Korona dan Perbankan Kita
IMF memperingatkan wabah virus Covid-19 mengganggu ekonomi global. Virus itu menjadi hantu menakutkan bagi industri perbankan. Industri perbankan bisa terpapar risiko itu. Apa saja risiko itu dan bagaimana mengatasinya?
Dana Moneter Internasional (IMF) telah memberi peringatan bahwa wabah virus Covid-19 bisa mengganggu ekonomi global. Virus itu menjadi hantu yang menakutkan bagi industri perbankan.
Bagaimana kiat menekan potensi risiko itu? Virus yang semula muncul di China itu telah menyebar ke 115 negara atau teritori di luar China. Total kasus Covid-19 secara global 114.448 dan korban meninggal 4.000 orang lebih.
Negara-negara yang mengandalkan China sebagai tujuan utama ekspor dan impor diprediksi mengalami penurunan perdagangan. Nilai ekspor terancam menipis. Ketika rantai pasokan (supply chain) terganggu karena beberapa perusahaan di China menunda operasi, tentu perusahaan domestik juga akan menunda pekerjaan. Itu termasuk Indonesia.
Dana Moneter Internasional (IMF) telah memberi peringatan bahwa wabah virus Covid-19 bisa mengganggu ekonomi global.
Aneka jurus ampuh
Industri perbankan bisa terpapar risiko itu. Apa saja risiko itu dan bagaimana mengatasinya? Pertama, ketika perdagangan goyah, transaksi trade finance (ekspor, impor) akan tertekan sebab sebagian besar perdagangan internasional dilakukan dengan menggunakan letter of credit (L/C).
Padahal, provisi L/C sekitar 0,125 persen dari nilai L/C menjadi pendapatan yang gurih. Pun selisih nilai tukar uang lantaran L/C biasanya dalam valas. Trade finance jadi salah satu sumber pendapatan devisa negara yang mencapai 131,70 miliar dollar AS per akhir Januari 2020.
Trade finance telah memberikan kontribusi sekitar 25 persen dari pendapatan dari komisi (fee-based income) bagi bank papan atas. Ketika pendapatan dari bunga (interest income) tertekan, bank akan menggenjot pendapatan dari komisi.
Pendapatan itu meliputi pengelolaan rekening giro, tabungan dan deposito (current accounts and saving accounts/CASA), wealth management, cash management, remitansi (remittance), internet banking, mobile banking, phone banking, SMS banking dan ATM. Juga transaksi treasury seperti pasar uang, penempatan dana, transaksi devisa (foreign exchange).
Kedua, untunglah bagi bank papan atas seperti BRI, Bank Mandiri dan BNI yang memiliki kantor cabang luar negeri. Pendapatan mereka memberikan kontribusi yang cukup signifikan kepada kantor pusat. Terlebih kini perusahaan Jepang makin banyak menjalin kerja sama bisnis dengan perusahaan dalam negeri.
Ini salah satu alasan bisnis mengapa bank Jepang makin melirik Indonesia. Buahnya, Mitsubishi UFJ Financial Group, Inc (MUFG), Jepang menguasai 73,80 persen saham Bank Danamon dan 67,59 persen dan 7,91 persen saham Bank Nusantara Parahiyangan (BNP) secara langsung dan tak langsung.
Kemudian Bank Danamon dan BNP merger untuk memenuhi aturan kepemilikan tunggal (Single Presence Policy/SPP). Sebaliknya, BNI membuka kantor cabang baru Osaka, menyusul kantor cabang Tokyo untuk menjemput bola bisnis.
Terlebih kini perusahaan Jepang makin banyak menjalin kerja sama bisnis dengan perusahaan dalam negeri.
Padahal sejumlah bank telah melakukan restrukturisasi kredit PT Krakatau Steel sekitar 2 miliar dollar AS (setara Rp 28,08 triliun dengan kurs Rp 14.000). Bank itu meliputi Bank Mandiri, BNI, BRI, Bank CIMB Niaga, Bank OCBC NISP, Bank ICBC Indonesia, Indonesia Eximbank, Bank DBS Indonesia, Standard Chartered Indonesia dan BCA (Kontan, 29/1/20). Hal itu dapat meningkatkan rasio kredit bermasalah (non performing loan/NPL). Inilah tantangan serius bagi bank.
Tak efisien
Keempat, margin bunga bersih (net interest margin/NIM) pun bisa tertekan. Kini NIM sudah menipis dari 5,14 persen per Desember 2018 menjadi 4,91 persen per Desember 2019. Namun NIM itu masih jauh lebih tinggi daripada NIM bank-bank di negara-negara ASEAN lain sekitar 2-3 persen.
Karena itu, bank wajib mengerek tingkat efisiensi yang tampak pada rasio beban operasional terhadap pendapatan operasional (BOPO). Kini BOPO bank umum naik (memburuk) dari 77,86 persen menjadi 79,39 persen yang hampir melewati batas atas tingkat efisiensi 70-80 persen.
Sejauh mana BOPO menurut bank umum kegiatan usaha (BUKU)? Tingkat efisiensi BUKU 1, 2 dan 3 memburuk. Inilah rinciannya. BOPO BUKU 1 naik dari 87,90 persen menjadi 89,55 persen, BUKU 2 dari 86,21 persen menjadi 88,32 persen dan BUKU 3 dari 85,88 persen menjadi 87,40 persen semuanya melewati rata-rata industri 79,39 persen dan rasio ideal 70-80 persen.
Lugasnya, ketiga BUKU itu tak efisien. Hanya BUKU 4 dengan BOPO yang meski memburuk dari 69,18 persen menjadi 72,31 persen, tetapi masih efisien. BUKU 4 itu meliputi BRI, Bank Mandiri, BCA, BNI, CIMB Niaga dan Bank Panin. Pasca-merger Bank Danamon dengan Bank Nusantara Parahyangan, Bank Danamon segera jadi anggota BUKU 4.
Tetapi BOPO bank umum 79,39 persen itu masih jauh lebih tinggi dibandingkan bank-bank di ASEAN yang 40-60 persen. Akan lebih strategis ketika Otoritas Jasa Keuangan (OJK) segera menetapkan batas BOPO dari 70-80 persen menjadi 60-70 persen secara bertahap.
Upaya itu perlu dilakukan untuk mendorong bank agar lebih efisien. Mengapa? Karena, efisiensi tinggi menjadi jurus andalan dalam memenangi persaingan di tengah badai ekonomi. Ada dua kiat untuk menggapai laba tinggi: menekan pengeluaran serendah mungkin dan menggenjot pendapatan setinggi mungkin.
Kelima, untuk itu, bank hendaknya lebih mendorong segmen menengah ke bawah yang berorientasi dalam negeri. Dengan bahasa lebih bening, bank menggenjot segmen UMKM dan ekonomi kreatif. Data Kementerian Koperasi dan UKM mencatat ada 62,92 juta unit UMKM pada 2017 yang terdiri dari 62,11 juta unit usaha mikro, 757.090 unit usaha kecil dan 58.627 unit usaha menengah.
UMKM memberikan kontribusi terhadap produk domestik bruto (PDB) 60 persen yang meliputi usaha mikro 36,82 persen, usaha kecil 9,61 persen dan usaha menengah 13,57 persen. Kontribusi usaha besar 40 persen. Artinya, segmen itu merupakan pasar nan empuk dan luas nian.
Bahkan UMKM mampu menyerap lebih 100 juta tenaga kerja, tepatnya 116,67 juta orang yang meliputi usaha mikro 107,23 juta orang, usaha kecil 5,70 juta orang dan usaha menengah 3,74 juta orang sedangkan usaha besar 3,59 juta orang. Pun bank dapat menggeber ekonomi kreatif seperti karya seni, arsitektur, buku, inovasi teknologi dan animasi yang bersumber dari ide kreatif pemikiran manusia.
Data 2017 menunjukkan terdapat enam subsektor yang memberikan kontribusi terhadap PDB di atas 2 persen yakni kuliner 41,47 persen, fesyen 17,68 persen, kriya 14,99 persen, TV dan Radio 8,84 persen, penerbitan 6,18 persen dan arsitektur 2,41 persen. Hal itu bertujuan memelihara ketahanan ekonomi kerakyatan.
Keenam, bank dapat lebih selektif dalam menyalurkan kredit ke sektor yang terpapar risiko virus seperti sektor perdagangan dan pariwisata. Bahkan hendaknya bank dapat membantu lahirnya ruang pamer bagi pelaku UMKM dan ekonomi kreatif di daerah seperti UKM Gallery (SMEsCO) di Jakarta. Ruang pamer itu berfungsi sebagai jendela pemasaran produk mikro dan ekonomi kreatif.
Dana bantuan bank itu dapat diambil dari anggaran tanggung jawab sosial perusahaan (CSR). Dengan menggandeng Kementerian Koperasi dan UKM, bank juga dapat memberikan motivasi kepada pelaku UMKM tentang pengembangan digital dan manajemen risiko. Plus trade finance sebagai persiapan naik kelas menjadi pelaku UMKM berbasis ekspor.
Dengan menggandeng Kementerian Koperasi dan UKM, bank juga dapat memberikan motivasi kepada pelaku UMKM tentang pengembangan digital dan manajemen risiko.
Ketujuh, untuk membantu perusahaan yang kesulitan dalam memperoleh pasokan dari China, bank dapat membantu dalam menggali informasi dan data pemasok komoditas dari negara lain. Kok bisa? Karena bank memiliki ratusan bank koresponden dalam dan luar negeri sebagai mitra bisnis.
Dukungan insentif
Kedelapan, bank tetap perlu insentif. Penurunan suku bunga acuan (BI 7 Day Reverse Repo Rate) 25 basis poin (bps) dari 5 persen menjadi 4,75 persen pada 20 Februari 2020 menjadi insentif moneter untuk memelihara momentum pertumbuhan ekonomi. Hal itu dapat menyetrum penipisan suku bunga kredit terutama kredit konsumsi seperti kredit pemilikan rumah (KPR) dan kredit kendaraan bermotor (KKB).
Apalagi sebelumnya Bank Indonesia (BI) sudah melonggarkan loan to value (LTV) sektor properti dan otomotif sebagai indikator pertumbuhan sektor riil. LTV merupakan rasio antara nilai kredit yang diberikan bank terhadap nilai agunan.
Pelonggaran LTV itu berarti uang muka makin rendah. Pelonggaran giro wajib minimum (GWM) 50 bps menjadi 5 persen pada awal Maret 2020 patut diapresiasi untuk menambah likuiditas perbankan sekitar Rp 25 triliun untuk memperluas ruang pengucuran kredit. BI sudah dua kali melonggarkan GWM masing-masing 50 bps pada Juni dan November 2019.
(Paul Sutaryono Staf Ahli Pusat Studi BUMN, Pengamat Perbankan, Mantan Assistant Vice President BNI)