Sungguh memprihatinkan mengamati situasi di Afghanistan saat ini. Di tengah berbagai upaya merajut perdamaian di negara itu, Pemerintah Afghanistan terbelah.
Oleh
·2 menit baca
Pada akhir Februari lalu, dunia disuguhi tunas harapan akan terwujudnya perdamaian di Afghanistan. Berlokasi di Doha, Qatar, tempat Taliban memiliki kantor perwakilan, Amerika Serikat menandatangani kesepakatan dengan Taliban pada 29 Februari. Meski tak otomatis perdamaian itu tercipta—bahkan hanya berselang empat hari kemudian meletus kembali kekerasan oleh Taliban ataupun militer AS—momentum bersejarah di Doha itu diharapkan bisa membuka jalan bagi langkah lanjutan guna meretas jalan damai di Afghanistan.
Hal tersebut pun sudah masuk dalam peta jalan (road map) setelah penandatanganan kesepakatan AS-Taliban bahwa berikutnya akan digelar perundingan intra-Afghanistan dengan melibatkan para pemain utama politik, tokoh-tokoh lokal ataupun provinsi, para pemimpin masyarakat sipil dari berbagai kelompok, faksi, dan golongan di seluruh tingkatan. Jika semua elemen itu bisa duduk bersama, memusyawarahkan kondisi dan situasi negara mereka, lalu bersama-sama mencari jalan keluar dari semua kekacauan, setidaknya ada harapan bakal terwujud perdamaian di negeri Afghanistan.
Tentu, melihat kompleksitas konflik di negara itu, banyak tantangan untuk menggelar perundingan intra-Afghanistan. Salah satu persoalan utama, misalnya, selama ini Taliban tidak mengakui pemerintahan Afghanistan dan kerap menyebut sebagai ”boneka asing”. Di pihak lain, Kabul juga merasa tidak terikat dengan kesepakatan AS-Taliban, yang salah satu poinnya adalah pembebasan 5.000 tawanan Taliban di penjara pemerintahan Afghanistan. Sementara Taliban menganggap pembebasan tawanan itu sebagai prasyarat jika perundingan intra-Afghanistan akan digelar.
Di tengah keruwetan tersebut, situasinya bertambah kusut setelah muncul dualisme pemerintahan di Kabul. Seperti diberitakan harian ini, Selasa (10/3/2020), dua tokoh pemerintahan Afghanistan, Presiden Ashraf Ghani dan Pemimpin Eksekutif Abdullah Abdullah, sama-sama mengklaim sebagai presiden dan menggelar upacara pelantikan masing-masing pada hari yang sama di tempat berdekatan. Ini pemandangan yang ironis dan sangat memprihatinkan.
Dualisme pemerintahan itu merupakan buntut sengketa hasil pemilu presiden, 28 September 2019. Komisi pemilu Afghanistan menyatakan, Ghani meraup 50,64 persen suara, sedangkan Abdullah 39,52 persen suara. Abdullah menggugat hasil pemilu dan menuding ada kecurangan. Apa pun latar belakang persoalannya, munculnya dualisme di tubuh pemerintah Afghanistan itu patut disesalkan di tengah beratnya upaya membangun kepercayaan di negeri tersebut.
Tidak perlu dipertanyakan lagi, situasi ini jelas kian mempersulit upaya damai di Afghanistan. Jika di tubuh pemerintahan sudah terbelah, bagaimana Kabul akan mengupayakan jalan damai dalam lingkup lebih luas, mencakup Taliban dan faksi lain di negara itu?