Tidak ada yang dapat memprediksi kapan situasi darurat Covid-19 ini akan berakhir. Keterbukaan dan akuntabilitas anggaran perekat dalam mengkapitalisasi dukungan warga terhadap upaya pemerintah menghadapi virus korona.
Oleh
Yuna Farhan
·5 menit baca
"Kami tahu cara menghidupkan kembali perekonomian, yang kami tidak tahu adalah cara menghidupkan kembali orang yang meninggal” Pernyataan Presiden Ghana Nana Akuffo Addo ini viral dan menuai banyak pujian netizen di berbagai belahan dunia.
Pernyataan tersebut dianggap merepresentasikan aspirasi warga dunia bagaimana seharusnya para pengambil kebijakan bertindak dalam perang melawan pandemi Covid-19. Perlunya keseimbangan antara penanganan kesehatan secara cepat dan menyelamatkan kehidupan ekonomi masyarakat juga ditekankan dalam pernyataan bersama antara Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Dana Moneter Internasional (IMF) pada 3 April lalu. “Kebijakan ekonomi hadir sebagai tambahan dan bukan sebagai pengganti pengeluaran kesehatan”.
Setahun sebelum pandemi Covid-19 menyebar, International Budget Partnership (2019), organisasi non-profit yang fokus terhadap keuangan publik, menegaskan perlunya perubahan cara pandang dalam keuangan publik yang lebih mengarah pada keadilan dan hak asasi. Hal ini karena negara-negara di dunia saat ini lebih mengutamakan disiplin fiskal menjaga defisit dan inflasi yang rendah, serta fokus pada pertumbuhan ekonomi dengan tarif pajak rendah dalam mendorong investasi swasta.
Kehadiran negara di garda terdepan saat terjadinya keadaan darurat tidak bisa ditawar. Dalam keadaan krisis, pasar atau swasta pun mengandalkan peran sentral pemerintah. Sekarang kita menyaksikan, bagaimana negara-negara di seluruh dunia menggelontorkan triliunan dollar AS dalam perang melawan Covid-19, dan atau meminjam istilahnya Philip Stephens di Financial Times (7/4/2020), era yang menjadi penanda runtuhnya rezim fiskal fundamentalisme. Karenanya, sangat tepat untuk menguji respons negara-negara terhadap penanganan Covid 19 dari perspektif instrumen fiskal yang ditetapkan.
Kehadiran negara di garda terdepan saat terjadinya keadaan darurat tidak bisa ditawar.
Potret anggaran Covid-19
Dalam konteks Indonesia, setidaknya langkah darurat ini termanifestasi dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Keuangan Negara dan Sistem Keuangan. Melalui Peraturan Presiden (Perpres Perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), anggaran sebesar Rp 405 triliun atau 2,5 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) digelontorkan untuk melawan wabah Covid-19.
Batasan defisit 3 persen dari PDB yang selama ini menjadi momok rezim fiskal fundamentalis didongkrak hingga 5,07 persen dari PDB tahun ini. Keberanian pilihan darurat politik fiskal ini perlu diuji dari sisi pemanfaatan perubahan postur anggaran itu sendiri.
Pertama, melebarnya defisit anggaran yang diikuti dengan tambahan utang Rp 654,5 triliun atau hampir dua kali lipat, lebih banyak digunakan untuk menambal jebolnya pendapatan negara dibandingkan tambahan belanja darurat Covid-19, di luar dana cadangan pemulihan ekonomi. Pasalnya, belanja negara hanya bertambah Rp 73,3 triliun sementara pendapatan berkurang hingga Rp 472 triliun.
Kita dapat memahami jika berkurangnya pendapatan negara dipengaruhi oleh perubahan asumsi ekonomi makro seperti merosotnya harga minyak dan faktor lesunya perekonomian kita. Namun menjadi persoalan, berkurangnya pendapatan juga dipicu penurunan tarif Pajak Penghasilan (PPh) badan yang diatur dalam Perppu Keuangan Negara dan Sistem Keuangan menjadi 22 persen di 2020, 20 persen di 2022, dan 17 persen untuk wajib pajak dalam negeri yang tercatat di bursa saham.
Penurunan tarif pajak badan ini sama persis dengan redaksi pasal Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Perpajakan yang diusulkan pemerintah. Hal ini memberikan kesan adanya upaya memanfaatkan situasi krisis untuk mempercepat penurunan tarif ini. Yang menjadi pertanyaan, seberapa pentingnya penurunan tarif tersebut di tengah situasi darurat ini.
Kedua, di luar pembiayaan untuk pemulihan ekonomi, sumber utama tambahan anggaran berasal dari realokasi belanja kementerian/lembaga, transfer daerah dan realokasi cadangan. Ternyata, keseriusan kementerian/lembaga turun tangan dalam keadaan darurat ini belum terlihat nyata.
Dari penelusuran penulis, hanya 15 kementerian/lembaga yang secara serius melakukan pemotongan anggaran di atas 20 persen, sementara mayoritas 45 kementerian/lembaga memotong anggarannya kurang dari 10 persen. Padahal belanja perjalanan dinas, biaya meeting dan penyelenggaraan acara-acara yang melibatkan orang banyak dapat dipastikan tidak dapat dilakukan tahun ini.
Semakin sedikit upaya penanganan masalah kesehatan, semakin berat upaya pemulihan ekonomi. Harus ada di kepala para pengambil kebijakan, jika tambahan dan komposisi anggaran ini sangat dinamis dan memungkinkan terjadinya tambahan atau pergeseran anggaran kembali dalam merespons secara cepat perkembangan Covid-19.
Semakin sedikit upaya penanganan masalah kesehatan, semakin berat upaya pemulihan ekonomi.
Transparansi dan akuntabilitas anggaran darurat
Terlepas dari pilihan politik fiskal di atas, tambahan anggaran tersebut memainkan peran penting dalam mendukung respons pemerintah menangani masalah kesehatan Covid-19 dan turunannya. Tentu kita mendukung langkah cepat pemerintah dalam melakukan reprioritasi dan realokasi anggaran menangani Covid-19.
Kecepatan pencairan anggaran dan fleksibilitas penggunaan anggaran jadi faktor penentu dalam merespons situasi darurat yang terjadi. Namun perlu diingat, korupsi dan inefisiensi justru akan menjadi lebih buruk di saat-saat krisis ini, sehingga pemerintah harus lebih ketat diawasi dalam pelaksanaan anggaran. Dalam keadaan darurat saat ini, kecepatan pencairan anggaran, fleksibilitas dan akuntabilitas harus jalan beriringan dan tak dapat dipertukarkan.
Patut digarisbawahi bahwa transparansi anggaran bukanlah barang mewah di saat darurat seperti ini, bahkan jauh lebih penting dari situasi nomal. Selain meminimalisasi penyimpangan, transparansi fiskal diperlukan untuk melacak desain rencana dan langkah-langkah yang ditempuh termasuk melihat kemajuannya dan apa yang dipertukarkan. Mengidentifikasi keberlanjutan dan risiko fiskal, serta meningkatkan efisensi dan efektivitas pelaksanaan anggaran juga ejawantah dari transparansi fiskal di saat krisis.
Pemerintah juga perlu membuat mata anggaran baru (budget line) atau terpisah, di mana Kementerian Keuangan mengambil peran di depan dalam akuntabilitas keuangan meskipun eksekusi anggaran dilakukan banyak sektor (Barroy et al, 2020). Berdasarkan Perpres Perubahan Postur APBN 2020, tambahan belanja pemerintah pusat untuk penanganan Covid- 19, dipusatkan pada Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara (BA BUN) atau yang dikenal dengan BA 999.
Perlu digarisbawahi, anggaran penanganan Covid 19 juga dilakukan kementerian/lembaga lain, pemerintah daerah, bahkan pemerintah desa.
Demi kontrol yang efektif, penelusuran penggunaan anggaran dan konsolidasi pelaporan keuangan, adanya kode rekening khusus tidak dapat ditawar. Dengan budget line terpisah proses pengambilan keputusan pemerintah berdasarkan kemajuan pelaksanaan anggaran akan dapat dipertanggungjawabkan dan dinilai efektivitasnya.
Tidak ada yang dapat memprediksi kapan situasi darurat Covid-19 ini akan berakhir. Jelas keterbukaan dan akuntabilitas anggaran saja tidak akan mampu mengatasi kondisi ini. Tetapi, dua komponen ini perekat dalam mengkapitalisasi dukungan warga untuk turun tangan dalam upaya pemerintah menghadapi musuh bersama, yakni pandemi korona
(Yuna Farhan Country Manager Indonesia, International Budget Partnership)