Berkorban
Dari dulu dan sampai sekarang saya selalu ingin membantu orang banyak. Di masa pandemi ini menyerang, saya melihat begitu banyak orang berbudi luhur mengulurkan tangan, waktu, dan uang untuk membantu sesamanya.
Dari dulu dan sampai sekarang saya selalu ingin membantu orang banyak. Di masa pandemi ini menyerang, saya melihat begitu banyak orang berbudi luhur mengulurkan tangan, waktu, dan uang untuk membantu sesamanya. Dan saya hanya bisa terdiam di dalam rumah. Dan saya merasa sangat egois dengan berdiam di dalam rumah.
Berdiam
Seorang teman mengatakan kepada saya bahwa dengan tinggal diam di dalam rumah, saya sudah berkorban untuk membantu banyak orang agar tak jatuh sakit karena virus korona ini. Hal itu saya baca juga di banyak situs berita dan foto serta video yang saya terima. Perkataan itu membuat saya berpikir untuk pertama kali bahwa berkorban untuk orang lain tak selalu diartikan melakukan aktivitas seperti yang saya tulis di atas.
Hari ini, saya mau bertanya kepada Anda, pengorbanan apa yang sudah Anda lakukan dengan hanya berdiam, hanya dengan tidak bersuara? Saya teringat akan nasihat soal menyebar berita bohong atau berita yang belum tentu kebenarannya. Saya cepat sekali kalau menerima berita semacam itu, langsung menyebarkan ke grup Whatsapp saya yang berjumlah 30 banyaknya itu.
Saya tak bisa berdiam sejenak untuk tidak menyebarkan berita yang belum tentu benar itu. Pengorbanan yang semudah itu saja tak bisa saya lakukan. Itu juga termasuk cerita miring tentang sesama saya yang belum tentu cerita miring itu benar-benar miring. Saya tak bisa menghentikan jari-jari tangan saya untuk tidak menyebarkan berita miring itu.
Seperti Anda semua, saya sudah frustrasi tak bisa melakukan kegiatan di luar rumah selama pandemi ini berlangsung. Saya sendiri merasa jenuh setengah mati setiap pagi bangun dan tidak dapat melakukan apa-apa. Apalagi di apartemen yang kecil ini.
Mau bertemu dengan orang lain, saya juga keder setengah mati. Masalahnya, karena obat penekan imunitas yang saya konsumsi bertahun lamanya, menyebabkan saya tak punya sistem pertahanan tubuh yang maksimal.
Jadi, saya berdiam di rumah. Mengapa saya sampai frustrasi? Sebelum pandemi ini terjadi, saya sangat senang sekali. Saya senang bisa melakukan aktivitas dalam segala bentuk. Dari pagi hingga malam hari. Dua puluh empat jam itu sama sekali tak lama untuk dijalani.
Dan semua itu saya lakukan bertahun lamanya sampai tiba-tiba datanglah pandemi ini yang telah membuat saya terpenjara. Saya frustrasi karena saya tak mampu melihat bahwa dengan berdiam tak melakukan apa-apa, itu adalah sebuah bentuk pengorbanan yang mampu mendewasakan hidup saya dalam penguasaan diri. Mungkin setelah pandemi ini berakhir, dan saya bisa melakukan aktivitas lagi, maka saya lebih mampu menguasai diri dalam menghabiskan 24 jam waktu yang dberikan kehidupan ini.
Penguasaan diri
Masa yang sangat membuat frustrasi ini juga sebuah latihan kalau suatu hari saya pensiun. Saya melatih untuk menguasai diri melihat bahwa orang tak lagi menghargai kehadiran saya. Belajar untuk menguasai diri kalau saya ini tak lagi dibutuhkan. Pandemi boleh saja berakhir, tetapi saya tak bisa mengakhiri masa pensiun. Sekarang adalah waktunya untuk melatih menguasai diri.
Saya pernah membaca bahwa angka perceraian meningkat sejak pandemi ini berlangsung. Saya lupa di mana membacanya. Saya tak bisa membayangkan kehidupan suami istri yang terpenjara, karena saya lajang dan tak pernah menikah. Namun, setelah membaca itu, saya jadi melihat kepada diri saya sendiri.
Mulut saya nyinyir, tabiat saya sering menyakiti orang lain, bawelnya setengah mati. Bayangkan kalau dengan sifat dan tabiat seperti itu, saya menjadi pasangan seseorang. Saya yakin Anda akan mampu membayangkan apa yang akan terjadi kalau saya dan pasangan berdiam di rumah berbulan lamanya.
Akan tetapi, seandainya saja saya berada dalam sebuah ikatan pernikahan, saya tak akan menyetujui untuk bercerai. Adalah sangat egois hanya karena saya tak mau berkorban untuk mengubah tabiat buruk, orang lain harus menderita dan ingin bercerai.
Berdiam di rumah, melatih saya untuk berani mendiamkan mulut saya yang bawel dan berisik, dan berhenti memelihara tabiat saya yang menjengkelkan orang lain. Menghentikan tabiat buruk merupakan sebuah pengorbanan untuk menyelamatkan sebuah perkawinan. Mendiamkan mulut yang menyakitkan merupakan sebuah pengorbanan untuk saya dan orang lain.
Berdiam diri adalah waktunya melakukan evaluasi terhadap begitu banyak hal, tetapi yang terutama mengevaluasi diri saya sendiri. Apakah saya sudah menjadi atasan atau bawahan yang baik, apakah saya telah menjadi istri dan suami yang mendatangkan kebahagiaan dan bukan memicu salah satu pasangan untuk berselingkuh.
Apakah saya telah menjadi ayah atau ibu yang baik, apakah selama ini saya sudah menjadi anak yang baik, menjadi warga negara dan pejabat yang baik dan yang tak menyebarkan hoaks atau memanfaatkan situasi buruk untuk sebuah keuntungan diri sendiri.
Berani mengevaluasi diri dan mau berubah, itu adalah sebuah bentuk pengorbanan yang akan menolong banyak orang termasuk diri saya sendiri di masa saya terpenjara. Mungkin setelah pandemi ini berakhir, saya akan menjalani kehidupan yang baru, yang lebih mengutamakan penguasaan diri sebagai sebuah bentuk pengorbanan. Dengan begitu, saya tak mudah menyebarkan berita yang belum tentu benar, tak mudah menggebrak meja karena bawahan tak memenuhi tenggat untuk mengirimkan laporan, dan tak mudah terpancing untuk berselingkuh dan kemudian bercerai.