Meski umat Hindu telah melaksanakan hari raya Nyepi pada pekan lalu, saya ingin mengkritisi artikel yang dimuat di Colours, majalah untuk pesawat Garuda Indonesia, edisi Maret 2020. Artikel tersebut kurang cermat, bahkan sembarangan mengartikan Nyepi.
Saya membaca majalah itu di pesawat, sekitar dua minggu lalu. Menurut artikel tersebut, perayaan Nyepi bertujuan mengelabui roh jahat. ”Kalau dilihat pulaunya sepi tidak berpenghuni, roh jahat akan pergi”. Sungguh gegabah, tanpa narasumber yang jelas pula.
Secara substansi, ritual Nyepi dilaksanakan masyarakat Bali untuk menjaga keseimbangan Buana Agung (Bumi dan ekosistemnya) dengan Buana Alit (manusia). Caranya dengan melaksanakan Catur Brata (penyepian), yakni tidak melakukan kerja (amati karya), tidak melakukan perjalanan (amati lelungan), tidak menggunakan dan menyalakan api, tidak memasak (amati geni), dan sepi dari hiburan serta puasa (amati lelangonan). Ini dilakukan seharian sipeng (sepi) menyambut tahun baru Saka.
Yang terpenting, makna dan pelaksanaan hari raya Nyepi adalah kembali melihat diri dengan pandangan yang jernih dan daya nalar yang tinggi. Hal itu akan melahirkan sikap untuk mengoreksi diri, melepaskan segala sesuatu yang tidak baik, memulai hidup suci, hening menuju jalan yang benar atau dharma.
Pelaksanaan Nyepi benar-benar spiritual dengan upawasa, mona, dhyana, dan arcana. Upawasa artinya dengan niat suci berpuasa untuk penguatan pengendalian diri, tidak makan dan minum selama 24 jam. Upawasa dalam bahasa Sanskerta berarti kembali suci. Mona artinya berdiam diri, tidak bicara selama 24 jam. Dhyana memusatkan pikiran kepada Tuhan untuk mencapai keheningan. Arcana bersembahyang di tempat suci atau tempat pemujaan keluarga di rumah.
Pelaksanaan Nyepi seperti itu tentu harus dilaksanakan dengan niat yang kuat dan tulus ikhlas. Jangan sampai dipaksa atau ada perasaan terpaksa.
Tujuan mencapai kebebasan rohani itu memang suatu ikatan, tetapi ikatan dilakukan dengan penuh keikhlasan dalam menjaga keseimbangan alam. Demikianlah makna dan pelaksanaan hari raya Nyepi.
I Made Geria
Kepala Pusat Penelitian Arkeologi Nasional
Klaim Asuransi
Bersama ini saya mengimbau Direksi Asuransi Bumiputera yang terhormat.
Saya, dengan nomor polis 2005032608, sudah menjadi peserta asuransi Bumiputera sejak 1 Februari 2005. Setiap tahun saya membayar premi.
Polis saya jatuh tempo 1 Februari 2019. Namun, sampai hari ini klaim asuransi saya belum juga dibayarkan.
Saya mengetuk hati direksi Bumiputera agar segera membayarkan hak saya.
Ida Ayu Krishna
Kompleks Polri Pejaten
Barat, Jakarta Selatan
Tayangan Reka Adegan
Sebagai media informasi, banyak televisi memiliki program berita, termasuk di antaranya berita kriminal. Bahkan, ada berita dengan konsep reka adegan.
Namun, ada beberapa hal yang menurut saya perlu diingatkan. Adegan-adegan sebaiknya tidak ditampilkan secara detail karena dikhawatirkan ada pemirsa yang malah terinspirasi mempraktikkannya.
Reka adegan sebenarnya juga melanggar peraturan Komisi Penyiaran Indonesia Nomor 02/P/KPI/03/2012 Pasal 41d yang berbunyi ”tidak menyajikan reka ulang yang memperlihatkan secara terperinci cara dan langkah kejahatan serta cara-cara pembuatan alat kejahatan atau langkah-langkah operasional aksi kejahatan”.
Saya berharap pihak terkait tergerak untuk memperbaiki kode etik dan konsep pemberitaan media televisi kita.
Nisa Rizkya Andika
Suryodiningratan,
Mantrijeron. Yogyakarta