Pandemi Covid-19 tak hanya menyisipkan beragam kisah derita dan kepahlawanan, tapi juga cerita tentang kasih. Dokter Simone V Benatti, ahli penyakit infeksi Rumah Sakit Papa Giovanni XXIII Bergamo-Itali, menulis dalam jurnal medis terkemuka Annals of Internal Medicine edisi akhir Maret 2020, sebuah cerita yang menyentuh.
Cerita bermula saat sang dokter menelepon perempuan renta untuk mengabarkan keadaan suaminya. Perempuan itu segera mengangkat gagang telepon begitu nada dering terdengar. Ia seakan telah menunggu di samping telepon, menanti kabar dari rumah sakit.
”Selamat pagi Dokter.” ujar perempuan tua itu dengan suara yang terdengar serak, namun tenang. ”Ya, kami menelepon untuk memberitakan tentang Tuan Rota. Apakah Nyonya istrinya?” tanyaku. ”Ya dokter. Aku istrinya.” Terbayang dalam pikiranku, perempuan itu sedang berdiri menerima telepon di sebuah rumah tua yang teduh. Seandainya aku bisa menatap wajah perempuan ini.
”Begini Nyonya Rota. Keadaan lebih kurang sama dengan berita kemarin. Situasinya tidak baik. Usia beliau sudah begitu lanjut. Infeksi ini sangat buruk bagi orang tua. Selain itu, suami nyonya menderita penyakit alzheimer (pikun). Beliau sekarang menolak makan. Kemampuan kami terbatas untuk berbuat lebih jauh lagi. Kami harap, nyonya bisa mengerti.” jelasku.
”Dokter, itu terjadi karena aku tidak berada di sisinya,” ujar Nyonya Rota. ”Dia butuh kehadiranku. Kami telah menikah 55 tahun. Benarlah kata keponakanku saat kami membawanya ke rumah sakit. Kata dia, suamiku akan menyerah hidup jika ditinggal sendirian. Sangkaan keponakanku itu akhirnya terjadi,” ungkapnya dengan nada menyesal.
”Apakah Nyonya punya anak? tanyaku. Ia menjawab, ”Tidak dokter. Kami hidup berdua saja selama ini. Namun, kami punya banyak keponakan.
”Dokter, bolehkah aku minta bantuan?” tanya perempuan itu dengan nada mendesak. ”Tolong katakan begini kepadanya,” Pietro, aku mendapat pesan dari Bigi bahwa ia mencintaimu, namun ia tak diizinkan mendampingimu.”
”Bigi itu nama panggilanku,” jelasnya ”Beri tahu itu saja dokter. Tolong jangan lupa sebut kata Bigi, ya! Aku yakin kata itu akan bermanfaat. Ia akan paham,” tegas perempuan itu.
Aku berusaha melanjutkan komunikasi, namun suaraku tersendat, tak mampu lagi keluar. Nyonya Rota juga terdiam. Dalam beberapa detik keheningan, kami berdua seolah tiba di sebuah ujung garis, situasi yang begitu pelik. Satu sisi kami berhadapan aturan pembatasan pandemi. Sepasang suami-istri yang telah berbagi hidup hampir sepanjang waktu termasuk tahun-tahun terakhir saat ingatan suami mulai pudar kini mereka akan terpisah selamanya dalam jam-jam yang menentukan.
Mereka tak punya waktu bersama lagi, walau sekadar saling menggenggam tangan. Nyonya Rota sendiri mungkin telah terinfeksi virus korona. Di sisi lain, seorang lelaki renta dan pikun tanpa kemungkinan pulih dari penyakit pneumonia (radang paru) dan komplikasi penyerta tengah terbaring sendirian di tempat asing.
Mereka tak punya waktu bersama lagi, walau sekadar saling menggenggam tangan.
Ia dikelilingi banyak orang tak ia kenal yang menutup hampir seluruh wajahnya, bersarung tangan dan berpakaian khusus. Para petugas medis itu sedang berjuang mengobati sang lelaki tua, tetapi sesungguhnya mereka ragu manfaat terapi yang diberikan.
Aku ingin terus terang ke Nyonya Rota bahwa suaminya sudah tidak lagi mampu merespons suara. Ia sudah mendekati jam-jam akhir hayat. Namun, kuputuskan membiarkan perempuan itu percaya bahwa pesan cintanya akan tersampaikan.
Nyonya Rota tampak masih ingin bicara lagi, tetapi karena khawatir kehilangan kontrol emosi, aku mencoba mengakhiri komunikasi.
”Terima kasih dokter. Anda telah memberiku waktu bicara. Aku sendirian sekarang,” katanya mengakhiri pembicaraan. ”Jangan sebut demikian Nyonya. Itu adalah tugas kami.” sahutku.
Derita keterpisahan
Dokter Benetti telah mengungkap dampak pandemi memilukan yang selama ini tersembunyi, yaitu keterisolasian insan-insan yang saling mencinta. Keterpisahan akibat infeksi Covid-19 terjadi begitu mendadak. Penderita alami sesak napas berat sehingga harus segera dirawat, tetapi tak boleh dijenguk.
Sanak keluarga harus mengisolasi diri di rumah karena mereka juga potensi telah terinfeksi. Mereka menunggu kabar dari rumah sakit tentang nasib anggota keluarga yang dicintai. Perasaan keluarga teraduk berkecamuk antara rasa sayang, rasa bersalah, dan kegetiran diam dalam menanti kabar nasib sang terkasih.
Saat meninggal pun, penderita Covid-19 kerap terasingkan. Hanya petugas berpakaian hazmat yang memakamkan. Keluarga hanya bisa berurai air mata duka tak dapat mengantar, terisolasi mandiri di rumah.
Tak semua keluarga sanggup menahan derita keterpisahan demikian. Beberapa waktu lalu terberitakan dari Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara, adanya jenazah pasien dalam pengawasan (PDP) yang dibawa pulang oleh keluarga dari rumah sakit. Bungkus jenazah terduga Covid-19 yang telah sesuai SOP dalam memutus mata rantai virus itu dibuka kembali oleh keluarga.
Tampak kerabat mencium dan memeluk jenazah di atas pembaringan. Mereka seakan lebih sanggup menahan derita terinfeksi virus korona ketimbang menahan duka tak menyaksikan wajah keluarga terkasih sebelum dimakamkan.
Makna cinta
Fenomena keterasingan dalam derita pandemi ini tak pelak memicu perenungan. Berabad sejarah membuktikan di saat ilmu dan teknologi kedokteran gagal menyembuhkan penyakit, pelayanan medis tetap mampu tampil memuliakan manusia, baik dengan tatapan wajah, sentuhan tangan, terapi komunikasi, maupun redakan rasa sakit. Namun, virus korona ternyata tak sekadar menyerang saluran napas, tetapi juga seolah merobek pertautan temali kasih manusia.
Namun, virus korona ternyata tak sekadar menyerang saluran napas, tetapi juga seolah merobek pertautan temali kasih manusia.
Kisah Laila-Majnun terasa menemukan panggung pandemi Covid-19 dalam menampilkan kembali drama lara keterpisahan. Dengan derai air mata kerinduan Laila bersurat kepada Majnun ”Sayang, aku telah berusaha sekuat daya merasakan beban lara mu. Aku begitu menyesal keterpisahan ini. Kebersamaan itu terasa mustahil. Namun apakah kehadiranku itu begitu penting, Sayang? Bukankah kita telah satu jiwa walau raga terpisah. Jiwaku melekat bersamamu.”
Bak pembuka daun jendela agar Majnun menghirup makna derita keterpisahan, Laila meneruskan bait surat dengan kalimat, ”Wahai pujaan hatiku, jangan engkau mengeluh kesepian. Jangan bersikap demikian kasihku. Ingatlah Dia yang menciptakanmu. Ingatlah Tuhan adalah Kawan abadi bagi mereka yang terasing.”
(Fauzi Yahya Dokter
Spesialis Jantung dan Pembuluh Darah)