Membaca surat pembaca harian Kompas (Selasa, 31/12/2019) ihwal pengalaman Bapak Rusdi Saleh di sebuah rumah sakit mata besar di Menteng oleh dokter D, kami turut prihatin.
Kami pernah mengalami pelayanan buruk dari dokter D di rumah sakit mata yang sama: istri saya kehilangan kemampuan mata kiri untuk melihat setelah menjalani operasi Ahmed Implant. Padahal, sebelum operasi dr D meyakinkan kami bahwa itu hanya operasi kecil dan bisa langsung pulang.
Menurut kami, keputusan untuk melakukan operasi terhadap mata kiri istri saya dilakukan dengan tergesa-gesa, jauh dari prinsip kehati-hatian. Operasi diputuskan seketika setelah konsultasi yang sangat singkat pada pertemuan pertama.
Untuk mengetahui ada atau tidaknya pelanggaran disiplin yang telah dilakukan, kami telah mengadu ke Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI). Sangat disayangkan MKDKI tidak dapat memeriksa dokter teradu dan memberikan sanksi disiplin karena Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) menyatakan bahwa dokter D tidak memiliki surat tanda registrasi alias tidak teregistrasi di KKI.
Sikap Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia, Konsil Kedokteran Indonesia, Majelis Kehormatan Etik Kedokteran, dan Badan Pengawas Rumah Sakit Indonesia yang tidak memberikan sanksi terhadap dokter D yang berpraktik tanpa memiliki surat tanda registrasi, menurut kami, tidak baik untuk pembinaan dokter dan tidak baik untuk keselamatan konsumen kesehatan Indonesia pada umumnya.
Mengingat mata adalah organ yang sangat vital untuk kualitas hidup, seharusnya pihak rumah sakit menjalankan prosedur yang baik, memeriksa legalitas dokter yang praktik, mengutamakan prinsip kehati-hatian, serta memberikan informed consent sesuai dengan amanah Undang-Undang Praktik Kedokteran dan mengutamakan keselamatan pasien.
Kami berharap di masa mendatang apa yang dialami istri saya dan Bapak Rusdi Saleh tidak terjadi pada pasien-pasien berikutnya.
Eddy Susilo, Jakarta Utara