Sanksi dalam RUU Cipta Kerja
Terlepas dari tujuan mulia Omnibus Law Cipta Kerja, RUU a quo banyak terdapat kelemahan yang perlu diperbaiki. Paling tidak ada delapan catatan perihal sanksi dan penegakan hukumnya dalam RUU Cipta Kerja.
RUU Cipta Kerja atau "Omnibus Law" Cipta Kerja telah diserahkan secara resmi oleh pemerintah kepada DPR pada 12 Februari 2020 untuk dibahas dalam masa sidang berikut.
RUU setebal 1028 halaman itu terdiri dari 174 pasal yang berdampak pada 1203 pasal dalam 79 UU. RUU a quo terdiri dari 11 kluster pembahasan. Pertama, penyederhanaan perizinan berkaitan dengan 1042 pasal dalam 52 UU. Kedua, persyaratan investasi berkaitan dengan sembilan pasal dalam empat UU. Ketiga, ketenagakerjaan berkaitan dengan 63 pasal dalam tiga UU.
Keempat, kemudahan, perlindungan UMKM dan koperasi berkaitan dengan enam pasal dalam tiga UU. Kelima, kemudahan berusaha berkaitan dengan 20 pasal dalam sembilan UU. Keenam, dukungan riset dan inovasi berkaitan dengan satu pasal dalam satu UU. Ketujuh, administrasi pemerintahan berkaitan dengan 11 pasal dalam dua UU.
Kedelapan, pengenaan sanksi yang merupakan norma baru. Kesembilan, pengadaan lahan berkaitan dengan 14 pasal dalam 2 UU. Kesepuluh, investasi dan proyek strategi nasional yang merupakan norma baru. Kesebelas, kawasan ekonomi berkaitan 37 pasal di tiga UU.
RUU setebal 1028 halaman itu terdiri dari 174 pasal yang berdampak pada 1203 pasal dalam 79 UU
Banyak kelemahan
Tujuan RUU ini adalah menciptakan lapangan kerja seluas-luasnya bagi rakyat Indonesia secara merata dalam rangka memenuhi hak penghidupan yang layak melalui kemudahan dan perlindungan UMKM serta koperasi, peningkatan ekosistem investasi, kemudahan berusaha, peningkatan perlindungan, dan kesejahteraan pekerja dan percepatan proyek strategi nasional,
Sesuai judul di atas, tulisan singkat ini membahas perihal pengenaan sanksi yang terdapat pada semua kluster dalam RUU Cipta Kerja dan penegakan hukumnya.
Terlepas dari tujuan mulia Omnibus Law Cipta Kerja tersebut, RUU a quo banyak terdapat kelemahan yang perlu diperbaiki sebelum dibahas lebih lanjut dengan DPR. Kelemahan itu antara lain sejumlah ketentuan terkait sanksi pidana dan penegakan hukumnya.
Dalam konteks hukum pidana, sejumlah ketentuan pidana dalam RUU a quo adalah hukum pidana khusus eksternal atau hukum pidana khusus yang bukan UU pidana. Dapat dikatakan juga sebagai hukum pidana administratif. Artinya, sejumlah UU itu pada hakikatnya hukum administratif yang diberi sanksi pidana.
Adapun sifat dan karakteristik hukum pidana khusus eksternal adalah, pertama, ultimum remidium. Artinya, hukum pidana adalah sarana terakhir jika pranata hukum lain tak lagi berfungsi untuk menegakkan hukum. Kedua, perumusan jenis sanksi pidana diancamkan secara alternatif. Ketiga, sanksi pidana bersifat substitusi atas penerapan sanksi lainnya.
Bila merujuk paradigma hukum pidana modern yang berorientasi pada keadilan korektif, keadilan rehabilitatif dan keadilan restoratif, RUU Cipta Kerja telah sesuai dengan paradigma itu. Keadilan korektif berkaitan dengan sanksi terhadap kesalahan pelaku, keadilan rehabilitatif lebih pada perbaikan terhadap kesalahan, keadilan restoratif menitikberatkan pada pemulihan terhadap korban yang terdampak dari kesalahan pelaku.
Baca Juga: Metode Omnibus Law Mengandung Kelemahan
Sayangnya paradigma hukum pidana modern itu tak diikuti penormaan yang sesuai sehingga rentan diajukan uji materiil ke Mahkamah Konstitusi karena tak memberikan kepastian hukum, multi interpretasi dan diskriminatif.
Paling tidak ada delapan catatan perihal sanksi dan penegakan hukumnya dalam RUU Cipta Kerja. Pertama, prinsip penormaan yang dilandaskan pada rubrica ets lex. Artinya, judul bab yang menentukan. Hampir semua sanksi dalam setiap klaster RUU ini berada dalam Bab Ketentuan Pidana, celakanya pelanggaran terhadap norma itu secara expressive verbis dikenakan sanksi administrasi.
Tegasnya, terdapat ketidaksinkronan antara judul bab dan substansi pasal. Jika norma diuji, hampir dipastikan akan dibatalkan karena melanggar prinsip tersebut di atas yang lengkapnya adalah asas titulus ets lex rubrica ets lex.
Kedua, ancaman sanksi pidana yang tidak konsisten antara satu UU dengan UU yang lain. Ada jenis sanksi pidana yang diancamkan secara alternatif, namun ada juga jenis sanksi pidana yang diancamkan secara kumulatif. Padahal jika bersandar pada karakteristik hukum pidana khusus eksternal, seharusnya jenis sanksi pidana diancamkan secara alternatif.
Ketiga, Pasal 18 angka 35 yang mengubah Pasal 70 UU No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Dalam perubahan Pasal 70 terdapat ketidaksinkronan antara angka nominal sanksi administrasi dengan angka yang terbilang. Nominal angka yang tertulis Rp 4.000.000.000,00 namun angka yang terbilang adalah dua miliar rupiah.
Keempat, Pasal 23 angka 37 yang mengubah Pasal 98 UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Perubahan Pasal 98 ayat (2) dalam RUU Cipta Kerja tidak mencantumkan jenis sanksi pidana yang dapat dijatuhkan.
Kelima, ketentuan Pasal 25 angka 41 yang mengubah Pasal 44 UU No 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung. Perubahan Pasal 44 pada intinya antara lain menyatakan bahwa pemilik bangunan gedung yang tidak memenuhi persyaratan dikenakan sanksi administrasi. Padahal, dalam RUU a quo sejumlah pasal mengenai persyaratan bangunan gedung dihapus.
Tegasnya, terdapat ketidaksinkronan antara judul bab dan substansi pasal.
Keenam, penggunaan stelsel pemidanaan yang tak konsisten. Terkadang antara satu ayat dengan ayat yang lain dalam satu pasal menggunakan stelsel pemidanaan yang berbeda. Pada ayat yang satu menggunakan indeterminate sentence. Artinya, pembentuk UU menetapkan batasan minimum dan batasan maksimum pidana yang dapat dijatuhkan, namun pada ayat yang lain menggunakan indefinite sentence.
Artinya, pembentuk UU hanya menetapkan minimum khusus tanpa maksimum khusus. Hal ini berdampak pada disparitas pidana dalam praktik penegakan hukum sehingga menimbulkan ketidakpastian dan cenderung diskriminatif.
Ketujuh, perihal pertanggungjawaban korporasi. Omnibus Law Cipta Kerja tak memiliki konsep yang jelas terkait pertanggungjawaban korporasi. Apakah pertanggungjawaban korporasi hanya sebatas administrasi dan perdata ataukah juga termasuk pertanggungjawaban pidana korporasi.
Jika termasuk pertanggungjawaban pidana korporasi, maka konsep lebih lanjut yang dipertanyakan apakah menggunakan identifikasi teori ataukah agregasi teori. Hal ini sangat berdampak pada jenis pidana yang dijatuhkan. Jika menggunakan teori identifikasi maka selain pidana denda, pidana penjara pun dapat dijatuhkan terhadap pengurus.
Lain halnya jika yang digunakan adalah teori agregasi maka jenis pidana yang dapat dijatuhkan hanyalah denda. Bila melihat secara keseluruhan RUU Cipta Kerja, hampir sebagian besar menganut pertanggungjawaban korporasi sebatas administrasi dan perdata. Sayangnya, ada beberapa pasal yang mencantumkan ancaman pidana penjara terhadap korporasi.
Macan kertas
Kedelapan, perihal penegakan hukum. Kewenangan Polri sebagai penyidik dalam 79 UU yang tercakup RUU Cipta kerja dihapus dan diserahkan ke Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS). Perlu diingat, tak semua kementerian memiliki PPNS. Pembentukan PPNS pada suatu kementerian bukanlah hal yang mudah, terelebih jika tindakan itu bersifat projustisia.
Bila melihat secara keseluruhan RUU Cipta Kerja, hampir sebagian besar menganut pertanggungjawaban korporasi sebatas administrasi dan perdata.
Konsekuensi lebih lanjut, jika terjadi pelanggaran terhadap Omnibus Law Cipta Kerja, sedangkan PPNS pada kementerian itu belum terbentuk maka penegakan hukum terhadap pelanggaran tak dapat diterapkan. Artinya, berbagai sanksi yang ada dalam RUU Cipta Kerja ibarat macan kertas.
(Eddy OS Hiariej Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta)