Dengan kebijakan bekerja dari rumah untuk mengatasi pandemi Covid-19, sebagian dari kita mulai jenuh. Meski mencoba berkreasi, rasa bosan tidak sepenuhnya dapat diatasi.
Oleh
KRISTI POERWANDARI
·4 menit baca
Dengan kebijakan bekerja dari rumah untuk mengatasi pandemi Covid-19, sebagian dari kita mulai jenuh. Meski mencoba berkreasi, rasa bosan tidak sepenuhnya dapat diatasi. Sebagian lainnya berada dalam situasi lebih sulit karena terjebak tanpa dapat berbuat apa pun untuk mengatasi persoalan pribadi atau persoalan keluarga yang gagal diselesaikan oleh internet.
Layanan konseling telepon atau daring di beberapa tempat mengindikasikan meningkatnya jumlah perselisihan dan kekerasan dalam rumah tangga. Jika hubungan tidak harmonis, harus tinggal bersama dalam satu rumah 24 jam sehari memang dapat menambah rasa kesal dan frustrasi. Apalagi jika yang kita hadapi adalah orang yang sulit, curang, atau hanya sibuk dengan kepentingan diri sendiri.
Panduan self-help banyak dibuat, tetapi kurang memuaskan karena banyak masalah yang memerlukan upaya penanganan lebih serius. Orang bertanya, kapan dapat membuat janji berkonsultasi ke psikolog atau psikiater untuk membahas persoalannya?
Bagaimana menyelesaikan persoalan rumah tangga kerabat yang sudah parah dengan nuansa KDRT? Masa tidak boleh bertemu antar-anggota keluarga untuk menyelesaikan perselisihan yang mengganggu? Bagaimana menjelaskan situasi kompleks dari sahabat yang menunjukkan ide-ide bunuh diri apabila tidak dapat bertemu langsung dengan petugas profesional?
Menghela napas
Harus disadari bahwa situasi saat ini memang sungguh tidak ideal. Hal-hal sepele dapat membuat kesal dan berbuntut masalah lebih besar. Justru karena itu, menjadi lebih penting untuk kita mencoba selalu ”eling” dan lebih mengelola perilaku.
Ketika grup WA berdenting-denting dan percakapannya membuat kesal, ada baiknya posting-annya dihapus saja atau tidak perlu dibuka. Ketika anak berlarian menjatuhkan barang, atau orang dekat mulai mengungkit-ungkit masalah, daripada langsung bereaksi, ada baiknya kita menghela napas panjang, lalu melakukan olah napas dan relaksasi untuk menenangkan diri.
Ketika kesal, kita cenderung berbicara menyalahkan atau menggeneralisasi: ”Kamu itu selalu…,”; ”Memang kamu tidak bisa dipercaya…!”
Untuk meminimalkannya, akan baik merangkai persoalan sebagai masalah bersama, bukan masalah (yang bersumber dari) salah satu pihak saja. Dengan pola pikir demikian, perasaan kesal dapat diturunkan intensitasnya, dan cara bicara jadi terjaga. Pihak lain pun akan merasa lebih nyaman mendengar kata-kata kita, tidak merasa direndahkan, dituding, atau dipersalahkan.
Jika pasangan melakukan tindakan menjengkelkan, seperti tidak berganti baju dan tidak mandi seusai bepergian, justru karena merasa sangat kesal kita perlu menghela napas panjang untuk mengambil jeda sejenak. Lalu dengan sadar menurunkan nada suara dan menyampaikan dengan tenang: ”Bolehkah kita semua segera mandi dan berganti baju begitu masuk rumah? Kita harus saling membantu dan menjaga agar semua pihak tetap sehat.”
Menggunakan kata ”kita” akan meminimalkan konflik karena tidak terkesan menyalahkan dan mengajak semua berpikir mengenai kepentingan bersama.
Kecenderungan diri
Kita perlu paham mengenai kecenderungan diri. Apakah mudah kesal dan segera saja bereaksi membalas perlakuan orang lain yang tidak berkenan di hati? Apakah senang adu argumen dan memaksa menjadi orang yang terakhir berbicara untuk memenangkan percakapan?
Situasi sekarang mengajak kita untuk mundur sejenak, dan lebih banyak berdialog dengan diri sendiri. Kata-kata menyakitkan dari orang lain tidak perlu terlalu dimasukkan ke hati, atau bila perlu diselesaikan, dibereskan saja lain kali setelah pandemi selesai.
Mungkin pula ada pengalaman di masa lalu yang menyebabkan hal-hal tertentu mudah sekali mengungkit emosionalitas kita. Misalnya, seorang sahabat saya pernah kehilangan saudara kandungnya yang bunuh diri. Hal ini menjadi trauma sangat menyakitkan dan membuatnya terus dikejar perasaan bersalah.
Kalau ada masalah pada orang-orang dekat, ingatan masa lalu dan penyesalannya membuatnya ingin campur tangan mengatasi masalah, bahkan kalau perlu membuatkan keputusan dan mengambil alih tanggung jawab.
Tentang hal itu, ia juga perlu menghela napas, dan sedikit mengundurkan diri. Bagaimanapun kita bukan malaikat atau manusia super, dan mengambil alih tanggung jawab hanya akan membuat pihak lain tidak pernah belajar dewasa. Tambahan pula, ia juga perlu mengurus bisnis dan keluarganya sendiri serta merawat diri agar tetap sehat di masa pandemi.
Duka dan stigma
Kita ikut berduka karena sebagian dari kita terdampak langsung sebagai (keluarga dari) pasien dalam pengawasan (PDP), bahkan ada pula yang telah kehilangan anggota keluarga akibat Covid-19. Ketatnya prosedur untuk meminimalkan infeksi hingga kita tidak dapat mengantar jenazah ke makam, atau menengok orang dekat yang sedang sakit, sungguh mengagetkan dan mungkin menyisakan luka yang dalam. Belum lagi ada pihak-pihak yang demikian ketakutan sehingga menstigma penyandang Covid-19 dan keluarganya.
Kita belum lagi bicara mengenai para pekerja kecil yang kehilangan mata pencarian serta keluarga-keluarga yang mungkin tidak dapat lagi memenuhi kebutuhan makan dan minum secara layak. Ada pula para pengusaha yang juga menghadapi tantangan sangat berat untuk mempertahankan bisnis sambil tetap menggaji karyawan dan mempertahankan para pekerjanya.
Ada kelompok-kelompok yang terbentuk menawarkan bantuan konseling melalui telepon atau dalam jaringan. Semoga kelompok-kelompok ini telah membekali diri dengan keterampilan dasar konseling dan pendampingan secara memadai agar kehadiran mereka sungguh bermanfaat bagi masyarakat yang memerlukan.
Semoga pandemi ini segera berakhir dan kita dapat beraktivitas lagi, kali ini dengan lebih seimbang dan bertanggung jawab demi keharmonisan alam.
*Teriring doa bagi kepergian pejuang garis depan, sahabatku, dr Ratih Purwarini, MSi