Covid-19 dan Hegemoni AS di LCS
Kehadiran kapal perang AS di LCS tidak bisa dimaknai sebagai freedom of navigation operation saja, tetapi kotak pandora menuju perang dingin kedua. Konsekuensinya konflik LCS kian jauh dari harapan berakhir.
Setelah berusaha dengan segenap kemampuan selama hampir tiga bulan, Pemerintah China berhasil membebaskan negeri itu dari wabah Covid-19.
Sementara negara-negara lain masih berjuang memberantas virus korona, termasuk AS dan sekutu-sekutunya.
Wabah virus mematikan yang bermula dari kota Wuhan di Provinsi Hubei, China, kini meluas menjadi pandemi dengan korban jiwa terus berjatuhan. Berbagai cara dilakukan untuk menangkal, termasuk karantina penduduk.
Di luar hiruk pikuk Covid-19, persoalan hegemoni di Laut China Selatan (LCS) antara China dan AS tetap berlangsung dan memicu ketegangan hingga ke Taiwan. Kapal-kapal perang AS, dengan alasan freedom of navigation operation, terus berlayar di perairan LCS, mengabaikan klaim China di sana.
Kapal perang AS bahkan tampil agresif. Laman Facebook Armada ke-7 AS, Senin (23/3), mengumumkan, kapal perusak USS Barry menembakkan rudal jarak menengah SM-2 di LCS. Ini untuk pertama kali kapal perang AS meluncurkan rudal di sana. Kapal pendamping, USS Shiloh, juga meluncurkan rudal SM-2 dari geladaknya.
Washington berdalih, menembakkan rudal itu sebagai latihan. Pengumuman Armada ke-7, Selasa (24/3), menyatakan peluncuran rudal itu sebagai upaya mendukung keamanan dan stabilitas di Indo-Pasifik.
Ini untuk pertama kali kapal perang AS meluncurkan rudal di sana.
Latihan dengan rudal di selatan Laut Filipina itu dapat diartikan sebagai ”pesan kuat” AS terhadap Beijing yang terus berupaya menancapkan hegemoni di LCS. AS juga seolah berpesan, mereka bisa menangkal rudal China yang dikabarkan punya daya jangkau hingga ke pangkalan Angkatan Laut AS di Guam.
Tembakan rudal AS itu juga dapat diartikan bahwa AS yang saat ini sedang berjuang menghadapi Covid-19 (lebih dari 530.000 orang di AS terinfeksi, melampaui China dan Italia) tidak meninggalkan sahabat-sahabatnya di Indo-Pasifik yang berusaha mengatasi ganasnya wabah Covid-19.
Ketegangan Selat Taiwan
Latihan AS yang tak umum, menembakkan rudal di LCS, direspons China di Selat Taiwan, kawasan Laut China Timur. Jet tempur China menerobos wilayah udara Taiwan dengan dalih sedang berlatih perang sehingga terlibat konfrontasi menghadapi jet tempur Taiwan.
China selalu menganggap Taiwan sebagai provinsinya dan tak akan pernah membiarkan wilayah itu jadi negara berdaulat. Buku Putih Pertahanan China 2019 dengan tegas menyatakan: ”Tentara Pembebasan Rakyat China akan mengalahkan siapa pun yang berusaha memisahkan Taiwan dari China”.
Sebaliknya, AS selalu mendukung Taiwan hingga kini. Pasca-penerobosan wilayah udara itu, AS menugaskan destroyer USS McCampbell berlayar ke Selat Taiwan, dekat dengan daratan China. Presiden Taiwan Tsai Ing-wen mengingatkan Beijing untuk tak memancing ketegangan.
Armada ke-7 AS menyatakan, AL AS akan berlayar ke mana pun yang dibolehkan hukum internasional. Keberadaan USS McCampbell di Selat Taiwan disebut untuk menunjukkan komitmen AS terhadap Indo-Pasifik yang bebas dan terbuka.
Ketegangan di Selat Taiwan tak bisa dipisahkan dari pertarungan hegemoni AS-China. AS di bawah Presiden Donald Trump dengan slogan Make America Great Again berusaha mempertahankan hegemoni. China dengan kekuatan ekonominya ingin menyaingi AS.
China menggunakan smart power, menyediakan pembiayaan proyek infrastruktur dalam skema one belt one road/belt on road initiative (OBOR/BRI) untuk berbagai negara di Asia, Afrika, hingga Eropa. Dengan cerdik, China menggunakan kemampuan ekonominya melawan hegemoni AS.
Produksi berbagai barang buatan China yang berharga murah membanjiri pasar dunia, termasuk AS. Produk China itu tak bisa diimbangi AS dan membuat China menjadi negara kaya serta powerful. AS melihat keadaan itu sebagai suatu ketidakseimbangan yang dapat menimbulkan persoalan.
Senator AS Marco Rubio dalam suatu kesempatan mengatakan, AS tak keberatan China jadi negara kaya dan sejahtera, tetapi harus ada keseimbangan dengan AS. Jika hanya China yang sejahtera, sedangkan AS tidak, dikhawatirkan bisa menyebabkan perang, penderitaan, dan ketidakstabilan dunia.
Para senator dan elite di AS bahkan mulai berpendapat, kesejahteraan yang tak berimbang AS-China bisa menyebabkan terjadinya perang dingin kedua. Jika dulu AS berhadapan dengan Uni Soviet, kali ini yang dihadapi adalah China. Sejak berakhirnya Perang Dingin dan runtuhnya Uni Soviet tahun 1991, AS jadi satu-satunya negara superpower hingga China dengan keajaiban ekonominya tampil ke permukaan. Perebutan pengaruh tak terhindarkan.
Dengan cerdik, China menggunakan kemampuan ekonominya melawan hegemoni AS.
Menghadapi China, AS memakai strategi hard power, melancarkan perang dagang, serta mengubah komando tempur Asia Pasifik, jadi Indo-Pasifik. AS juga merangkul India yang sebelumnya terabaikan.
”Perang Dingin” AS-China dapat dilihat dari aksi AS melakukan freedom of navigation operation, berlayar sekitar 12 mil dari pulau-pulau yang diduduki China di LCS. Tahun 2019, AS beraksi delapan kali, dan lima kali pada 2018.
Situasi itu menjadikan LCS yang memendam potensi konflik bersenjata kian panas. Potensi konflik di sana sudah ada sejak China tahun 1947 membuat sembilan garis putus-putus dan mengklaim wilayah itu milik China berdasarkan traditional fishing ground.
Potensi konflik bersifat laten di LCS karena posisinya strategis, kaya sumber daya mineral dan perikanan. Lebih dari 30 persen perdagangan minyak mentah dunia senilai 3 triliun dollar AS diangkut lewat LCS. Perairan itu menghasilkan 10 persen konsumsi ikan dunia. Kandungan mineral di LCS sebesar 125 miliar barel dan 500 triliun kubik gas alam. China, Taiwan, Filipina, Vietnam, Malaysia, dan Brunei Darussalam saling klaim atas perairan itu. AS tak terlibat klaim LCS, tetapi ingin bebas berlayar di sana.
Sebagai negara dengan kekuatan ekonomi nomor dua dunia dan memiliki angkatan bersenjata kuat, China percaya diri mereklamasi pulau-pulau karang di LCS dan melengkapinya dengan mercu suar, pelabuhan, lapangan terbang, dan pangkalan militer di terumbu karang Fiery Cross, Subi, dan Mischief. China juga menghadirkan kapal-kapal ikan di perairan sengketa dengan kawalan Coast Guard, seperti terjadi di Laut Natuna Utara yang menjadi Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia.
Dalam konteks ini, kehadiran kapal perang AS di LCS tidak bisa dimaknai sebagai freedom of navigation operation saja, tetapi kotak pandora menuju perang dingin kedua. Konsekuensinya, konflik LCS kian jauh dari harapan berakhir. Dikhawatirkan konflik justru melebar ke Laut China Timur, Selat Taiwan dan Laut Kuning, seperti Covid-19 yang terus menyebar ke berbagai negara.
(Marsetio Guru Besar Universitas Pertahanan; Kepala Staf TNI Angkatan Laut 2012-2015)