Krisis Politik Legisprudensi
Situasi darurat akibat pandemi virus korona tidak menyurutkan niat DPR untuk menyetujui sejumlah pembahasan rancangan undang-undang (RUU) kontroversial, tak terkecuali Omnibus Law Cipta Kerja.
Since legalism concentrates on rules to the exclusion of everything else, the rules lose their sense of contingency. They dominate the entire moral universe.
(Z Bankowski, 1993: 47)
Situasi darurat akibat pandemi virus korona tidak menyurutkan niat DPR untuk menyetujui sejumlah pembahasan rancangan undang-undang (RUU) kontroversial, tak terkecuali Omnibus Law Cipta Kerja. Rapat Paripurna DPR telah memandatkan Badan Legislasi membahasnya. Alasan DPR adalah surat presiden terkait pembahasan Omnibus Law RUU Cipta Kerja sudah dibahas dalam rapat Badan Musyawarah (Kompas, 2/4/2020).
Tentu, kontroversi ini mengundang protes banyak pihak. Publik menilai DPR tak etis dan tak peka terhadap situasi ancaman bahaya penyebaran virus korona. Terlebih lagi, semua pihak berfokus pada upaya menghadapi bahaya itu. Ada dua hal mendasar yang menjadi catatan atas langkah DPR itu.
Pertama, DPR seakan menyangkal Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Covid-19, yang diikuti pula dengan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-19, serta Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19 dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan.
Rakyat diminta mematuhi pembatasan sosial, sementara wakil rakyat di DPR melanggarnya.
Kedua, alasan prosedural menyangkut teknis terkait tahapan pembentukan hukum merupakan argumen legalisme (legalism). Hal ini sama sekali tidak mempertimbangkan konteks darurat kesehatan masyarakat. Tidak terhindarkan kecurigaan publik atas dugaan adanya agenda terselubung di balik proses percepatan pembahasan RUU-RUU kontroversial tersebut.
Dalam teori ketatanegaraan, khususnya perundang-undangan, realitas pembentukan hukum tanpa mempertimbangkan konteks situasinya menjadi obyek kajian dengan pendekatan legisprudensi (legisprudence). Suatu pendekatan yang mempertimbangkan kearifan sekaligus partisipasi sosial dalam proses pembentukan hukum oleh legislator.
Publik menilai DPR tak etis dan tak peka terhadap situasi ancaman bahaya penyebaran virus korona.
Legisprudensi
Legisprudensi merupakan sebuah pendekatan yang diperkenalkan oleh Wintgens dalam buku yang disuntingnya, Legisprudence: A New Theoretical Approach to Legislation (2002). Legisprudensi sebagai pendekatan teoretik hukum memiliki obyeknya sendiri, yakni legislasi (dan atau regulasi). Itu sebab dikenal pula pendekatan legisprudensi terhadap hukum (legisprudential approach to law), yakni studi rasionalitas perundang-undangan, secara teori dan praktikal. Istilah legisprudensi pada mulanya tidak terlalu akrab dalam diskursus ketatanegaraan, sekalipun dalam literatur ilmu perundang-undangan.
Pendekatan ini bermula dari kritik bahwa teori hukum tak semata rule application (penerapan aturan), melainkan juga rule creation (pembentukan aturan). Dalam pendidikan hukum, apalagi dalam konteks Indonesia yang banyak dipengaruhi tradisi hukum sistem Eropa kontinental, studi ’creation of legal rules’ dianggap persoalan politik. Oleh sebab itu, politik tidaklah tepat untuk suatu studi keilmuan (hukum) di fakultas-fakultas hukum. Narasi dominan demikian dipengaruhi cara pandang Kelsenian, positivistik dalam makna formalisme, atau legalisme.
Berangkat dari situasi ini, begitu banyak pemikir atau teoretisi legislasi menelurkan argumentasi yang menyoal bagaimana pembentukan hukum itu seharusnya dilakukan, terutama melibatkan disiplin-disiplin ilmu lain untuk merumuskan kerangka normatif yang lebih berdimensi keadilan sosial (social justice).
Dalam konteks itu, proses pembentukan hukum diuji apakah dilakukan dengan terbuka nan partisipatif terhadap akses publik, apakah pula memikirkan sejauh mana kemampuan materialisasi dan konseptualisasi melalui norma itu bisa teraplikasi secara lebih jelas, dan apakah ditujukan untuk melindungi kepentingan hak-hak warga negara (fundamental rights), serta memiliki efektivitas dan kemanfaatan bagi keadilan sosial.
Legisprudensi memiliki dua aspek, baik aspek teoretik maupun praktikal. Aspek teoretik mempertanyakan konsep kedaulatan, hubungan antara sistem hukum dan realitas sosial, baik dari sisi perspektif yudisial maupun legislatif, pula melihat apa kesamaan di antara keduanya. Hubungan ini didasarkan pada analisis konsep tentang koherensi suatu sistem hukum.
Sementara aspek praktikal dilihat dari elaborasi kriteria faktual dan rasionalitas perundang-undangan. Hal tersebut didapatkan dalam sistem hukum yang mendasarkan pada dinamikanya sendiri menurut sudut pandang hermeneutika atas aktor-aktor yang memiliki otoritas (authoritative actors).
Itu sebabnya, patut disayangkan bahwa alasan legislator yang formalistik-prosedural tidak hanya menjadikan potensi legalisme menguat dalam pembentukan hukum RUU Omnibus Law Cipta Kerja itu. Namun pula sama sekali tidak arif nan bijak dalam kaitan situasi warga negara yang sedang berjuang bertahan melawan Covid-19.
Legitimasi dan efektivitas
Apa yang terjadi apabila proses pembentukan hukum tanpa mempertimbangkan pendekatan legisprudensi?
Wintgens (2002: 31) menyatakan, dari bentuk suatu perspektif sosiologi, aturan-aturan akan dapat efektif, sedangkan dari perspektif moralitas (sosial), aturan-aturan akan mendapati lebih legitimasinya. Dalam tinjauan ekonomi, memberikan informasi kepada legislator bahwa aturan-aturan tersebut akan memungkinkan secara ekonomi dilakukan atau dipatuhi. Semua aspek ini terkait dengan apa yang disebut dengan law’s validity (validitas hukum) dari perspektif teori.
Validitas hukum bukan semata dilihat kesesuaian prosedur hukum formal yang telah ditempuh, melainkan pula soal legitimasi dan efektivitas. Yang kerap keliru dipahami, legitimasi di benak para pembentuk hukum, atau bahkan di kalangan pendidik hukum, pembentukan hukum oleh legislator memiliki ’legitimasi demokrasi’. Padahal, ini sebatas representasi mekanisme elektoral dalam pengisian jabatannya.
Validitas hukum bukan semata dilihat kesesuaian prosedur hukum formal yang telah ditempuh, melainkan pula soal legitimasi dan efektivitas.
Pendekatan legisprudensi menyoal legitimasi itu. Sekalipun ada legitimasi otoritas politik bagi pembentuk hukum atau legislator, haruslah pula memastikan dan memperhitungkan bahwa proses-proses pembentukan hukum mampu memperkuat level partisipasi politik kewargaan. Hak-hak warga negara dalam partisipasi ini telah diperkuat melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Pemaknaan terbatas atau bahkan pengabaian atas legitimasi melahirkan sejumlah krisis. Pertama, aturan akan kehilangan daya kebermaknaan sosialnya (social significance). Kedua, etika, kepekaan, dan bahkan keberpihakannya terbatas atau bahkan hilang sama sekali, sehingga tak mengherankan jika mengundang kritik luas dari publik akibat legislasi tersebut justru dimungkinkan berwatak represif atau bahkan melanggar hak asasi manusia (legalized human rights violation).
Ketiga, terjadi pendangkalan kualitas demokrasi ketatanegaraan, karena pemegang kekuasaan legislatif dalam fungsi pembentukan hukum banyak dipengaruhi oleh pengetahuan, peran, kepentingan, dan tafsir-tafsir yang hanya memiliki kuasa politik ekonomi tertentu.
Semoga legislator DPR hari ini sungguh-sungguh mempertimbangkan akibat krisis legisprudensi dan kembali bersama segenap warga negara berjuang melawan Covid-19.
(Herlambang P Wiratraman Dosen Hukum Tata Negara dan HAM Fakultas Hukum Universitas Airlangga)