Ketika birokrasi di negeri ini baru mulai berbenah menghadapi disrupsi revolusi digital, kini, kita dihadapkan pada tantangan yang mahadahsyat, pandemi Covid-19.
Oleh
·2 menit baca
Ketika birokrasi di negeri ini baru mulai berbenah menghadapi disrupsi revolusi digital, kini, kita dihadapkan pada tantangan yang mahadahsyat, pandemi Covid-19.
Tantangan yang sama sekali tak terbayangkan. Pandemi ini memorakporandakan tatanan kehidupan dunia sangat cepat dan masif sehingga, tidak heran, banyak negara kelabakan menghadapinya, termasuk negara-negara adidaya.
Indonesia tidak terkecuali. Terbukti, setelah hampir sebulan diberlakukan bekerja dari rumah, pelayanan publik yang seharusnya lebih optimal membantu masyarakat menghadapi pandemi justru malah terganggu.
Seperti diulas di harian Kompas, Senin 13 April 2020, berdasarkan laporan yang masuk ke Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi pada 17 Maret hingga 9 April 2020, banyak warga yang mengeluhkan terganggunya pelayanan publik. Keluhan paling banyak adalah tidak terlayaninya pelayanan administrasi kependudukan, kelistrikan, perpajakan, perizinan, keimigrasian, serta terkait minyak dan gas. Alih-alih melancarkan penanggulangan Covid-19, berbagai gangguan ini menunjukkan kebalikannya.
Pemerintah mengeluarkan kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB), dengan mendorong warga bekerja di rumah, belajar di rumah, dan beribadah di rumah. Untuk membantu perekonomian rakyat kecil akibat kebijakan PSBB, pemerintah meluncurkan bantuan sosial. Hambatan administrasi kependudukan malah kian menyulitkan warga untuk mendapatkan akses, termasuk layanan kesehatan.
Dalam rangka memutus mata rantai penularan Covid-19, pelayanan publik saat ini dilakukan dengan penuh keterbatasan. Ada yang sepenuhnya dilakukan melalui sistem daring; ada yang dilakukan seperti biasanya, tetapi dengan prosedur ketat jaga jarak; ada juga yang mengombinasikannya. Namun, itu semua agar bisa berjalan optimal membutuhkan sejumlah prasyarat dan persiapan.
Penyiapan infrastruktur teknologi, struktur kerja yang baru yang tangkas, agile (tangkas), serta yang terpenting perubahan kultur yang memperhatikan kebutuhan konsumen menjadi keharusan.
Global Connectivity Index 2019, yang mengukur indikator transformasi digital sejumlah negara, misalnya, masih menempatkan Indonesia di urutan ke-62 dari 76 negara. Urutan teratas adalah Amerika Serikat, Singapura (4), Jepang (6), Korea Selatan (13), China (26), dan Malaysia (30).
Masih banyak daerah di negeri ini yang masih jauh dari siap.
Sejumlah daerah boleh jadi sudah lebih siap. Sebut saja DKI Jakarta, Kota Surabaya, atau Kabupaten Banyuwangi yang gencar melakukan transformasi. Namun, masih banyak daerah di negeri ini yang masih jauh dari siap.
Kini, segenap jajaran birokrasi, dari atas hingga bawah, tidak bisa lagi menunggu. Teladan dan pengawasan kerja yang terukur dari semua kepala daerah maupun pimpinan instansi dan lembaga perlu dilakukan untuk memastikan pelayanan publik berjalan optimal di tengah pandemi. Saatnya, aparatur sipil negara berada di garis depan, membuktikan komitmennya pada pelayanan publik.