Negara berkewajiban melayani setiap warga negara dan penduduk untuk memenuhi hak dan kebutuhan dasarnya dalam kerangka pelayanan publik
Oleh
·2 menit baca
Bangsa ini belum jauh berlari membenahi pelayanan publik. Penundaan berlarut hingga penyalahgunaan prosedur terus terjadi, bahkan mendominasi.
Laporan tahunan 2019 Ombudsman RI yang dipaparkan pada Selasa (3/3/2020) di Jakarta menunjukkan fenomena itu. Sepanjang 2019, Ombudsman RI menerima 7.903 laporan masyarakat. Malaadministrasi penundaan berlarut sebanyak 1.837 pengaduan (33,62 persen), penyimpangan prosedur 1.583 pengaduan (28,97 persen), serta tidak memberikan layanan sebanyak 967 pengaduan (17,7 persen).
Laporan ini tentu memprihatinkan kita semua. Namun, boleh jadi, kita tidak terlalu terkejut mendengarnya karena itu semua bisa terasakan bahkan kasatmata dalam berbagai kehidupan keseharian. Ini pun tecermin dari jenis keluhan yang diterima Ombudsman RI, mulai dari bidang agraria dan pertanahan (15,83 persen); kepegawaian (13,71 persen); pendidikan (12,04 persen); kepolisian (10,08 persen); administrasi kependudukan (4,56 persen); dan ketenagakerjaan (3,37 persen). Instansinya pun beragam. Paling banyak dilaporkan adalah pemerintah daerah (41,62 persen); pemerintah/kementerian (11,22 persen), dan kepolisian (10,25 persen).
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2019 tentang Pelayanan Publik menegaskan, negara berkewajiban melayani setiap warga negara dan penduduk untuk memenuhi hak dan kebutuhan dasarnya dalam kerangka pelayanan publik tersebut. Karena itu, laporan Ombudsman ini hendaknya tidak dirasakan sebagai angin lalu semata, tetapi harus dirasakan sebagai tamparan untuk menyadarkan kembali.
Bangsa ini sesungguhnya telah cukup lama memiliki kesadaran untuk memperbaiki pelayanan publik. Pembentukan Komisi Ombudsman Nasional di era Presiden BJ Habibie tahun 2000 merupakan respons atas tingginya tuntutan masyarakat terhadap peningkatan pelayanan publik, baik itu pelayanan oleh pemerintah, BUMN, BUMD, maupun badan swasta atau perseorangan yang sebagian atau seluruhnya didanai anggaran negara atau daerah.
Meski demikian, kesadaran saja tentu tidak cukup. Yang diperlukan justru komitmen kuat yang dibuktikan dengan berbagai langkah konkret perbaikan menyeluruh di segala lini, yang dimulai dari atas lalu ke bawah, yang diikuti pula dengan apresiasi hingga sanksi tegas dalam proses evaluasi.
Evaluasi justru perlu dimulai dari para pembina penyelenggara publik, yaitu pimpinan lembaga negara, pimpinan kementerian, pimpinan lembaga pemerintah nonkementerian, pimpinan lembaga komisi negara, gubernur, hingga bupati/wali kota. Sejumlah kepala daerah telah menunjukkan perannya dan membuat lompatan perbaikan layanan publik.
Sanksi terhadap penyelenggara yang melanggar ketentuan pun harus dijatuhkan, mulai dari teguran tertulis, pembebasan jabatan, penurunan gaji, penurunan pangkat, pemberhentian dengan hormat dan tidak hormat, termasuk sanksi pembekuan hingga pencabutan izin.
Saatnya berbenah secara total. Tidak setengah-setengah.