Berada di rumah sepanjang hari saat pembatasan sosial bisa berarti kurang banyak gerak, tetapi makan lebih banyak. Bagaimana mempertahankan berat badan ideal dan tetap sehat?
Oleh
ATIKA WALUJANI MOEDJIONO
·6 menit baca
Saat pandemi korona dan pembatasan sosial, otomatis ruang lingkup aktivitas jadi terbatas karena harus tinggal di rumah. Jika harus bekerja, cukup meraih komputer atau duduk di depan meja kerja. Tak harus jalan cepat mengejar jadwal kendaraan umum atau menyetir untuk sampai ke kantor.
Di waktu senggang, tak banyak yang bisa dikerjakan. Sasana olahraga, pusat hiburan, dan mal pun tutup. Di sisi lain, jumlah asupan dan frekuensi makan kita tidak banyak berbeda. Bahkan mungkin lebih banyak mengemil untuk membunuh rasa bosan. Tanpa disadari, jarum timbangan badan makin mengarah ke kanan.
Perubahan hidup harus disikapi dengan perubahan pula. Frekuensi dan jenis makanan perlu ditinjau ulang jika mau tetap sehat dan bugar.
Sebagaimana komposisi dan kualitas zat gizi makro, frekuensi dan waktu makan merupakan aspek penting dari gizi. Asupan kalori berlebih bisa meningkatkan risiko obesitas dan penyakit kronis. Selama ini disarankan untuk membagi jumlah rekomendasi asupan kalori per hari dalam tiga kali makan berat dan dua kali camilan. Tujuannya untuk mengatasi rasa lapar, mencegah asupan kalori berlebih, serta menjaga berat badan ideal.
Sejumlah penelitian pengamatan memperlihatkan, makan sering dalam jumlah sedikit bisa mencegah obesitas. Namun, penelitian lain menunjukkan, sering mengemil menyebabkan peningkatan berat badan, peningkatan lemak perut dan hati, serta peningkatan risiko diabetes melitus tipe 2. Bukan hanya karena asupan kalori lebih tinggi, tetapi juga karena peningkatan rangsangan makanan, rasa lapar, dan keinginan untuk makan (craving).
Mengurangi frekuensi makan dapat mencegah obesitas dan penyakit kronis serta memperpanjang masa hidup hewan percobaan. Tikus yang diberi makan dalam waktu tertentu dengan pola makan tinggi lemak dan jumlah kalori sama dengan tikus yang makan semaunya ternyata lebih terjaga dari obesitas serta diabetes. Makan teratur dalam jarak waktu tertentu berdampak positif terhadap toleransi glukosa, sensitivitas insulin, dan mencegah diabetes tipe 2 pada tikus.
Pentingnya sarapan
Hana Kahleova dan kolega dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Loma Linda, Amerika Serikat, dan Institut Endokrinologi, Praha, Ceko, melakukan penelitian terhadap 50.660 anggota gereja Advent di Amerika Serikat dan Kanada yang berusia 30 tahun ke atas.
Frekuensi dan waktu makan terkait indeks massa tubuh (IMT atau proporsi antara tinggi dan berat badan) mereka diamati lebih dari tujuh tahun.
Hasil penelitian yang dimuat di The Journal of Nutrition, September 2017, menunjukkan, mereka yang makan 1-2 kali per hari mengalami penurunan relatif IMT dibandingkan mereka yang makan 3 kali per hari. Peserta yang makan lebih dari 3 kali per hari mengalami peningkatan IMT.
Orang yang rutin sarapan mengalami penurunan IMT dibandingkan dengan tidak sarapan. Mereka yang sarapan dalam jumlah besar mengalami penurunan IMT relatif lebih besar dibanding yang makan banyak pada makan siang atau makan malam.
Mereka yang makan malam lebih awal relatif menurun IMT-nya dibanding yang makan malam lebih terlambat. Terbukti pula, orang yang sering melewatkan sarapan berisiko lebih tinggi mengalami obesitas dan penyakit kronis terkait obesitas.
Dalam hal ini, sarapan adalah makan pada pukul 05.00-11.00. Waktu makan siang adalah pukul 12.00-16.00, dan makan malam pukul 17.00-23.00.
Penjelasannya, makan banyak saat sarapan mengurangi rasa lapar, keinginan makan manis dan gurih, serta konsentrasi ghrelin atau hormon yang merangsang napsu makan, sehingga menangkal kenaikan berat badan.
Sarapan teratur meningkatkan rasa kenyang, mengurangi lemak darah, meningkatkan sensitivitas insulin dan toleransi glukosa pada jadwal makan berikutnya. Efek yang berlawanan terjadi pada makan malam.
Sarapan dan pengaturan jarak antara waktu makan bisa mengurangi peradangan, meningkatkan ritme sirkadian, autofagi, ketahanan terhadap stres, serta keseimbangan mikrobiota usus.
Frekuensi dan waktu makan dapat mengatur ulang dan memperkuat jam sirkadian serta gen yang mengontrol metabolisme. Berkurangnya frekuensi makan dapat mencegah obesitas dan kerusakan oksidatif serta ketahanan lebih tinggi terhadap stres.
Jadi, makan dua kali sehari, tidak mengemil, sarapan, dan makan lebih banyak di pagi hari merupakan cara efektif mencegah pertambahan berat badan dan tetap sehat. Sarapan dan makan siang dengan jarak waktu 5-6 jam sehingga ”berpuasa” di malam hari selama 18-19 jam bisa merupakan strategi jitu.
Hal itu sesuai dengan kajian ilmuwan dari Italia dan Amerika Serikat yang dipimpin Antonio Paoli dari Departemen Ilmu Biomedis, Universitas Padova, Italia, yang dimuat di jurnal Nutrients, 2019. Frekuensi makan yang tinggi, enam kali atau lebih per hari, meningkatkan risiko penyakit dibandingkan frekuensi makan rendah, 1-2 kali makan per hari.
Pola makan teratur termasuk sarapan, mengonsumsi kalori lebih banyak saat sarapan, dan jarak antara waktu makan yang teratur bisa mengurangi peradangan, peningkatan ritme sirkadian (jam biologis yang mengatur siklus di dalam tubuh selama 24 jam), autofagi (proses pembersihan dalam tubuh dengan membuang sel yang rusak), ketahanan terhadap stres, serta keseimbangan mikrobiota usus.
Makan seimbang
Kunci pola makan sehat adalah menyesuaikan jumlah kalori dengan aktivitas Anda. Kelebihan asupan kalori, baik karbohidrat maupun lemak, akan disimpan dalam bentuk lemak tubuh. Sebaliknya, kekurangan kalori akan menyebabkan kurus dan kurang gizi.
Jenis makanan harus beragam agar mendapat seluruh zat gizi yang diperlukan. Menurut Layanan Kesehatan Nasional (NHS) Inggris, secara umum bagi pria disarankan mengonsumsi 2.500 kalori dan perempuan 2.000 kalori. Bisa kurang atau lebih sesuai aktivitas.
Makanan pokok sebaiknya berupa karbohidrat berserat tinggi. Yakni, diolah dari biji-bijian dan umbi utuh, misalnya beras, gandum, kentang, ubi, dan singkong. Kalaupun dalam bentuk pasta dan roti, pastikan dari gandum utuh. Selain itu, makan lebih banyak ikan, seperti tuna dan salmon, dibanding sumber protein hewani lain.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyarankan konsumsi lebih banyak sayuran dan buah karena merupakan sumber vitamin, mineral, serat, protein nabati, dan antioksidan. Makan sayuran dan buah menurunkan risiko obesitas, gangguan jantung, stroke, diabetes, dan kanker.
Kurangi lemak, gula, dan garam. Lemak dan minyak adalah sumber energi. Konsumsi terlalu banyak, terutama jenis lemak yang salah, seperti lemak jenuh dan lemak trans (yang terbentuk dalam produksi makanan jadi), bisa meningkatkan risiko gangguan jantung dan stroke.
Pilih minyak nabati tak jenuh dari zaitun, kedelai, biji matahari, atau jagung ketimbang lemak hewani dan lemak jenuh, seperti mentega, ghee, atau lemak babi. Untuk mencegah kelebihan berat badan, konsumsi lemak harus dibatasi tidak lebih dari 30 persen kebutuhan kalori per hari.
Konsumsi gula juga perlu dibatasi kurang dari 10 persen kalori total. Kalau bisa kurang dari 5 persen akan lebih sehat. Memilih camilan buah segar daripada kukis, kue, dan cokelat akan mengurangi konsumsi gula. Cara lain, membatasi asupan minuman bersoda, jus buah dengan pemanis, sirup, susu, dan yogurt yang diberi tambahan rasa.
Mengurangi asupan garam kurang dari 5 gram per hari membantu mencegah tekanan darah tinggi serta mengurangi risiko gangguan jantung dan stroke pada orang dewasa. Hati-hati, garam juga terdapat pada bumbu, seperti kecap dan kecap ikan.
Apakah perlu meninggalkan makanan favorit? Tentu tidak. Kunci pola makan sehat adalah keseimbangan. Kita tetap bisa menikmati makanan tinggi kalori, gurih dan manis.
Tapi hanya satu atau dua kali sebulan, tidak berlebihan, dan diimbangi dengan makanan lebih sehat serta berolahraga teratur. Dengan cara itu, kita tetap bisa menjaga berat badan ideal dan kebugaran.