Melawan Pandemi Virus Korona
Organisasi Kesehatan Dunia mengumumkan wabah virus korona baru sebagai pandemi. Keputusan WHO itu didasarkan pada kekhawatiran oleh cepatnya level penyebaran dan keparahan, dan juga oleh level ketidakacuhan (inaction).
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan, merebaknya virus korona baru sebagai pandemi. WHO menyebut ada 118.000 kasus dan 4.000 lebih kematian.
Pada saat mengumumkan pandemi itu, WHO juga menyebutkan, virus korona baru ini diduga ada di semua benua, kecuali Antartika. ”Sejauh ini kami belum pernah menyaksikan satu pandemi yang dikobarkan oleh virus korona dan kita juga belum pernah mengalami pandemi yang bisa dikendalikan pada saat yang sama,” ujar Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus.
Baca juga : Bersama Atasi Covid-19
WHO mengumumkan hal itu setelah memperhatikan melonjaknya jumlah kasus di luar China, terutama di Korea Selatan, Iran, dan Italia. Keputusan WHO itu didasarkan pada kekhawatiran oleh cepatnya level penyebaran dan keparahan, dan juga oleh level ketidakacuhan (inaction). Di dalam negeri, jumlah kasus positif Covid-19 yang disebabkan virus korona baru terus bertambah dan merenggut satu korban jiwa.
Secara nasional dan internasional, umat manusia sekali lagi dihadapkan pada wabah atau pagebluk. Demikianlah WHO mendefinisikan pandemi sebagai penyebaran penyakit baru ke seluruh dunia, sedangkan wabah adalah jumlah kasus penyakit yang melebihi angka normal, dan epidemi adalah jumlah kasus orang sakit yang melebihi jumlah kasus normal di satu komunitas/masyarakat atau wilayah. Pandemi terakhir yang dilaporkan adalah flu H1N1 tahun 2009 yang menyebabkan ratusan ribu orang di seluruh dunia meninggal.
Di dalam negeri, jumlah kasus positif Covid-19 yang disebabkan virus korona baru terus bertambah dan merenggut satu korban jiwa.
Pandemi menjadi bagian dari perjalanan umat manusia. Salah satu pandemi yang paling awal dilaporkan terjadi tahun 1580. Setelah itu, sedikitnya empat pandemi influenza terjadi pada abad ke-19 dan tiga lainnya terjadi pada abad ke-20. Pandemi paling parah dalam sejarah abad ke-20 adalah pandemi influenza 1918 yang dikenal sebagai ”flu Spanyol”. Pandemi ini mengenai sekitar 500 juta orang, atau sepertiga penduduk dunia waktu itu dan menewaskan sekitar 50 juta orang di seluruh dunia. Selain itu, ada juga virus H2N2 yang merebak di Asia Timur tahun 1957. Namun, kehadirannya di lingkungan manusia hanya pendek.
Indonesia mengumumkan kasus positif Covid-19 awal Maret dan terus bertambah. Protokol untuk menangkalnya sudah dikeluarkan oleh pemerintah. Sudah cukupkah semua langkah yang diambil sejauh ini?
Baca juga : Efektifkan Anggaran Covid-19
Untuk menjawabnya, ada baiknya kita memetakan apa yang selama ini kita lakukan. Protokol yang dibuat pemerintah baik untuk dilanjutkan, seperti halnya meningkatkan laku higienis dan meningkatkan daya kekebalan tubuh. Di luar itu, banyak pekerjaan lain yang harus dilakukan. Hal ini terkait apa yang ditengarai sebagai keterlambatan dalam penanganan Covid-19 seperti diulas oleh wartawan harian ini, Kamis (12/3/2020).
Selain menunjuk juru bicara untuk mengomunikasikan semua isu terkait virus korona, juga tetap dibutuhkan otoritas tinggi untuk mengorkestrasi penanganan selanjutnya. Menteri Kesehatan perlu memperlihatkan kepemimpinan yang mumpuni. Untuk saat ini, antara lain, mengetahui persis peta bumi masalah yang ada, kapasitas yang tersedia dan yang dibutuhkan, serta bagaimana menyusun strategi yang efektif untuk menghentikan penyebaran wabah.
Sejumlah keberhasilan penanganan yang diperlihatkan China yang disebut sebagai asal-muasal virus, juga Vietnam dan Singapura, tidak ada salahnya dipelajari. Dari tulisan Kompas kita menyimak, ketiga negara ini tidak terlambat menangani wabah. Kita mungkin masih dilanda kegamangan, apakah menjalankan program penanggulangan secara masif dan terbuka, termasuk saat harus mengumumkan hasilnya, dengan risiko ada konsekuensi ekonomi, seperti susutnya jumlah wisatawan. Jika kita simak, negara yang berhasil dengan cepat tidak ragu menempuh langkah drastis itu.
Mau tak mau perlu ada kaji ulang strategi penanggulangan, mulai dari penelusuran pihak terkait dengan kasus positif. Di luar itu muncul pemikiran memperluas badan pemeriksaan yang selama ini terpusat di Balitbangkes sehingga kapasitas pemeriksaan makin kuat dan hasilnya lebih cepat diketahui. Hal serupa bisa dilakukan untuk rumah sakit rujukan.
Melihat perjalanan itu, sebenarnya ada optimisme bahwa pandemi ini pun nanti bisa dihentikan. Sudah menjadi takdir umat manusia dari waktu ke waktu dihadapkan pada tantangan alam, apakah berupa bencana alam, atau juga mewabahnya virus menular. Namun, harus diakui, selain bekerja keras dan disiplin, dibutuhkan juga kerja pintar. Kita yakin, di sini dibutuhkan pengerahan segenap sumber daya yang kita miliki untuk fokus pada penanggulangan virus korona.
Satu hal yang tidak bisa dimungkiri adalah semakin kita cerdas dan profesional, semakin kita dalam posisi untuk cepat mencapai prestasi, seperti China, Vietnam, dan Singapura. Jika sebaliknya, bukan hanya masalah kesehatan warga yang terancam, tetapi juga perekonomian yang sudah memperlihatkan kelesuan, kalau bukan kelumpuhan, mengingat ada banyak rantai pasokan yang terganggu.
Sebagaimana sudah kita ingatkan dalam Tajuk Rencana Selasa (10/3/2020), kondisi yang ada tidaklah mudah. Ada banyak pekerjaan yang harus dituntaskan pada hari ini dan tantangan yang menghadang di depan. Jawaban untuk worst case scenario pun kini sudah harus di tangan, apakah berupa penguncian (lock down) kota, dan upaya penegakan jarak sosial (social distancing). Sebagian masyarakat sudah mengambil prakarsa, misalnya mengurangi aktivitas di keramaian, sekolah dan universitas menyelenggarakan tes dan ujian daring.
Isunya bukan semata umat manusia dapat memenangi pertarungan melawan virus, tetapi seberapa sukses kita mengatasi serangan virus korona dengan korban sekecil mungkin dan secepat mungkin. Di sini kita yakin, peran serta masyarakat akan besar andilnya.
Sekarang bukan waktunya saling menyalahkan, melainkan justru untuk bersatu bahu-membahu mengalahkan musuh bersama, yakni virus korona.
Di tengah impitan masalah berat ini, sebagai bangsa religius kita tetap perlu menenangkan diri untuk mendapatkan kebeningan batin dan ketetapan hati guna mendapatkan wawasan yang terang untuk menemukan solusi.
Jika konten di media sosial disinggung, virus korona sudah diramalkan, seperti dalam karya novelis Dean Koontz, The Eyes of Darkness; buku End of Days: Prediction and Prophecies about the End of the World karya Sylvia Browne dan Lindsay Harrison; atau divisikan oleh film Contagion (2011), semua bisa dikatakan sebagai kebetulan. Bahwa, visi seperti itu muncul tak bisa lain kita percaya kreatornya adalah sosok yang berpengetahuan dan hidup dalam kesadaran alam lingkungan yang bening.
Kita berpandangan, dalam mengatasi masalah sekompleks virus korona, diperlukan batin yang bening, selain kerja cepat dan saksama. Sekarang bukan waktunya saling menyalahkan, melainkan justru untuk bersatu bahu-membahu mengalahkan musuh bersama, yakni virus korona.