Mitigasi risiko pandemi Covid-19 mesti dilakukan dengan mengantisipasi berbagai kemungkinan pada masa depan. Skenario pemulihan ekonomi dalam berbagai bentuk mesti dihadapi.
Oleh
A Prasetyantoko -- Rektor Unika Atma Jaya Jakarta
·5 menit baca
Di depan kader Partai Komunis China pada Januari 2019, Presiden Xi Jinping mengingatkan agar bersiap menghadapi black swans atau kejadian tak terduga.
Saat akhir 2019 di Provinsi Wuhan muncul virus korona tipe baru, peringatan tersebut terasa begitu relevan. Tentu tak ada yang mengira Covid-19 kini menjadi pandemi global. Minggu lalu, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebut pandemi virus korana melewati tragic milestone karena telah menewaskan lebih dari 5.000 orang di seluruh dunia dan telah menyebar ke 144 negara.
Kejadian ini bukan yang pertama dalam peradaban manusia. Yuval Noah Harari dalam bukunya Homo Deus mengisahkan kemunculan wabah pes pada 1330-an yang nyaris membunuh 60 persen penduduk Eropa atau dikenal sebagai ”Black Death”. Pada 1520-an muncul wabah flu Spanyol yang ganas menyebar ke seluruh Eropa dan Amerika.
Buku Harari sebenarnya menjelaskan manusia modern mampu menaklukkan takdir melalui rekayasa (genetika) berteknologi tinggi. Kejadian belakangan ini membuktikan, kemampuan manusia tak mampu mengejar risiko yang juga bermutasi secara revolusioner.
Laporan Global Risk Report 2020 terbitan Forum Ekonomi Dunia (WEF) menunjukkan lima risiko terbesar yang mungkin terjadi pada tahun ini, yang semuanya terkait dengan lingkungan. Risiko lingkungan menduduki peringkat tertinggi dalam 3 tahun terakhir secara berturut-turut. Indikator ini menunjukkan lingkungan telah mengalami degradasi akut sehingga menimbulkan kerawanan mendasar yang bisa muncul dalam berbagai bentuk. Pandemi Covid-19, salah satunya.
Krisis, di bidang apa pun, selalu merupakan momentum atau pertemuan faktor pemicu dan faktor fundamental. Krisis finansial global 2008 dipicu subprime mortgage di tengah kerapuhan sektor finansial sebagai faktor fundamental. Dalam teori siklus bisnis, krisis merupakan koreksi terhadap peningkatan siklus yang terlalu cepat dan tinggi.
Pada masa depan, selain risiko ekonomi dan keuangan, risiko lingkungan harus mulai dielaborasi dalam membuat kalkulasi ekonomi ataupun perencanaan bisnis. Faktor lingkungan tak lagi bisa ditinggalkan, apalagi diabaikan, demi mengejar target pertumbuhan. Kini risiko lingkungan telah mengoreksi siklus pertumbuhan yang bisa jadi telah banyak menimbulkan efek eksternalitas yang membebani lingkungan selama ini.
Pandemi global kali ini terjadi saat siklus ekonomi berupaya bangkit dari pukulan krisis finansial 2008. Pada 2008, gejolak ekonomi telah melumpuhkan daya beli dan pemerintah mampu membangkitkan siklus perekonomian melalui penurunan suku bunga, stimulus fiskal, bahkan intervensi kebijakan industri.
Kini, pukulan dari mana pun tak mudah dimitigasi. Sebab, kebijakan moneter, fiskal, dan industri sudah terlalu longgar, sedangkan beban pemerintah sudah terlalu tinggi. Maka, gejolak kali ini akan menimbulkan risiko resesi dari sisi produksi yang berefek panjang.
Berbagai skenario terkait dengan Covid-19 masih fokus pada dampak perlambatan perekonomian China yang kemudian menyebar ke seluruh dunia. Peran China dalam perekonomian global memang meningkat pesat dalam 15 tahun terakhir. Pada 2002, saat wabah SARS (sindrom infeksi pernafasan akut) merebak, perekonomian China baru sekitar 5 persen dari perekonomian global. Namun, pada 2019 sudah 13,7 persen (The Economist Survey, 2020).
Richard Baldwin dan Beatrice Weder memprakarsai penerbitan buku digital berjudul Economics in the Time of Covid-19 yang terbit pada awal Maret. Episentrum krisis akibat Covid-19 kini telah bergeser dari China ke Eropa dan Amerika Serikat sehingga hampir semua negara G-7 berpotensi lumpuh. China, bersama Jerman dan AS, telah menjadi ”pembangkit listrik” industri global. Bisa dibayangkan jika ketiga negara ini mengalami tekanan beruntun akibat virus korona tipe baru.
Mereka menguasai 60 persen perekonomian global, 65 persen manufaktur, dan 41 persen ekspor manufaktur global. Sektor manufaktur global akan mengalami tiga tekanan sekaligus. Pertama, pasokan akan turun drastis karena mandeknya China, Jerman, dan AS. Kedua, penurunan ketiga negara akan segera menyebar dan menjangkiti semua mata rantai pasok global. Ketiga, sisi permintaan juga terpukul akibat resesi dan penurunan daya beli.
Skenario pemulihan ekonomi secara cepat pasca-pandemi (V-shape) sulit terjadi. Skenario U-shape masih mungkin terjadi, tetapi tetap saja ada beberapa negara yang akan berisiko mengalami skenario L-shape atau perekonomiannya tak pernah bangkit lagi. Situasi global ini menuntut kerja sama dan koordinasi kebijakan, khususnya kelompok G-7.
Perekonomian Indonesia, meskipun tak berisiko mengalami skenario L-shape, jelas akan terkontraksi cukup signifikan dan jangka panjang (U-shape). Langkah pemerintah mengeluarkan dua paket stimulus sudah benar, tetapi perlu lebih fokus pada mitigasi risiko. Paket kebijakan kedua yang bersifat insentif fiskal bisa dilanjutkan. Namun, paket stimulus pertama perlu direalokasi agar lebih fokus pada sektor kesehatan.
Pertama, sarana dan prasarana kesehatan harus siap menghadapi risiko lonjakan kasus, mulai dari rumah sakit hingga perlengkapan medis. Termasuk pemberian bonus kepada tenaga medis dan pihak lain yang terbukti bekerja keras menangani pandemi ini. Kedua, pasokan bahan baku ditingkatkan agar tidak terjadi kepanikan warga. Ketiga, jaminan pendapatan bagi para korban agar mereka fokus pada pemulihan. Dengan demikian, tak perlu terjadi pasien harus melarikan diri takut dikarantina karena kehilangan pendapatan.
Penutupan total bagi Indonesia memang sulit, tetapi upaya drastis perlu dilakukan agar mobilitas manusia bisa dihambat. Jika semakin banyak kantor menerapkan kebijakan ”bekerja dari rumah” serta sekolah dan perguruan tinggi menjalankan pembelajaran digital, perusahaan jasa telekomunikasi perlu bekerja ekstra. Salah satunya, memberi layanan gratis bagi sekolah dan perkantoran yang kurang mampu agar termotivasi melakukan kegiatan dalam jaringan.
Covid-19 memberi banyak pelajaran penting. Pertama, revolusi industri dengan segala kemajuan teknologi terbukti tak mampu mengejar risiko yang bersumber dari lingkungan. Kedua, siklus pertumbuhan akan terkoreksi jika tidak memperhitungkan aspek lingkungan. Ketiga, akan terjadi perubahan perilaku pasca-pandemi global virus korona, di antaranya munculnya standar baru perekonomian berbasis digital.
Mitigasi dampak dengan berorientasi utama pada pasien tetap harus dilakukan sebagai prioritas. Antisipasi pada berbagai kemungkinan pada masa depan perlu dipikirkan agar terjadi koreksi secara mendasar atas kesalahan fundamental kebijakan selama ini.