Dilema Penegakan Hukum Korupsi
Hubungan antara para penegak hukum khususnya advokat dengan lembaga hukum selama ini semacam keran yang rusak sehingga airnya tak jalan. Kita perlu memperbaiki keran itu agar air dapat mengalir dengan baik.
Akhir-akhir ini dunia hukum kita dihebohkan dengan kasus Harun Masiku yang gagal di-operasi tangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Calon anggota legislatif dari PDI Perjuangan (PDI-P) itu menghilang dan membuat perang media antara KPK dan para petinggi partai PDI-P.
Kita juga diramaikan dengan kasus dugaan penerimaan suap/gratifikasi mantan Sekretaris MA Nurhadi cs yang digadang-gadang dapat membuka kotak pandora mafia peradilan di Mahkamah Agung. Perang media antara penasihat hukum dan KPK juga terjadi.
Baik Harun maupun Nurhadi cs telah ditetapkan masuk dalam daftar pencarian orang (DPO). Harun diisukan telah tewas atau disembunyikan, sementara Nurhadi cs diisukan dilindungi dalam golden premium protection di salah satu tempat di Jakarta. KPK sebagai lembaga penegak hukum telah mengancam akan memidanakan pihak-pihak yang melindungi para buron DPO.
KPK sebagai lembaga penegak hukum telah mengancam akan memidanakan pihak-pihak yang melindungi para buron DPO.
Bagaimana sebenarnya kedua kasus itu, kenapa demikian seksi, dan bagaimana posisi para advokat yang kliennya masuk dalam DPO? Advokat adalah penegak hukum, sementara lembaga penegakan hukum adalah kepolisian, kejaksaan, dan KPK.
Kantor advokat adalah mitra lembaga penegakan hukum. Namun, selama ini komunikasi kantor-kantor hukum dengan lembaga hukum seperti kepolisian, kejaksaan, dan KPK tak berjalan baik. Lembaga-lembaga hukum itu seakan-akan menjadi sangat superior, sedangkan kantor-kantor hukum hanya menjadi bagian dari pesakitan.
Komunikasi antarpenegak hukum atau komunikasi antara seorang advokat dan penyidik KPK atau jaksa menjadi sangat tabu saat ini. Lembaga hukum masih beranggapan kantor-kantor hukum itu menjadi goal keeper yang tak hanya membela dan melindungi koruptor/pesakitan, tetapi juga menghambat proses pembuktian kejahatan.
Hubungan komunikasi antara kantor hukum dan lembaga penegakan hukum tidak jalan, dapat dilihat dari surat-menyurat antara kantor hukum dan lembaga hukum yang sifatnya sepihak. Misalnya surat-surat terkait pending judicial proceedings tidak biasa dijawab secara resmi oleh lembaga hukum seperti KPK sehingga sering menimbulkan kesalahpahaman.
Dalam praktik bisa saja terjadi hubungan lisan antara penyidik dan advokat, kalau di kejaksaan masih bisa terjadi, tetapi kalau di KPK jarang terjadi. KPK selalu merasa superior atas seorang advokat karena KPK dapat saja menggunakan kewenangannya untuk memidanakan advokat karena melakukan obstruction of justice sebagaimana yang terjadi pada advokat Fredrich Yunadi, misalnya.
Sementara, advokat tak dapat berlindung di balik hak imunitas UU Advokat apabila pembelaan dan perlindungan terhadap klien dilakukan dengan cara-cara yang melanggar hukum.
Bagaimana dengan klien yang DPO? Berdasarkan pengalaman dalam praktik beracara selama puluhan tahun, ada ketakutan psikologis seorang warga negara berurusan dengan hukum, apalagi KPK.
Dalam praktik bisa saja terjadi hubungan lisan antara penyidik dan advokat, kalau di kejaksaan masih bisa terjadi, tetapi kalau di KPK jarang terjadi.
Dari aspek hukum, para tersangka mangkir karena merasa tak percaya pada hukum yang ada dan sering terjadi tersangka merasa tidak bersalah, tetapi ditetapkan sebagai tersangka, termasuk mungkin alasan-alasan teknis lain, seperti panggilan yang tak patut dan sebagainya.
Tentu saja lembaga hukum semacam KPK beranggapan seorang klien DPO bisa saja akibat ulah advokat yang gagal menghadirkan kliennya ketika dipanggil. Apakah advokat dapat mempertanggungjawabkan ketika kliennya kabur atau ditetapkan sebagai DPO.
Baru-baru ini kita dengar KPK menggeledah sebuah kantor advokat di Surabaya untuk mencari DPO. Sementara advokat tak bisa memaksa kliennya untuk mengikuti kemauannya karena hanya bertindak sebagai pendamping/penasihat hukum sehingga tidak memiliki hak penuh atas seorang tersangka tindak pidana.
Tersangka yang DPO dapat saja menghubungi penasihat hukumnya lewat berbagai cara tanpa harus memberitahukan keberadaannya. Hal ini menjadi dilema bagi advokat yang harus melindungi rahasia kliennya, tetapi juga sebagai penegak hukum yang harus tunduk pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pertanyaannya, apakah si advokat dapat dianggap melakukan obstruction of justice? Dalam kasus demikian sulit menguji sifat tercelanya (verwijtbaarheid) seorang advokat dan sifat dapat dihindarkannya (vermijdbaarheid) dari perbuatan pidana obstruction of justice.
Tentu saja masih banyak perdebatan tentang obstruction of justice sebagai sebuah delik formal, cukup hanya ada niat tidak perlu perbuatan riil, tetapi hal ini sangat berbahaya bagi penegakan hukum pada umumnya dan ujian berat bagi advokat yang sedang menjalankan tugas advokasinya.
Menyikapi kasus korupsi dan menangani kasus buronan juga jadi dilema dalam penegakan hukum.
Dilema penegakan hukum
Menyikapi kasus korupsi dan menangani kasus buronan juga jadi dilema dalam penegakan hukum. Kenapa? Karena banyak sekali terduga koruptor sudah dihakimi publik sebelum dapat membela dirinya.
Banyak terduga korupsi buron karena kebanyakan mereka merasa takut tak mendapatkan keadilan dalam sistem peradilan kita. Tidak saja narasi buruk setiap hari yang akan diterima, tetapi juga stigma buruk yang dilekatkan ke mereka dan keluarganya.
Kita tahu ada beberapa warga negara kita yang jadi buronan KPK, tetapi kenapa kasus Harun Masiku dan Nurhadi Cs jadi sangat seksi bagi publik saat ini? Keduanya kasus dugaan gratifikasi/penyuapan yang tak ada kaitan dengan kerugian keuangan negara. Kenapa begitu heboh? Banyak sekali kasus korupsi yang merugikan keuangan negara miliaran bahkan triliunan rupiah tak jadi pemberitaan seseksi kedua kasus.
Memburu buronan KPK Harun Masiku dan Nurhadi Cs menjadi narasi yang menarik untuk dibahas. Bila kita bahas kedua kasus ini dalam perspektif hukum, maka keduanya masuk dalam delik yang sama gratifikasi/penyuapan bagian dari tindak pidana korupsi. Kemudian, keduanya saat ini masuk dalam DPO, artinya mereka saat ini keberadaannya tak diketahui.
Harun Masiku DPO karena menghilang, sedangkan Nurhadi cs menjadi buronan karena kecewa dengan KPK yang menetapkan mereka sebagai tersangka tidak sesuai hukum yang berlaku. Demikian menurut mereka.
KPK baru-baru ini menyatakan bila Harun dan Nurhadi cs tak ditemukan dalam jangka waktu yang lama, maka dipertimbangkan untuk menyidangkan perkara itu secara in absentia. Jikalau benar demikian, kasihan sekali dengan seorang Harun Masiku yang sudah dinyatakan hilang bahkan dipecat dari partainya sebelum sempat melakukan pembelaan atas dirinya atau menunjuk penasihat hukum untuk membela dirinya ketika dituduh sebagai penyuap anggota KPU, WS.
KPK baru-baru ini menyatakan bila Harun dan Nurhadi cs tak ditemukan dalam jangka waktu yang lama, maka dipertimbangkan untuk menyidangkan perkara itu secara in absentia.
Sementara faktanya, KPK akan melakukan OTT Harun bersamaan dengan OTT anggota KPU WS di suatu tempat tetapi ternyata gagal dilakukan. Wajar saja hilangnya Harun atau kegagalan KPK melakukan OTT terhadap Harun menimbulkan berbagai spekulasi. Informasi tentang keberadaan Harun Masiku yang diberikan oleh instansi berwenang, juga simpang siur.
Sekalipun KPK telah menetapkan Harun sebagai tersangka, bagi kami, Harun orang hilang. Kita bisa membayangkan kasus-kasus penghilangan paksa orang masa lalu sekalipun dalam kualitas berbeda. Hal ini ditakutkan bisa saja terjadi dengan Harun Masiku, yang menerima suap dihukum tetapi penyuap tak bisa ditemukan. Kami kira bukan ini tujuan dari penegakan hukum kita. Kalau demikian maka kita bisa katakan negara gagal melindungi warga negaranya.
Pendekatan baru
Ganti kepemimpinan KPK, perlu juga ganti gaya, ganti pendekatan baru sesuai visi dan misi para komisoner KPK yang baru. Bukan saja perubahan paradigma dalam penerapan kewenangannya, tetapi juga perubahan paradigma dalam hukum acara atau model pemeriksaan para tersangka atau saksi yang lebih beretika dan manusiawi, tak melalui intimidasi dan ancaman hanya untuk dapat bukti.
Dengan dibukanya peluang SP3, penetapan sebagai tersangka tipikor harus lebih diperketat dengan bukti primer, bukan dengan asumsi atau petunjuk belaka. Ini karena petunjuk harus dibedakan dengan bukti petunjuk. Bukti petunjuk masih harus dibentuk dari persesuaian antara keterangan saksi, keterangan terdakwa dan surat.
Bukti petunjuk hanya dapat digunakan dalam pembuktian perkara bukan untuk penetapan seorang tersangka. Dengan demikian, penetapan bukti permulaan yang cukup tak lagi melibatkan petunjuk atau bukti petunjuk tetapi premium evidence yaitu keterangan saksi dan surat.
Dalam pemeriksaan di tingkat penyidikan perlu juga pendekatan baru. Para tersangka dan saksi harus dapat memberikan keterangan dengan bebas tanpa tekanan. Kalau diperiksa dalam ancaman dan keterpaksaan, keterangan itu sudah pasti akan berubah di depan sidang.
Bukti petunjuk hanya dapat digunakan dalam pembuktian perkara bukan untuk penetapan seorang tersangka.
Jika tersangka dan saksi diperlakukan dengan patut, mereka akan bisa memberikan keterangan secara bebas dengan sebenar-benarnya termasuk mereka yang benar-benar bersalah. Kebenaran tak hanya dapat dilihat dari keterangan saksi tapi juga bukti-bukti lain, apalagi keterangan saksi yang digunakan keterangan saksi di depan persidangan.
Di sisi lain, KPK atau lembaga hukum lain perlu juga menjalin hubungan komunikasi yang baik dengan para advokat khususnya kantor-kantor hukum untuk mendapatkan semacam hubungan saling percaya sekuat reciprocal trust antara klien dengan advokat.
Tujuannya sama, menegakkan kebenaran dan keadilan, bukan mencari siapa menang dan siapa kalah, siapa yang lebih kuat dari yang lainnya. Komunikasi surat-menyurat dan lisan bisa dibina untuk kelancaran penyidikan dan pemeriksaan persidangan sangat baik untuk penegakan hukum.
Hubungan antara para penegak hukum khususnya advokat dengan lembaga hukum selama ini semacam keran yang rusak sehingga airnya tak jalan. Kita perlu memperbaiki keran itu agar air dapat mengalir dengan baik. Komunikasi para advokat dengan lembaga penegak hukum seperti KPK dan Kejaksaan perlu diperbaiki agar kebenaran dan keadilan dapat ditegakkan.
Perseteruan antara advokat dan lembaga penegak hukum seperti KPK atau Kejaksaan hanya dapat terjadi dan diselesaikan di depan persidangan bukan melalui silang pendapat di media atau perang media yang membuat masyarakat bingung, akhirnya menjadi takut dan tidak percaya dengan penegakan hukum dan memilih untuk kabur karena mereka menyaksikan sendiri para penegak hukum mereka tidak sependapat dalam berbagai aspek.
(Amir Syamsudin Mantan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia)