Peran Agama Hadapi Covid-19
Sementara mereka yang selama ini dipinggirkan menjadi lebih rentan. Seraya terus mencari jalan untuk menemukan solusi mengatasi gempuran virus ini, kita disadarkan bahwa hidup kita tergantung dari yang lain.
Lee Man-hee, pemimpin Gereja Yesus Shincheonji, Korea Selatan, membungkuk dan berlutut di depan konferensi pers. Pemimpin sebuah aliran sekte Kristen tersebut meminta maaf di depan wartawan dan publik atas peran pengikutnya dalam penyebaran Covid-19 di Korea Selatan.
Para kritikus menuduh gerejanya menghalangi upaya untuk memerangi wabah virus tersebut. Sebelumnya, Lee mengatakan bahwa virus korona sebagai ”perbuatan iblis” yang menghambat pertumbuhan gerejanya (BussFeedNews, 2/3/2020).
Walaupun agak terlambat, Indonesia sekarang juga sedang gencar memerangi wabah virus ini. Pendekatan yang diambil berbasis komunitas. Artinya, semua pihak harus terlibat aktif dalam pencegahan penularannya. Tak terkecuali para tokoh agama dan komunitas agama.
Kita umat beragama diharapkan dapat berperan aktif. Peran kita sangat besar dan diharapkan strategis mengingat masyarakat Indonesia pada umumnya masih religius. Sebagai bukti, orang akan lebih mudah mengikuti anjuran untuk tidak masuk kerja atau sekolah daripada untuk tidak datang beribadah bersama ke tempat-tempat ibadah.
Kita umat beragama diharapkan dapat berperan aktif.
Pandangan teologis bencana
Bagaimana peran umat beragama dan para pemimpinnya dalam penanggulangan wabah Covid-19 ini, dapat dilihat dari pandangan teologis mereka. Menyimak khotbah-khotbah, pernyataan-pernyataan, dan anjuran-anjuran para tokoh agama yang berkelindan di media sosial, mereka dapat digolongkan menjadi tiga aliran utama pandangan teologi mereka, mulai dari yang paling konservatif hingga paling progresif.
Pertama, aliran konservatif. Ada tokoh agama yang berpandangan bahwa bencana adalah takdir. Aliran ini berpendapat bahwa semua bencana yang menimpa manusia, termasuk wabah Covid-19, sudah ditakdirkan oleh Tuhan. Manusia tidak bisa berbuat apa-apa kecuali berdoa dan bertobat mohon ampun kepada Tuhan.
Bencana dipahami sebagai kutukan Tuhan kepada manusia karena kejahatan dan dosa-dosa mereka. Maka, sikap yang diambil dalam menghadapi bencana ini adalah pasrah, berdoa, dan ajakan untuk bertobat atas segala dosanya.
Kedua, aliran moderat, yakni aliran teologi yang berpendapat bahwa bencana itu dapat disebabkan oleh manusia, tetapi juga sekaligus sebagai keniscayaan hukum alam. Kejadian-kejadian luar biasa yang belum atau tidak bisa dijelaskan penyebabnya, seperti gunung meletus dan gempa bumi, diyakininya sebagai sebuah keniscayaan hukum alam untuk mencapai keseimbangan.
Jenis kejadian luar biasa seperti ini juga diyakini ada intervensi Tuhan dalam penataan keseimbangan alam semesta. Apa yang dapat dilakukan oleh manusia adalah meminimalkan dampak negatif kejadian luar biasa tersebut terhadap kehidupan manusia.
Terhadap kejadian luar biasa yang disebabkan oleh faktor-faktor lain yang bisa dijelaskan dengan logika sebab-akibat, seperti banjir, perubahan iklim, konflik sosial dan semacamnya, di samping meminimalkan dampak negatif terhadap hidup manusia, juga mengurangi atau menghilangkan penyebab terjadinya bencana.
Ketiga, aliran progresif, yakni aliran yang meyakini bahwa semua kejadian luar biasa yang bisa menyebabkan bencana itu semata-mata berasal dari manusia dan keniscayaan alamiah untuk mencapai keseimbangan alam. Tidak ada intervensi Tuhan dalam setiap kejadian luar biasa tersebut. Hal-hal yang belum bisa dijelaskan secara nalar akan terus diusahakan untuk mencari penjelasannya dan mungkin suatu saat akan ditemukan.
Apa yang dapat dilakukan oleh manusia adalah meminimalkan dampak negatif kejadian luar biasa tersebut terhadap kehidupan manusia.
Upaya-upaya untuk meminimalkan dampak bencana dan mencari penyebab bencana tidak terlalu penting. Iman dan kepercayaan yang fatalis seperti ini sepertinya masih banyak dianut oleh sebagian umat beragama di Indonesia, apa pun agama dan kepercayaannya. Halnya akan diperburuk dengan dukungan para tokoh dan pemimpin agama yang juga mempunyai pandangan yang sama.
Sikap menghadapi Covid-19
Untuk menanggapi wabah baru Covid-19 ini, kiranya umat beragama dan para pemimpinnya lebih terbuka secara teologis dan spiritual sehingga bisa berkontribusi untuk mencegahnya dan tidak sebaliknya semakin memperburuk situasinya. Konsekuensinya, umat beragama perlu menafsirkan kembali paham teologis dan spiritualnya dalam menghadapi situasi yang ada.
Dalam hal ini penafsiran aspek iman yang bersifat komuniter ditantang untuk menemukan cara baru untuk mengungkapkannya. Hampir semua agama/kepercayaan mengajarkan bahwa ibadah bersama merupakan salah satu kewajiban. Dalam situasi normal, ibadah secara daring pada umumnya belum bisa diterima oleh umat beragama.
Namun, syukur bahwa dalam situasi darurat seperti sekarang ini, sudah banyak agama yang menganjurkan untuk menggunakan pelayanan ibadah secara online ini, walaupun masih banyak juga yang tetap beribadah secara bersama-sama di tempat ibadah. Dalam konteks seperti sekarang ini, mungkin baik menafsirkan ajaran agama tidak secara legalistis. Hukum untuk manusia dan bukan manusia untuk hukum.
Social distancing atau ”pengisolasian diri” dalam situasi ini kiranya lebih bijaksana daripada sebaliknya. Di balik itu ada nilai moral dan religius yang bisa diwujudkan. Dengan ”mengisolasi diri”, orang dapat mengurangi dampak negatif pada orang lain karena berpotensi terinfeksi dan bisa menjadi pembawa bagi orang lain. Tindakan yang kelihatannya individualistis ini bisa berdampak sosial yang lebih baik.
Tentu tetap terbuka peluang bagi para pemimpin agama untuk tetap memperhatikan dan melayani umatnya yang terdampak. Ini sama dengan para petugas medis yang tetap dipanggil untuk merawat pasien secara fisik, demikianlah para pemimpin agama juga mempunyai tanggung jawab untuk melayani secara rohani mereka yang terpapar virus ini.
Tentu tetap terbuka peluang bagi para pemimpin agama untuk tetap memperhatikan dan melayani umatnya yang terdampak.
Tentu saja seperti para petugas medis, mereka juga perlu memperhatikan aspek keselamatan dengan mengindahkan protokol perlindungan yang ada, supaya tidak terpapar virus yang akibatnya akan menjadi pembawa untuk orang lain dan menghentikan pelayanannya.
Para pemimpin agama dan institusi agama juga perlu ikut memikirkan mereka yang terpaksa tidak bisa mengisolasikan diri karena hidup mereka bergantung pada mobilitas mereka. Tidak semua orang mempunyai akses untuk mengisolasi diri dalam waktu lama. Hidup mereka bergantung pada mobilitas mereka.
Walaupun ini menjadi tugas negara, para pemimpin agama dan institusi agama perlu ikut memikirkan nasib mereka yang tidak mempunyai akses ini. Gerakan solidaritas perlu dihidupkan untuk mereka yang terpinggirkan ini.
Bencana global ini mengajarkan kepada kita betapa solidaritas global menjadi penting. Bencana ini menyerang semua orang tidak pandang bulu. Orang atau kelompok yang selama ini hanya mementingkan kesejahteraan dan kehidupan diri dan kelompoknya tidak luput dari incarannya.
Sementara mereka yang selama ini dipinggirkan menjadi lebih rentan. Seraya terus mencari jalan untuk menemukan solusi mengatasi gempuran virus ini, kita disadarkan bahwa hidup kita tergantung dari yang lain.
Dalam ”pengisolasian diri”, kita diingatkan akan pentingnya kebersamaan sebagai manusia.
(Adrianus Suyadi, Rohaniwan Katolik dan Aktivis Sosial-kemanusiaan)