FOMO alias Takut Ketinggalan
Ketika membahas belanja panik, saya menyebutkan bahwa gejala FOMO atau fear of missing out pada seseorang dapat memperparah tampilnya perilaku ini.
Ketika membahas belanja panik, saya menyebutkan bahwa gejala FOMO atau fear of missing out pada seseorang dapat memperparah tampilnya perilaku ini. Ternyata gejala ini terjadi pada banyak orang di sekeliling kita dan berdampak lebih luas.
Sering kali Anda merasa kecewa dan sedih karena tidak ikut makan di suatu restoran atau piknik bersama ke tempat indah ketika melihat unggahan foto-foto teman di media sosial? Selain itu, adakah teman yang selalu cepat mengirim pesan ke berbagai grup di Whatsapp, tampak sebagai seorang yang ingin tampil dan takut tidak diakui keberadaannya oleh lingkungan? Jika ya, kemungkinan besar ini adalah gejala FOMO.
Dari kamus Merriam-Webster, FOMO adalah suatu perasaan takut ketinggalan, takut tidak dilibatkan ke dalam sesuatu yang dialami orang lain (seperti kegiatan yang menarik).
Sebenarnya gejala FOMO telah ada selama berabad yang lalu yang bisa dilihat dalam teks-teks kuno. Hanya baru dipelajari selama beberapa dekade terakhir. Dimulai dengan makalah penelitian tahun 1996 oleh Dan Herman, seorang ahli strategi pemasaran. Penulis Patrick J McGinnis membuatnya populer pada tahun 2004 ketika ia menerbitkan tulisan di The Harbus, majalah Harvard Business School. Sejak itu, istilah FOMO secara perlahan diadopsi secara daring, dan menjadi makin umum dengan munculnya media sosial.
Mekanisme psikologis
Menurut Andrew Heinzman (2019), FOMO biasanya digunakan untuk menggambarkan situasi sosial. Anda mungkin mengalami FOMO ketika tidak bisa pergi ke pesta yang asyik atau menghadiri konser dengan teman-teman. Untuk alasan ini, FOMO membawa konotasi yang sangat remaja atau kekanakan, dan istilah ini muncul di hampir setiap artikel berita tentang kaum milenial.
Namun, terkadang FOMO digunakan untuk menggambarkan rasa waswas ketinggalan kesempatan hidup atau profesional, seperti memperoleh gelar, membeli saham, atau mendapatkan promosi. Jadi, ini bukan hanya fenomena anak muda, dan tidak ada alasan mengapa tidak boleh menggunakan istilah FOMO untuk menggambarkan situasi non-sosial yang serius.
FOMO yang terkait dengan penggunaan media sosial ternyata melampaui usia dan jender, dapat dialami mereka dari segala usia, setiap orang merasakan tingkat FOMO tertentu pada waktu yang berbeda dalam hidup mereka. Saat ini individu dapat melihat dan memiliki akses yang konstan ke hal-hal yang dilakukan para rekan dan sebaya mereka. FOMO hampir merupakan dampak langsung dari kecanduan media sosial karena semua media sosial melihat apa yang dilakukan orang lain.
Elizabeth Scott (review oleh Steven Gans, 2020) mengatakan bahwa FOMO adalah takut ketinggalan yang mengacu pada perasaan atau persepsi bahwa orang lain lebih bersenang-senang, menjalani atau mengalami kehidupan yang lebih baik, orang lain mungkin memiliki pengalaman yang berharga, sementara dirinya tidak hadir.
Kecemasan sosial ini ditandai keinginan untuk terus terhubung dengan segala yang dilakukan orang-orang lain. Kondisi ini melibatkan rasa iri mendalam dan memengaruhi harga diri yang sering diperburuk oleh situs media sosial. FOMO bukan hanya perasaan bahwa mungkin ada hal-hal yang lebih baik yang dapat Anda lakukan saat ini, tetapi perasaan bahwa Anda ketinggalan akan sesuatu yang secara mendasar penting yang dialami orang lain.
FOMO merupakan fenomena nyata yang dapat menyebabkan stres dalam hidup seseorang. Ini dapat memengaruhi hampir semua orang, tetapi beberapa orang berisiko lebih besar. Penelitian menunjukkan bahwa rasa takut ketinggalan bisa berasal dari ketidakbahagiaan dan ketidakpuasan terhadap kehidupan. Perasaan ini dapat mendorong kita ke dalam penggunaan media sosial yang lebih besar. Pada gilirannya, keterlibatan yang lebih besar dengan media sosial dapat membuat perasaan tentang diri dan hidup lebih buruk.
Meminimalkan FOMO
Scott mengusulkan empat cara untuk mengurangi gejala ini.
Mengubah fokus. Daripada berfokus pada kekurangan diri, cobalah memperhatikan apa yang dimiliki. Meski media sosial mungkin menjejali berbagai gambaran tentang hal-hal yang tidak kita miliki, tetaplah berfokus pada kelebihan kita.
Lebih banyak mendekat pada yang bersikap positif dan jauhi orang yang cenderung terlalu menyombongkan diri atau tidak mendukung. Anda dapat memilah mana yang memicu FOMO Anda dan mana yang membuat Anda merasa nyaman dengan diri sendiri.
Para psikolog dan orang yang telah mempelajari FOMO menyarankan beristirahat dari media sosial untuk menghilangkan rasa berlebihan tentang ”bagaimana jika?”
Anda tidak harus menghentikan sepenuhnya. Cobalah untuk mengurangi saja waktu daring Anda dan lebih fokus pada lingkungan sekitar.
Membuat jurnal. Sangat wajar mengunggah di media sosial untuk menyimpan hal-hal menyenangkan yang Anda lakukan. Namun, Anda mungkin mendapati diri agak kebanyakan memperhatikan tentang apakah orang-orang memvalidasi pengalaman Anda secara daring.
Jika hal itu masalahnya, Anda mungkin dapat mengambil beberapa foto dan kenangan Anda secara luring (offline) dan membuat jurnal pribadi dari kenangan terbaik Anda, baik secara daring maupun di atas kertas. Ini dapat membantu memindahkan fokus Anda dari persetujuan publik menjadi apresiasi pribadi terhadap hal-hal yang membuat hidup Anda berhasil. Pergeseran ini terkadang dapat membantu Anda keluar dari siklus media sosial dan FOMO.
Mencari hubungan yang nyata. Tindakan sehat ketika kita merasa tertekan atau cemas kemudian mencari relasi yang lebih luas. Perasaan kesepian atau terkucilkan sebenarnya adalah cara otak kita untuk mengatakan bahwa kita ingin mencari koneksi yang lebih luas dengan orang lain dan meningkatkan rasa memiliki.
Sayangnya, keterlibatan media sosial tidak selalu merupakan cara efektif untuk mencapainya. Daripada mencoba untuk lebih terhubung dengan orang-orang di media sosial, lebih baik mengatur untuk bertemu dengan seseorang secara langsung. Buatlah rencana dengan teman baik, piknik bersama, atau melakukan apa pun secara sosial yang dapat membantu menghilangkan perasaan kehilangan.
Jika tidak punya waktu untuk itu, bahkan pesan langsung di media sosial kepada seorang teman dapat membina hubungan yang lebih luas dan akrab daripada mengunggah ke semua teman Anda dan berharap untuk ”disukai”.
Fokus pada rasa bersyukur. Penelitian menunjukkan bahwa terlibat dalam kegiatan yang meningkatkan rasa syukur, seperti membuat jurnal rasa syukur atau sekadar memberi tahu orang lain apa yang Anda hargai, dapat mengangkat semangat Anda dan juga semua orang di sekitar.
Selain itu, membuat orang lain merasa senang membuat kita merasa baik. Peningkatan suasana hati inilah yang mungkin dibutuhkan untuk membebaskan diri dari perasaan tertekan atau cemas. Anda mungkin tidak akan merasa tergoda untuk masuk ke ”lubang” jejaring sosial dan FOMO ketika menyadari betapa banyak yang sudah Anda miliki. Anda akan mulai merasa telah memiliki apa yang dibutuhkan dalam hidup dan begitu juga orang lain. Ini bisa berdampak luar biasa bagi peningkatan kesehatan mental dan emosional Anda.
Selamat merenungkan.