Penyebab segregasi sosial sesungguhnya bersifat amat konkret dan mendasar: menajamnya ketimpangan ekonomi dan sosial di tengah pertumbuhan ekonomi yang dianggap baik dan stabil 20 tahun terakhir.
Oleh
Inaya Rakhmani
·5 menit baca
Dekade terakhir, politik global diwarnai kebangkitan politik identitas dan populisme di berbagai belahan dunia. Brexit di Inggris berhasil menuntut cerai dari Uni Eropa yang dirasa terlalu mengatur urusan Inggris, fenomena Trump di AS berhasil mengubah corak Partai Republikan berkat dukungan kalangan konservatif sayap kanan.
Di Asia ada gerakan Hindutva di India yang memainkan sentimen nasionalisme Hindu; dan di Filipina ada Rodrigo Duterte, yang menggunakan sentimen ”merakyat” untuk menjustifikasi retorika garis keras. Di Indonesia pun politik identitas bukanlah hal asing. Kontestasi ”cebong dan kampret” pada Pemilihan Presiden 2019 dan, sebelum itu, Aksi Bela Islam pada pemilihan gubernur.
Di satu sisi, wujud dan intensitas politik identitas di setiap negara khas sesuai situasi lokal dan konteks historis masing-masing. Di sisi lain, penyebab mendasarnya amat berhubungan. Di permukaan, politik identitas adalah gejala populisme, atau mobilisasi perasaan senasib sepenanggungan di antara rakyat untuk melawan elite yang korup.
Di permukaan, politik identitas adalah gejala populisme, atau mobilisasi perasaan senasib sepenanggungan di antara rakyat untuk melawan elite yang korup.
Secara mendasar, sentimen berbasis kesamaan identitas ini mengemuka dalam iklim ekonomi neoliberal, di mana kompetisi untuk mendapatkan pekerjaan, pelayanan dasar, dan mengakses peluang ekonomi semakin sengit. Karena itu, pada abad ke-21, berbagai sarjana berargumen bahwa populisme adalah respons spesifik terhadap efek buruk globalisasi neoliberal yang mengakibatkan berbagai jenis dislokasi sosial.
Secara gradual sejak 1980-an, di Indonesia dan sejumlah negara di seluruh dunia, peran pemerintah dalam menyediakan pelayanan dasar semakin minim. Pelayanan jasa kesehatan dan pendidikan, misalnya, juga dikelola pihak swasta yang didorong efisiensi pasar.
Kondisi ini menciptakan surplus yang diambil dari kelompok sosial bawah yang kehilangan kepemilikan harta benda, yang memperparah ketimpangan kekayaan. Ketimpangan ini berkelindan dengan identitas sosial orang-orang yang merasa terpinggirkan. Kegamangan ekonomi dan kecemasan sosial akibat neoliberalisasi menggemburkan lahan bagi tumbuhnya politik identitas.
Konsentrasi kekayaan pada segelintir orang dan/atau kelompok terjadi di banyak negara dan juga di Indonesia. Menurut Oxfam, tahun 2017, jumlah miliarder (dollar AS) naik dari satu orang di 2002 menjadi 20 orang di 2016 dan kekayaan empat lelaki terkaya di Indonesia setara 100 juta warga negara termiskin.
Laporan Bank Dunia (2020) mengatakan, penggerak utama pertumbuhan ekonomi Indonesia selama dua dekade ini adalah konsumsi domestik kelas menengah yang tumbuh rata-rata 12 persen setiap tahun sejak 2002, yang kini mewakili setengah dari seluruh konsumsi rumah tangga di Indonesia. Namun, kelas menengah ini terbagi menjadi beberapa lapisan.
Kegamangan ekonomi dan kecemasan sosial akibat neoliberalisasi menggemburkan lahan bagi tumbuhnya politik identitas.
Sebanyak 52 juta orang dikategorikan kelas menengah mapan atau aman secara ekonomi, dan 115 juta kelas menengah rentan yang, walaupun telah mengadopsi gaya hidup kelas menengah, tidak aman secara ekonomi. Mereka belum tentu memiliki peluang pendidikan tinggi, pekerjaan tetap, tabungan, aset, dan bergantung pada jaminan sosial kesehatan yang disediakan negara. Jika terjadi kejutan ekonomi, kelas menengah rentan ini dapat jatuh ke kelas bawah atau, lebih buruk lagi, ke kemiskinan.
Sementara kelas menengah mapan cenderung memilih jaminan kesehatan swasta. Selain itu, mereka juga mampu mengambil cicilan rumah di kota mandiri (gated communities), seperti kawasan-kawasan hunian swasta yang tumbuh pesat di pinggiran Jakarta.
Kota-kota mandiri ini dipasarkan dengan segmentasi konsumen yang menyeragamkan kelas dan kelompok sosial. Konsekuensinya, praktik yang dibentuk oleh penataan spasial kota mandiri menciptakan segregasi sosial dan sukarela kelas menengah.
Neoliberal
Ini merupakan fenomena khas ekonomi neoliberal yang mempertajam ketimpangan sosial serta mengasingkan warga dalam kelompok sosial masing-masing, yang telah menggemburkan lahan bagi tumbuhnya politik identitas yang memobilisasi wacana ”rakyat”, ”umat”, ”bangsa”, dan lainnya.
Pada pemilu, pilpres, dan pilkada satu dekade terakhir, politik identitas berguna dalam pemenangan kandidat dan partai politik. Di antara identitas yang dipolitisasi adalah narasi pluralisme, Islam, perlawanan terhadap kepentingan asing, dan lainnya yang, meski amat beragam, punya satu kesamaan: apa itu ”plural”, ”Islam”, ”asing” tidak didefinisikan dengan jelas. Ketidakjelasan itulah yang memberikan kesempatan bagi elite politik menyatukan dan membenturkan kelompok-kelompok sosial beda dengan tujuan kemenangan politis.
Ketidakjelasan itulah yang memberikan kesempatan bagi elite politik menyatukan dan membenturkan kelompok-kelompok sosial beda dengan tujuan kemenangan politis.
Penelitian oleh Rakhmani, Takwin, Yustisia, Saraswati tahun 2019 menunjukkan, narasi yang dikemukakan elite politik, apa pun kubunya, adalah negara otoritatif yang kuat dengan slogan semacam NKRI Harga Mati. Namun, retorika ini kontras dengan realitas sosial 65 jutaan warga Indonesia yang berusia 20-34 tahun pada 2020. Generasi yang sering diberi label milenial ini—meski juga terbagi menjadi kelas menengah mapan dan rentan, serta kalangan miskin—lahir dan besar dengan akses informasi yang luas.
Bagi mereka, rambu-rambu aturan negara yang kaku dan otoritatif kalah efektif dibandingkan moda-moda demokratis dan kebebasan berekspresi yang diampu oleh komunikasi via peranti digital yang mereka kuasai. Kebiasaan mereka prinsipnya sejalan dengan retorika pemerintah yang menginginkan generasi milenial berperan besar dalam cipta kerja untuk terus mendorong pemajuan kebudayaan dan perekonomian.
Jika pemerintah dan institusi politik tidak mampu merespons realitas ini, bukan saja ada potensi meluasnya apatisme politik, seperti #golput2019, tetapi juga dapat menciptakan ketegangan sosial baru yang pada ujungnya akan menghambat produktivitas di tengah ”bonus demografi” yang sering dirayakan para ekonom neoklasik. Hal serupa sedang terjadi di Rusia di bawah Putin.
Menurut Bloomberg tahun 2019, sebanyak 53 persen warga Rusia usia 18-24 tahun ingin bermigrasi ke negara lain untuk keamanan ekonomi dan sosial.
Mempertimbangkan situasi sosial ini, kita akan terus melihat pembentukan aliansi politis yang berbasis sentimen, terutama pada masa-masa kompetisi politik yang tinggi.
Kita menyaksikan bagaimana persepsi ancaman ataupun apa yang dibela aliansi politis ini sama-sama dibuat bersifat ambigu agar dapat merekatkan konstituen yang amat beragam. Meski terkesan relatif, penyebab segregasi sosial sesungguhnya bersifat amat konkret dan mendasar: menajamnya ketimpangan ekonomi dan sosial di tengah pertumbuhan ekonomi yang dianggap baik dan stabil 20 tahun terakhir.
Meski terkesan relatif, penyebab segregasi sosial sesungguhnya bersifat amat konkret dan mendasar: menajamnya ketimpangan ekonomi dan sosial di tengah pertumbuhan ekonomi yang dianggap baik dan stabil 20 tahun terakhir.
(Inaya Rakhmani Dosen dan Ketua Program Sarjana Kelas Khusus Internasional Departemen Ilmu Komunikasi FISIP UI)