Persaingan keras antarmedia daring dalam memberitakan wabah Covid-19 telah mengorbankan prinsip dasar jurnalistik. Jika kita biarkan, bukan hanya terjadi pembodohan massal, jurnalisme daring juga akan menemui ajal.
Oleh
Firdaus Cahyadi
·4 menit baca
Wabah Covid-19 ternyata tidak hanya menyerang manusia, tetapi juga mulai menyerang jurnalisme. Seiring dengan merebaknya wabah Covid-19, marak pula media-media massa, terutama media daring, menabrak prinsip-prinsip dasar jurnalistik. Jurnalisme pun seakan ikut sekarat di tengah mewabahnya Covid-19. Sekaratnya jurnalisme itu salah satunya ditandai dengan munculnya jurnalisme ludah.
Jurnalisme ludah ini ditandai dengan minimnya verifikasi dan hanya mengandalkan pernyataan seorang narasumber. Parahnya, sebagian jurnalis justru tidak memedulikan apakah narasumber itu memiliki kompetensi atau tidak terkait dengan isu yang ditanyakan.
Di tengah mewabahnya Covid-19, misalnya, ada sebuah berita di media daring yang berjudul, ”Pemprov Jakarta Kuburkan 283 Orang dengan Dugaan Terinfeksi Corona”. Judul berita itu tentu menghebohkan karena berbeda dengan data yang dirilis pemerintah pusat. Muncul kesan di benak pembaca bahwa pemerintah pusat sengaja menutupi jumlah korban meninggal di Jakarta akibat Covid-19.
Kesan yang negatif itu pada akhirnya akan memunculkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah pusat atas penanganan wabah Covid-19 ini. Jika itu terjadi, akan sulit bagi kita melewati masa-masa sulit dalam menghadapi wabah ini.
Sikap kritis terhadap kekuasaan itu adalah keharusan bagi media massa sebagai pilar demokrasi keempat. Namun, itu harus dilakukan berdasarkan fakta-fakta di lapangan, bukan sekadar mengutip pejabat publik atau politisi yang kepentingannya belum tentu sejalan dengan kepentingan publik.
Jurnalisme ludah ini ditandai dengan minimnya verifikasi dan hanya mengandalkan pernyataan seorang narasumber.
Pada berita yang berjudul ”Pemprov Jakarta Kuburkan 283 Orang dengan Dugaan Terinfeksi Corona” jelas didasarkan pada jurnalisme ludah dengan menabrak salah satu prinsip jurnalistik dasar, yaitu verifikasi. Bagaimana tidak, berita tersebut bukan mengabarkan fakta, tetapi mengabarkan sebuah dugaan yang belum tentu benar.
Seharusnya, begitu jurnalis mendapatkan informasi tentang adanya dugaan ratusan orang yang dikuburkan dengan dugaan terinfeksi Covid-19, ia tidak langsung memublikasikannya. Jurnalis harus melakukan verifikasi kepada narasumber yang memiliki otoritas dan kompetensi bahwa ratusan orang itu benar atau tidak meninggal akibat terinfeksi Covid-19.
Media massa, sebagai pilar demokrasi keempat dan penjaga akal sehat, haram memberitakan informasi yang didasarkan atas dugaan atau rumor. Media massa harus memberitakan informasi yang berdasarkan fakta.
Dengan memberitakan informasi yang didasarkan pada fakta, publik sebagai pembaca akan dapat membuat keputusan yang tepat dari informasi yang diterimanya. Namun, jika informasi yang disampaikan media massa didasarkan pada dugaan-dugaan semata, publik sebagai pembaca akan disesatkan. Akibatnya, keputusan yang diambil publik pun bisa salah dan menyesatkan.
Bukan hanya maraknya jurnalisme ludah, sekaratnya jurnalisme juga ditandai dengan ketidakmampuan jurnalis media daring membedakan fakta dan opini. Padahal, membedakan fakta dan opini adalah kompetensi dasar yang harus dimiliki seorang jurnalis.
Di sebuah media daring terkemuka, misalnya, muncul berita yang berjudul ”Mencekam, Hampir 200 Tentara Korea Utara Tewas akibat Serangan Virus Corona”. Meninggalnya 200 tentara Korea Utara akibat Covid-19 mungkin sebuah fakta, tetapi bagaimana dengan kata mencekam dalam judul berita itu?
Parahnya, setelah membaca seluruh isi berita dengan judul tersebut di atas, tidak ada satu pun narasumber yang relevan mengungkapkan suasana mencekam dari kejadian meninggalnya 200 tentara Korea Utara itu. Jadi, kata mencekam dalam judul berita itu menurut siapa? Jangan-jangan kata mencekam itu menurut jurnalisnya sendiri. Jika demikian, jelas berita itu sudah bercampur antara fakta dan opini.
Mirip dengan berita di atas, di sebuah media daring lainnya muncul berita dengan judul, ”Keren, Risma Sudah Lebih Dulu Siapkan Antisipasi Virus Corona”. Sekali lagi, mungkin benar Wali Kota Surabaya Risma telah melakukan antisipasi virus korona. Namun, bagaimana ceritanya hingga muncul kata keren dalam judul berita itu? Keren menurut siapa dan dibandingkan dengan siapa?
Jawabannya lagi-lagi tidak jelas. Tampaknya, kata keren itu merupakan opini dari jurnalis yang menulis berita itu. Ini tentu bahaya karena prinsip dasar jurnalistik yang memberikan garis tegas antara fakta dan opini benar-benar sudah ditabrak.
Seiring dengan kemajuan information dan communication technology, menjamurnya media daring adalah keniscayaan. Bahkan, banyaknya media daring itu sebagian membunuh saudara tua mereka, media massa cetak. Persaingan antara media daring pun semakin keras. Media daring yang paling cepat memberitakan sebuah peristiwa akan banyak di-klik atau dibaca para pengguna internet.
Tampaknya, kata keren itu merupakan opini dari jurnalis yang menulis berita itu.
Di tengah munculnya sebuah kasus yang mendapat perhatian publik secara luas, seperti Covid-19 ini, persaingan untuk menjadi media daring tercepat dalam memberitakan itu kian keras. Lantas, apa yang dikorbankan dari persaingan untuk menjadi paling cepat ini? Jawabannya jelas, prinsip-prinsip dasar jurnalistik.
Jika prinsip-prinsip dasar jurnalistik ini terus dikorbankan oleh media daring, sebentar lagi jurnalisme daring bukan lagi sekarat, melainkan benar-benar menemui ajalnya. Jika itu yang terjadi, publik yang akan dikorbankan. Publik akan mengalami pembodohan massal oleh media-media daring yang menginjak-injak prinsip jurnalistik itu. Nah, apakah kita membiarkan saja jurnalisme daring terus sekarat dan kemudian menemui ajalnya?
(Firdaus Cahyadi, Executive Director One World Indonesia)