Di beberapa negara yang siap, selama ada pembatasan gerak manusia, pemerintah menyediakan kebutuhan dasar pangan bagi seluruh masyarakat. Namun, ketersediaan pangan itu takkan cukup tanpa manajemen logistik memadai.
Oleh
Adhi S Lukman
·3 menit baca
Sejak Desember 2019 dunia dikejutkan Covid-19. Banyak negara kewalahan. Selain penanganan pandemi, yang juga penting diwaspadai adalah dampak sosial ekonomi.
Apa pun namanya, lockdown, social distancing, intinya adalah membatasi gerak manusia. Dampak sosialnya sangat besar, terutama bagi yang berpenghasilan harian. Bagaimana mencukupi kebutuhan pangan kalau tak ada pendapatan?
Maka, sebelum memutuskan lockdown, dua hal mendasar perlu disiapkan: ketersediaan kebutuhan dasar pangan dan menjaga daya beli masyarakat. Di beberapa negara yang siap, selama ada pembatasan gerak manusia, pemerintah menyediakan kebutuhan dasar pangan bagi seluruh masyarakat.
Namun, ketersediaan pangan itu takkan cukup tanpa manajemen logistik memadai.
Indonesia dengan geografis dan keberagaman luar biasa menghadapi tantangan manajemen pangan itu.
Maka, sebelum memutuskan lockdown, dua hal mendasar perlu disiapkan: ketersediaan kebutuhan dasar pangan dan menjaga daya beli masyarakat.
Cadangan pangan
Pemerintah pusat sudah menerapkan manajemen krisis dengan menunjuk Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sebagai Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19. Ia memperpanjang status darurat bencana wabah penyakit akibat virus korona sampai 29 Mei 2020.
Keputusan itu membawa dampak luar biasa secara sosial dan ekonomi. Salah satunya adalah ketersediaan pangan selama status darurat. Dalam masa krisis, perlu kemampuan menembus sekat birokrasi.
Saat ini Indonesia belum mempunyai skema cadangan pangan bencana (CPB) serta protokol tetapnya. Bahkan dalam kasus Covid-19, baru menggalang dana dan merevisi APBN. Masalah kian rumit karena pemerintah daerah bisa membuat kebijakan sendiri.
Katakan dengan mengerahkan berbagai sumber daya, sumber pangan bisa dipenuhi. Namun, bagaimana mengelolanya? Siapa yang membagi, di mana stok disiapkan, siapa penerima yang tepat sasaran, bagaimana distribusinya? Tentu dengan berbagai kondisi kritis di mana pangan mudah rusak, masa kedaluwarsa, dan jaminan keamanannya.
CPB beserta manajemen protokolnya tidak bisa ditawar lagi. Bukan hanya untuk Covid-19, melainkan juga menghadapi berbagai bencana lain.
Pertama, pemerintah perlu menetapkan lembaga pengendali CPB. Tidak perlu lembaga baru, manfaatkan yang ada.
Kedua, protokol harus disiapkan dan dibakukan untuk pemerintah pusat dan daerah. Apabila presiden menyatakan kondisi tertentu, otomatis semua bisa bergerak menembus batas birokrasi tanpa rapat koordinasi. Tanggung jawab pendistribusian CPB bisa dibagi antara pemerintah pusat, daerah, atau lembaga yang ditunjuk.
Ketiga, perlu dipetakan dan ditetapkan kategori dan jenis pangan untuk CPB serta jumlah (stok penyangga) per daerah, demikian juga titik penempatan stok. Lebih baik jika CPB sesuai selera masyarakat setempat.
Karena pangan mudah rusak dan ada masa kedaluwarsa, bisa kerja sama dengan produsen atau pemegang stok. Misal, menitip pengelolaan stok ke perusahaan atau BUMN terkait.
Pendanaan CPB
Keempat, pendanaan CPB bisa berasal dari APBN atau sebagian dana CSR perusahaan swasta, BUMN, BUMD. Dana CSR bisa menjadi pengurang basis pajak sehingga mendorong partisipasi pelaku usaha.
Kelima, secara berkelanjutan ada inovasi jenis dan mutu CPB, terutama dari sisi kepraktisan dan gizi. Maka, CPB harus bisa diterima pasar agar mudah dikelola perputaran stoknya.
Keenam, pemerintah bisa mengajak masyarakat mendanai CPB. Nilainya bisa menambah pendapatan tidak kena pajak (PTKP). Pemerintah pun jadi punya cadangan dana yang bisa dipakai setiap saat tanpa harus merevisi APBN.
(Adhi S Lukman, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia, Ketua Komite Tetap Pengembangan Industri Pangan, Kadin Indonesia)