUU ini menempatkan perempuan sebagai subyek hukum yang berbeda dengan laki-laki karena seksualitasnya. Standar ganda diberlakukan untuk mengatur peran apa yang boleh dan tak boleh dilakukan oleh suami dan istri. Suatu gagasan yang menjungkirbalikan fakta sejarah, realitas dan pengalaman perempuan Indonesia.
RUU ini jelas merugikan perempuan dan laki-laki, karena menghendaki negara, pemerintah pusat dan daerah mengintervensi ranah privat, tertutup, secara kultural tabu untuk diketahui orang lain.
Prioritas isu hukum
Pertanyaan perempuan terhadap hukum berikutnya, isu hukum apa yang seharusnya diprioritaskan? Mengapa RUU seperti ini yang diusulkan? Ada usulan RUU lain yang darurat untuk ditindaklanjuti dan disahkan.
RUU PKS, misalnya, sudah tiga tahun di DPR hanya didebatkan soal judulnya saja, bahkan dipolitisasi, disosialisasi secara menyesatkan sebagai RUU yang bertentangan dengan agama. Padahal data statistik menunjukkan setiap 30 menit ada dua korban kekerasan seksual di Indonesia.
Kalau memang bertujuan memajukan keluarga Indonesia, ada lagi RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender, yang harus ditindaklanjuti. Pertanyaan berkeadilan perempuan terhadap hukum adalah parameter untuk jamin legalitas hukum sekaligus legitimasi sosial suatu perundangan yang atur relasi antar-warganegara. Pertanyaan hukum perempuan adalah pertanyaan kita semua.
(Sulistyowati Irianto Pengajar Gender dan Hukum, Fakultas Hukum Universitas Indonesia)