Tahun 1998, ketika krisis finansial Asia membuat perekonomian Indonesia terpuruk, kenaikan harga komoditas membantu pemulihan ekonomi. Saat ini, tak ada lagi kemewahan itu. Harga komoditas andalan malahan sedang turun.
Oleh
Joice Tauris Santi
·4 menit baca
Nilai tukar rupiah semakin melemah dalam beberapa hari ini. Pada Selasa (17/3/2020), rupiah melemah 1,5 persen menjadi Rp 15.150 per dollar AS atau terendah sejak November 2018.
Bank Indonesia kemudian melakukan beberapa tindakan mitigasi untuk menopang kurs rupiah.
Awal Maret lalu ada lima langkah yang dilakukan BI, yaitu menurunkan rasio giro wajib minimum (GWM) valuta asing bank umum konvensional dari 8 persen menjadi 4 persen.
Diperkirakan dengan ketentuan ini, ada tambahan likuiditas di perbankan sekitar 3,2 miliar dollar AS. Selain itu, BI juga menurunkan GWM rupiah sebesar 50 basis poin untuk bank-bank yang melakukan kegiatan pembiayaan ekspor.
Kebijakan ini diharapkan akan mempermudah kegiatan ekspor impor dengan biaya yang lebih murah mulai 1 April mendatang. BI juga memperluas underlying transaksi bagi investor asing.
Dengan demikian, para investor asing memperoleh alternatif untuk melakukan lindung nilai ketika berinvestasi di Indonesia. Untuk para investor global, BI juga kembali menegaskan bahwa mereka dapat menggunakan bank kustodian, baik global maupun domestik, dalam melakukan kegiatan investasi di Indonesia.
BI pun meningkatkan intensitasnya dalam melakukan intervensi di pasar domestic nondeliverable forward (DNDF), pasar spot, dan pasar surat utang. Beberapa langkah tersebut sudah dijalankan, tetapi credit default swap (CDS) Indonesia lima tahun tetap meningkat berdasarkan data dari worldgovermentbond.com.
CDS merupakan kontrak swap, perjanjian bahwa pembeli CDS akan menerima hak pembayaran bila kredit menjadi gagal bayar atau kejadian lain yang sudah disepakati, seperti kebangkrutan atau restrukturisasi.
Pada Selasa (17/3/2020), CDS Indonesia berdurasi lima tahun sebesar 211,284. Semakin besar CDS, semakin besar pula persepsi Indonesia akan menemui kegagalan dalam memenuhi kewajiban kreditnya.
Dengan nilai CDS 211,284 tersebut, berarti ada probabilitas 3,52 persen Indonesia akan mengalami gagal bayar dengan perkiraan pengembalian sebesar 40 persen. Dalam satu pekan, nilai CDS sudah bertambah 47 persen, 252,17 persen dari bulan lalu, dan 115,46 persen jika dibandingkan tahun lalu.
Artinya, para investor beranggapan risiko Indonesia semakin tinggi. Dalam jangka pendek, resep BI untuk mengendalikan kurs rupiah belum berbuah manis.
Pengendalian BI tersebut bukannya tidak memerlukan peluru. Cadangan devisa merupakan peluru untuk melakukan langkah-langkah tersebut. Per akhir Februari 2020, cadangan devisa tercatat sebesar 130,4 miliar dollar AS, turun sebesar 1,3 miliar dollar AS dibandingkan Januari 2020 yang sebesar 131,7 miliar dollar AS.
Penurunan itu terkait pembayaran utang pemerintah. Cadangan devisa pada Januari 2020 melonjak tinggi dibandingkan cadangan devisa Desember 2019 karena pemerintah menerbitkan obligasi global.
Pada Januari lalu, cadangan devisa hampir mencapai rekor tertinggi yang pernah dicapai pada Januari 2018 sebesar 132 miliar dollar AS. Pergerakannya dipengaruhi oleh penerimaan devisa dari sektor minyak dan gas serta penerimaan valuta asing lainnya.
Badan Pusat Statistik mengumumkan, neraca perdagangan Februari 2020 surplus 2,34 miliar dollar AS dibandingkan dengan defisit pada Januari sebesar 640 juta dollar AS.
Ekspor tidak naik signifikan, sementara impor menurun terkait terganggunya rantai pasokan akibat penyebaran Covid-19. Artinya, mempertahankan kenaikan surplus neraca pada bulan Maret ini merupakan hal yang agak sulit. Penurunan impor bahan baku pun perlu diwaspadai karena menyebabkan produksi berkurang.
Barang primer
Langkah-langkah stabilitas rupiah yang dilakukan berdampak sementara saja dalam meredam gejolak di pasar. Ibarat obat penurun panas, hanya menghilangkan panas sekejap tetapi tidak membangun imunitas terhadap penyakit. Ketika rupiah melemah, mata uang pada negara-negara dengan neraca surplus dapat bertahan.
Membukukan neraca surplus merupakan salah satu upaya membangun imunitas. Pilihannya, meningkatkan volume atau meningkatkan nilai. Ekspor komoditas primer tidak dapat lagi dijadikan andalan.
Tahun 1998, ketika krisis finansial Asia membuat perekonomian Indonesia terpuruk, kenaikan harga komoditas membantu pemulihan ekonomi. Saat ini, tidak ada lagi kemewahan itu. Harga komoditas andalan malahan sedang turun.
Ekspor barang olahan yang bernilai lebih tinggi sudah menjadi keniscayaan untuk mempertebal neraca. Sayangnya, langkah ini selalu tersendat-sendat karena berbagai faktor yang tidak juga terselesaikan. Masa sulit bagi rupiah tampaknya masih belum cepat berlalu.