Krisis Pangan 2020
Masyarakat berperan penting dalam menjaga pangan nasional di tengah wabah korona saat ini, dengan menghindari belanja panik dan tak menimbun bahan pangan. Saatnya kepedulian, kesetiakawanan, dan solidaritas dipulihkan.
Saat membuka rapat terbatas 13 April 2020, Presiden Joko Widodo menggarisbawahi pandemi Covid-19 bisa menyebabkan krisis pangan dunia.
Pernyataan itu berdasarkan peringatan Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) yang menyatakan pandemi korona bisa berdampak pada kelangkaan pangan.
Apakah benar dunia akan mengalami kelangkaan dan krisis pangan? Bagaimana pengaruhnya terhadap ketersediaan dan stok pangan di Indonesia? Lalu apa yang harus dilakukan untuk mitigasi dampak wabah korona terhadap pemenuhan kebutuhan pangan di Indonesia?
Berita ancaman krisis pangan dunia akibat korona pertama kali muncul berdasarkan pernyataan Maximo Torero, Kepala Ekonomi FAO, saat diwawancarai BBC, The Guardian, dan media lain akhir Maret 2020. Pada 4 April 2020 FAO juga membuat pernyataan resmi agar negara-negara mengantisipasi dampak Covid-19 dalam konteks humanitarian dan krisis pangan. Pernyataan ini lalu menjadi berita besar di berbagai media internasional, termasuk di Indonesia.
Berkaitan dengan potensi krisis pangan global, produksi serealia dunia justru meningkat dari 2.567,5 juta ton (2018) menjadi 2.719,4 juta ton (2019). Pada Maret 2020, stok serealia dunia meningkat 2,4 juta ton menjadi 866 juta ton, membuat nisbah stock-to-use dalam posisi sangat aman, yaitu pada 30,9 persen (FAO, Maret 2020).
Pada 4 April 2020 FAO juga membuat pernyataan resmi agar negara-negara mengantisipasi dampak Covid-19 dalam konteks humanitarian dan krisis pangan.
Kenaikan stok dan produksi terjadi di gandum dan beras, sedangkan stok jagung menurun. Khusus negara eksportir beras, terjadi penurunan stok di Thailand, tetapi tertutupi oleh peningkatan stok di India.
Produksi gandum dunia 2020 relatif tak berubah dan mirip dengan rekor produksi gandum di 2019. Di Eropa total produksi gandum akan turun di 2020 bukan karena wabah korona, melainkan karena curah hujan berlebihan dan musim dingin yang lebih hangat yang menurunkan luas tanam dan produksi.
Penurunan produksi gandum di Eropa tergantikan oleh peningkatan produksi di Rusia yang saat ini menjadi eksportir gandum utama dunia. Asia juga mencatat potensi peningkatan produksi gandum, terutama India, di 2020.
Jika melihat sejarah, pemicu utama krisis pangan adalah gangguan produksi yang menurunkan produksi pertanian dan memicu harga pangan. Krisis pangan 2007-2008 dimulai dari kekeringan di beberapa negara produsen pangan dunia yang menyebabkan produksi turun sehingga harga meningkat tajam. Indeks Harga Pangan (IHP) FAO berada di posisi ke-135 awal 2007 dan terus mengalami kenaikan hampir tiap bulan, mencapai puncak tertinggi 222 di Juni 2008.
Krisis pangan itu menyebabkan kerusuhan di 12 negara di dunia. Pada 2009-2010 harga pangan turun karena peningkatan produksi dan stok, tetapi melonjak kembali pada 2011 dan mencapai rekor tertinggi 240 di Februari 2011. Peningkatan harga pangan menimbulkan kerusuhan besar di 15 negara di dunia dan pergantian rezim di beberapa negara Timur Tengah dan Afrika Utara yang dikenal dengan Arab Spring.
Kondisi saat ini berbeda. Harga pangan dunia selama pandemi tiga bulan terakhir (Januari-Maret) justru terus turun. IHP turun dari 183,0 di Januari menjadi 180,0 dan 172,2 di Februari dan Maret 2020. Penurunan tertajam di Indeks Harga Minyak Nabati dari 176,3 di Januari menjadi 139,1 di Maret.
Penurunan harga terjadi di semua komoditas. Susu dan produk turunannya serta gula sempat naik Februari, tetapi turun kembali Maret 2020. Dengan demikian, tak ada yang perlu dikhawatirkan dengan stok pangan dunia di 2020.
Krisis perdagangan pangan
Wabah korona tetap memberikan dampak terhadap sistem pangan dunia. Rantai yang paling terdampak adalah perdagangan pangan karena penutupan wilayah dan terganggunya pergerakan komoditas pangan di dunia. Di sisi lain, beberapa negara saat ini justru menerapkan pembatasan ekspor.
Kazakhstan, produsen gandum terbesar dunia, sudah melarang ekspor tepung gandum, biji gandum, bawang bombai, wortel, dan kentang. Rusia, eksportir gandum terbesar di dunia, mungkin juga akan melakukan restriksi ekspor sebagaimana pernah dilakukan di 2010. Vietnam, eksportir beras ketiga terbesar di dunia, saat ini juga menunda kontrak ekspor beras.
Masalah perdagangan dunia barangkali bisa muncul dalam beberapa minggu ataupun bulan ke depan dengan kian banyaknya negara melakukan pembatasan wilayah. Arus keluar masuk komoditas pertanian kian ketat dan banyak negara melakukan pengamanan untuk menjamin stok dalam negeri mereka. Hambatan perdagangan akan memicu kepanikan pemain-pemain besar perdagangan pangan global.
Jika salah satu saja pemain besar membuat keputusan yang merugikan pasokan pangan utama, kondisi akan lebih sulit dan akan menimbulkan reaksi berantai yang dapat menyebabkan volatilitas harga pangan yang ekstrem. Sebaliknya, jika semua negara di dunia mampu menjamin rantai pasok pangan internasional berjalan baik, tak melakukan restriksi ekspor maupun impor, dan komoditas pangan bisa bergerak leluasa melintasi batas negara, krisis pangan dunia tak akan terjadi karena prasyarat utama, yaitu kelangkaan pangan akibat turunnya produksi, tidak ada.
Kondisi dan mitigasi di Indonesia
Sistem pangan Indonesia saat ini praktis sudah terintegrasikan sepenuhnya dengan sistem pangan dunia yang ditandai dengan tarif impor yang sangat kecil dan bahkan nol persen untuk sebagian besar komoditas pertanian. Sistem kuota yang diterapkan juga tak berdampak signifikan terhadap ketergantungan Indonesia pada beberapa komoditas pangan impor.
Arus keluar masuk komoditas pertanian kian ketat dan banyak negara melakukan pengamanan untuk menjamin stok dalam negeri mereka.
Impor produk pertanian terus meningkat sejak 2013 hingga saat ini. Pada 2019 surplus perdagangan komoditas pertanian hanya 8,6 miliar dollar AS, terendah selama 13 tahun terakhir. Impor dan defisit neraca perdagangan tertinggi terjadi pada subsektor tanaman pangan dengan defisit 6,8 miliar dollar AS di 2019, disusul subsektor hortikultura 2,1 miliar dollar AS, dan subsektor peternakan 1,2 miliar dollar AS. Subsektor yang mengalami peningkatan impor sangat tajam empat tahun terakhir adalah hortikultura, dari 1,5 miliar dollar AS menjadi 2,6 miliar dollar AS.
Delapan komoditas yang impornya rata-rata lebih dari 300.000 ton/tahun, yaitu beras, jagung, gandum, kedelai, gula tebu, ubi kayu, bawang putih, dan kacang tanah, mengalami lonjakan impor 10 tahun terakhir. Pada 2009 impor kedelapan komoditas 8,8 juta ton dan melonjak ke 27,6 juta ton di 2018 dan sedikit turun menjadi 25,3 juta ton di 2019. Dengan demikian, apabila terjadi guncangan perdagangan global, akan langsung berpengaruh ke harga komoditas itu di Indonesia.
Untuk beras sebagai komoditas pangan terpenting di Indonesia, produksi dan stok dipastikan aman hingga Oktober 2020. Meski demikian, pemerintah harus benar-benar mencermati potensi penurunan produksi padi tahun ini. Produksi padi nasional Januari-April 2020 hanya 10,84 juta ton setara beras dan lebih rendah dibandingkan periode yang sama 2019, yaitu 13,63 juta ton beras (BPS, Maret 2020).
Musim tanam bergeser hampir satu bulan berpotensi menurunkan luas tanam Musim Tanam II. Kalau ini terjadi, selama tiga tahun berturut-turut produksi padi nasional terus mengalami penurunan.
Selain gangguan terhadap produksi padi nasional, total stok beras Bulog saat ini juga relatif rendah, hanya 1,42 juta ton (15/4/2020). Sebesar 1,36 juta ton merupakan cadangan beras pemerintah yang didominasi beras impor sebesar 0,74 juta ton, sedangkan beras medium dalam negeri hanya 0,56 juta ton.
Di sisi lain, serapan gabah ataupun beras oleh Bulog tahun ini juga menghadapi kendala, padahal cadangan pangan Bulog yang besar menjadi penjamin stabilitas pangan nasional sehingga pemerintah perlu mendukung. Harga gabah saat ini lebih tinggi daripada harga pembelian pemerintah (HPP), Rp 4.200/kg gabah kering panen (GKP).
Berdasarkan survei Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI) di 28 kabupaten sentra produksi padi, harga GKP di tingkat usaha tani Maret 2020 sebesar Rp 4.311/kg, lebih tinggi dibandingkan Maret 2019 sebesar Rp 3.982/kg. April 2020 harga GKP tetap tinggi. Pada Juli 2020 harus sudah bisa dihitung dengan akurat berapa perkiraan produksi tahun ini untuk menetapkan apakah perlu dilakukan penambahan stok dari luar negeri.
Hal penting lainnya, logistik pangan domestik harus dijamin dapat berjalan dengan baik. Masyarakat juga bisa memainkan peran penting dalam menjaga pangan nasional di tengah wabah korona saat ini, dengan menghindari belanja panik dan tak menimbun bahan pangan. Saatnya kepedulian, kesetiakawanan, dan solidaritas sosial di Indonesia dipulihkan. Kalau itu dilakukan, kita akan bisa melewati ini semua dengan baik.
(Dwi Andreas Santosa Guru Besar dan Kepala Pusat Bioteknologi IPB University dan Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI))