Saat Nyepi orang Bali belajar meng-nol-kan diri, mereka menyadari; tak ada hak milik yang abadi. Kelak tubuh ini pun, bila saatnya tiba harus dikembalikan pada Sang Pemilik.
Oleh
I Wayan Westa
·4 menit baca
Apa warisan paling berharga dari peradaban batin manusia Bali? Jawabnya cuma satu, yakni: Nyepi. Dalam hiruk-pikuk kehidupan, Nyepi senantiasa mengingatkan, bahwa kesemestaan itu mesti disublimkan dalam tindakan-tindakan merawat kemanusiaan.
Betapa dalam sorak-sorai bahagia, tangis pilu, keluh kesah derita, Nyepi memberi kita momentum untuk selalu terhubung dengan jiwa kemanusiaan itu. Sadar, di semesta agung jagat raya ini, manusia tak cuma makhluk hidup, namun ia penentu masa depannya sendiri.
Sungguh tak ada yang terpisah di semesta jagat raya ini, dari jasad renik hingga manusia berakal budi paling agung. Dalam kerumitan, kehalusan jejaring hidup, sebagai \'diri" manusia selalu terkoneksi dengan denyut dan jaring-jaring hidup di jagat raya. Karenanya, Nyepi lalu mengantarkan kita memahami relasi-relasi hidup.
Betapa memuliakan hidup adalah "agama tunggal" bagi setiap manusia yang sadar tentang hakikat kehadiran di bumi. Namun dunia selalu terkurung, terpenjara pada kotak-kotak ego. Perang, eksploitasi, kejahatan kemanusiaan tak pernah berhenti. Dan kemanusiaan pun merangkak, merindukan nyala terang damai.
Inilah kenapa dalam setiap zaman, saat mana kemanusiaan kita ambruk, tergolek rapuh, selalu ada orang suci datang membawa nyala, memberi terang, menghidupkan, membangkitkan kembali kemanusiaan kita yang koyak. Dalam tugas itulah para nabi datang ke bumi.
Krisna, Gaotama, Muhamad, Yesus, dan banyak guru suci dunia datang demi menegakkan kemartabatan manusia kembali — merawat putik-putik batin itu guna menyadari taman kemanusiaan yang amat vital bagi hidup bersama.
Begitu juga momentum hari suci agama-agama, memberi ruang penyadaran batin bagi setiap pemeluk, bahwa dalam ziarah panjang hidup ini setiap orang selalu disangga orang lain, setiap orang selalu membutuhkan saudara. Setiap keping kebahagiaan yang kita nikmati senantiasa terlibat orang lain.
Dari tanjakan krisis ini kita butuh semangat kemanusian, empati, uluran tangan yang melampaui batas agama-agama. Spiritualitas yang hidup adalah spiritualitas yang disangga spirit kemanusiaan.
Ia melampaui kotak-kotak ego, penjara-penjara keyakinan dogmatik. Inilah panggilan semesta kemanusiaan itu -- dalam bahasa Weda diterjemahkan begitu asketik, bahwa sejatinya; semua makhluk bersaudara.
Ini pula alasan kenapa momentum 22 Maret 79, Raja Kaniskha menetapkannya sebagai tahun baru Saka. Konon sehari sebelum tanggal itu, tepatnya tanggal 21 Maret 79 Saka terjadi gerhana matahari total, di mana bulan dan bumi berada pada satu garis lurus.
Perhitungan penetapan tahun Saka yang pada awalnya memerhatikan posisi matahari, bulan dan bumi tetap diteruskan di Bali. Dari sini Bali melahirkan mementum geniusnya, menyambut tahun baru saka itu dengan \'perayaan\' Nyepi -- di mana tahun ini tepat jatuh pada tanggal 25 Maret.
Jalan kemanusiaan
Dibalik penetapan tahun Saka itu, Raja Kaniskha tentu memiliki alasan-alasan kesemestaan, saat mana benda-benda langit yang bercahaya (div) begitu dekat dengan bumi. Setelah perang bertubi-tubi Kaniskha merasa lelah, kemanusiaan dan peradaban batinnya mengalami inersia, kebekuan akut.
Bahwa hidup saling merawat, berangkulan lebih penting untuk merawat kemanusiaan sekaligus mempermulia hidup. Perang hanya menyisakan kehancuran, derita dan kesengsaraan. Tak ada kebaikan dan keluhuran yang bisa bertumbuh karena perang.
Bila dimaknai lebih luas, tawur bhumi sudha atau caru yang digelar sehari menjelang Nyepi bisa dimaknai sebagai panggilan untuk “melenyapkan” derita dunia. Kesengsaraan, kemiskinan, keterbelakangan, kebodohan, dan penyakit sosial lainnya adalah medan tempat di mana setiap orang bisa menghaturkan derma sepenuh hati sesuai kapasitas dan kompetensi diri masing-masing.
Bila dimaknai lebih luas, tawur bhumi sudha atau caru yang digelar sehari menjelang Nyepi bisa dimaknai sebagai panggilan untuk “melenyapkan” derita dunia
Karena betapa di medan juang kemanusiaan itu, seluruh harga kemuliaan, entah itu kekayaan, keterpelajaran, kekuatan, dan kebijaksanaan mesti diaraskan untuk merawat kemanusiaan bersama. Tentu kemanusiaan yang melampaui batas-batas agama, kesukuan, ras, bahkan kebangsaan.
Jalan kemanusiaan itu adalah juga jalan tapa, jalan di mana setiap penderma tulus kuasa mengenolkan egonya, bahwa meraih kemuliaan, menemukan ke-sunia-tan tidaklah dengan jalan menuruti segala keinginan badan. Dan Nyepi adalah sebuah retret menuju batin bahagia paripurna.
Ia yang kuasa mengosongkan dirinya dari pamrih-pamrih badaniah kelak menemukan arti hidup sesungguhnya di jalan derma. Hanya batin yang telah menemukan nyala bisa menghargai semua semesta hidup dan sadar menjadi bagian dari semesta diri juga. Dialah pemilik batin yang suci bersih itu.
Namun tentu saja batin yang suci bersih itu tak saja “milik” seorang santo atau adi pandita -- alih-alih milik seorang yogin atau pertapa. Siapa saja yang mendermakan seluruh hidupnya demi “sang hidup,” entah ia seorang pandita, petani, buruh, atau seorang paria, kesucian dan keheningan pasti mendekat padanya.
Keheningan yang mahasuci itu adalah milik para pencari. Keheningan itu bukan milik mereka yang belajar kitab suci, bukan pula milik para pengkhotbah kesucian.
Dan, bila saat Nyepi orang Bali belajar meng-nol-kan diri, mereka menyadari; tak ada hak milik yang abadi. Kelak tubuh ini pun, bila saatnya tiba harus dikembalikan pada Sang Pemilik.
Lalu siapa sang pemilik sesungguhnya? Dialah Sang Maha Kesunyian. Penentu yang hidup, penentu yang mati. Pada-Nya hukum semesta tergantung, padanya semua makhluk berpulang. Dia maha tunggal, penyebab dari segala sebab— Maha Sunia yang tak tertembus pikiran — itulah Nyepi.