Memudakan Tafsir Pancasila
Atmosfer demokrasi di alam Reformasi saat ini mengandung efek samping. Berbagai paham dan ideologi berebut panggung tanpa bisa dikendalikan pemerintah secara langsung, tak seperti di era Orba.
Era Reformasi ini butuh tafsir segar Pancasila sesuai kebutuhan masyarakat yang dikuasai oleh ledakan teknologi informasi instan.
Tantangannya adalah bagaimana menyajikan makna praktis Pancasila yang mudah difahami tetapi tak dogmatis. Untuk itu, penting melihat ke belakang bagaimana era Soekarno meletakkan dasar ideologi Pancasila dalam berbangsa dan mempertimbangkan secara kritis bagaimana Orde Baru memberlakukan tafsir tunggal versi pemerintah.
Bagaimana pun juga, lajunya wacana Pancasila masa lalu perlu direnungkan kembali, walaupun tafsir segar atas dasar negara tetap harus diupayakan dalam menghadapi era demokrasi terbuka ini, dengan tantangan baru dari generasi milenial dan dengan mobilitas data yang serba cepat.
Pelajaran dari dua era
Tak mudah kala itu, namun jalan kompromi dan keberanian Sang Proklamator dalam usaha sintesis berbagai aliran bisa direnungkan lagi di era digital ini. Barangkali, strategi ala Soekarno dalam menggali ajaran-ajaran pribumi Nusantara dengan sentuhan-sentuhan mandiri dan mengejutkan bisa menjadi salah satu solusi.
Tantangannya adalah bagaimana menyajikan makna praktis Pancasila yang mudah difahami tetapi tak dogmatis.
Era Reformasi sekarang ini kadang mengaburkan jati diri kebangsaan di tengah gempuran informasi dan kepentingan yang berkecamuk. Saatnya tafsir segar Pancasila memilah dan menyaring gagasan mana yang sesuai kebutuhan jangka pendek berpolitik dan jangka panjang berbangsa. Justru di era banjirnya informasi dan kompetisi sengit, bangsa ini perlu kembali ke budaya sendiri yang arif nan kaya dari Sabang sampai Merauke.
Syukurnya, Indonesia dianugerahi kekayaan budaya dalam praktik tradisi dan catatan-catatan yang masih menunggu disentuh para cerdik cendikia. Tradisi hidup di masyarakat dan rekaman dalam tulisan siap diberi tafsir segar. Guratan huruf kuno di manuskrip lontar, seperti Babat, Serat, dan berbagai genre tulisan kedaerahan di berbagai suku, menunggu pembacaan baru.
Para arkeolog, sejarawan, dan filosof hendaknya bersiap membubuhi makna baru pada warisan tak ternilai itu dan dikaitkan dengan Pancasila, sebagaimana Yamin melakukan itu dalam membaca Kitab Negarakertagama dan Pararaton saat zaman revolusi.
Sedangkan Orde Baru memberlakukan ideologisasi Pancasila secara sistematis dan terstruktur, namun meninggalkan banyak catatan. Pancasila lebih banyak berfungsi sebagai alat stabilitas politik praktis untuk menekan upaya-upaya kritis terhadap kebijakan pemerintah. Di banyak segmen dan tingkatan berbagai program mengesankan penyeragaman tafsir. Kedudukan pemerintah terlalu kokoh, mengontrol wacana Pancasila versi resmi pemerintah yang tak menemui tandingan/wacana alternatif.
Dengan begitu, harapan kehidupan masyarakat demokratis zaman Orde Baru tertunda hingga era Reformasi. Dalam suasana otoritarian penyeragaman tafsir, dialog yang melibatkan pemahaman yang berbeda tak terjadi. Pancasila kala itu berfungsi sebagai dogma dan ideologi yang erat bergelayut dengan praktik politik praktis.
Mewacanakan kembali Pancasila
Sejak berakhirnya Orba, dari kepresidenan Habibie hingga Jokowi, belum terasa ada usaha masif mengejawantahkan tafsir segar Pancasila. Era keterbukaan mestinya memberi cara pandang Pancasilais yang lebih mudah dipahami, tetapi tak dogmatis. Tantangan seperti ini perlu metode dan pola yang berbeda dengan era sebelumnya. Jargon-jargon baru dibutuhkan dengan menggunakan media baru pula.
Pada Februari 1959, sebelum Dekrit Soekarno, Juli 1959, seminar Pancasila diadakan di Yogyakarta dengan pemrasaran Yamin, Driyarkara, Notonegoro dan Ruslan Abdulgani. Seminar itu jadi salah satu legitimasi ilmiah Soekarno untuk kembali ke UUD 1945 dan Pancasila dengan lebih konsekuen. Driyarkara dengan makalah “Pancasila dan Religi” mengetengahkan banyak tema yang mendalam: filsafat Pancasila, kemanusiaan dan masyarakat, cinta kasih, relasi negara dan agama, serta politik dan spiritualitas.
Hubungan timbal balik antara fakta agamis masyarakat Indonesia dan negara yang tak memihak salah satu agama jadi penting, bahkan jadi fondasi bagi para pemikir Pancasila selanjutnya. Driyarkara menegaskan “negara Pancasila bukanlah negara agama.” Tetapi negara memberi “tempat” kepada agama, karena warganya yang bercorak agamis. Negara dan agama tidak dihadap-hadapkan secara tajam.
Sejak berakhirnya Orba, dari kepresidenan Habibie hingga Jokowi, belum terasa ada usaha masif mengejawantahkan tafsir segar Pancasila.
Sementara, atmosfer demokrasi di alam Reformasi saat ini mengandung efek samping. Berbagai paham dan ideologi berebut panggung tanpa bisa dikendalikan pemerintah secara langsung, tak seperti di era Orba. Para peneliti Indonesia atau manca negara mengingatkan dalam banyak kesempatan tentang pasangnya ombak konservatisme yang menyeret agama di ranah publik dan melupakan buah pikiran para cerdik cendikia Indonesia terdahulu seperti Driyarkara, Yamin, dan generasi selanjutnya yang selalu mencari jalan tengah.
Di era keterbukaan ini, perang wacana bisa disaksikan di berbagai media sebagai reaksi atas berbagai hal yang kadangkala kurang dipahami oleh sebagian pendebat terlebih dulu. Kita catat juga beberapa kelompok “kecil” menggugat relasi selaras negara dan agama. Peran Pancasila dalam sistem politik kita pun kadang kala disangsikan, karena pemahaman teologis tertentu.
Peran pemerintah, dalam hal ini diamanatkan ke BPIP (Badan Pembinaan Ideologi Pancasila), hendaknya disokong secara bersama-sama untuk memotori sikap moderasi, keterbukaan, dan mewacanakan olah pikir kritis terhadap praktik-praktik yang bisa menipiskan ideologi Pancasila. Tentu saja, pemaknaan segar Pancasila dengan metode dan media baru sangat diharapkan masyarakat kita.
Enam puluh tahun lalu, Driyarkara mengajak masyarakat Indonesia membaca kembali pidato Soekarno tentang ringkasan Pancasila ke Trisila (sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, dan ketuhanan), dan menjadi lebih esensial, Ekasila (gotong royong). Dalam menghadapi disintegrasi bangsa ajakan itu tepat. Sekarang, bangsa ini dihadapkan kompetisi global yang pelik, revolusi teknologi dan pengetahuan, gelombang radikalisasi dan sektarianisme. Ajakan pembumian Pancasila menanti penyegaran baru.
(Al Makin Guru Besar UIN Sunan Kalijaga dan Anggota ALMI (Akademi Ilmuan Muda Indonesia))