Langkah Tepat Saat Darurat
Pada masa PSBB, tidak perlu terlalu banyak skema program perlindungan sosial. Utamanya fokuslah pada program yang mampu memitigasi rumah tangga yang ekonominya sangat rentan.
Covid-19 benar-benar menjadi pandemi penyakit menular yang menyerang 210 negara. Data Worldometers menunjukkan, hingga 18 April 2020 tercatat sebanyak 2,24 juta orang terinfeksi virus korona baru, 153.822 orang meninggal, dan baru 568.343 orang dinyatakan sembuh.
Amerika Serikat (AS) sebagai negara adikuasa pun tak luput, bahkan menjadi episentrum pandemi di Benua Amerika. AS menempati jumlah kematian tertinggi di dunia, dengan angka lebih dari 37.095 orang, disusul Italia (22.745 orang), Spanyol (20.002 orang), Perancis (18.681 orang), dan Inggris (14.576 orang).
Sementara China sebagai tempat awal Covid-19 berasal, belakangan mengklaim telah berhasil mengatasi serangan, akhirnya harus mengoreksi data. Jumlah angka kematian di Wuhan bertambah 1.290 orang atau naik 50 persen, dari sebelumnya 2.579 orang menjadi menjadi 3.869 orang. Total jumlah kematian di China menjadi 4.632 orang dan total orang terinfeksi menjadi 82.692 orang.
Mungkin benar, sekalipun Covid-19 telah merenggut 153.822 orang, rasio kematian atau case fatality rate (CFR) rata-rata di bawah 4 persen. Dahsyatnya kecepatan penyebaran Covid-19 ini memaksa semua negara harus membatasi aktivitas warga. Bahkan, banyak negara terpaksa mengambil kebijakan lockdown ataupun karantina wilayah.
Lockdown belum tentu menjadi solusi, misalnya dengan menelisik kasus tingginya kematian di AS dan Italia. Persoalannya justru bukan pada kebijakan lockdown, tetapi lebih pada ketegasan dan kepatuhan masyarakat.
Hal ini menunjukkan, Covid-19 benar-benar merupakan wabah yang berbahaya, tidak bisa dianggap enteng, apalagi disepelekan. Imbasnya juga sudah memengaruhi rantai pasok dan mengganggu stabilitas ekonomi dunia. Hal ini berpotensi memicu krisis ekonomi global terburuk, melebihi krisis ekonomi 1998 ataupun krisis keuangan 2008.
Covid-19 benar-benar merupakan wabah yang berbahaya, tidak bisa dianggap enteng, apalagi disepelekan.
Cermat membaca data
Data Gugus Tugas Covid-19 pada 18 April 2020 mencatat, sebanyak 6.248 orang positif terinfeksi, 535 pasien meninggal (8,56 persen), dan 631 orang sembuh (10,1 persen). Data itu menunjukkan tren rasio kematian (CFR) telah turun karena pada 2 April 2020 CFR mencapai 9,5 persen. Pemerintah telah melakukan pemeriksaan tes cepat (rapid test) sekitar 45.000 spesimen. Hasilnya, jumlah orang dalam pemantauan (ODP) sebanyak 176.344 orang dan pasien dalam pengawasan (PDP) 12.970 orang.
Kasus terbanyak terdapat di DKI Jakarta, yaitu 2.902 kasus positif, 1.769 orang masih dirawat, 670 isolasi mandiri, 206 sembuh, dan 257 meninggal. Sekalipun telah dilakukan pembatasan sosial berskala besar (PSBB), jumlah ODP dan PDP masih meningkat pesat, mencapai 5.684 orang dan 5.155 orang.
Perkembangan data yang eksponensial tersebut harus dievaluasi secara detail dan menyeluruh. Tidak sekadar buru-buru disimpulkan bahwa masa pandemi telah menuju atau mendekati puncak karena proses penularan masih berlangsung cukup masif, terindikasi dari tren ODP dan PDP yang masih pesat.
Upaya yang dibutuhkan memutus rantai penyebaran Covid-19 tidak lain harus menjaga jarak fisik dan sosial. Upaya ini menuntut masyarakat lebih banyak berdiam diri di rumah.
Untuk itulah, sejumlah kepala daerah di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) meminta agar operasionalisasi kereta rel listrik (KRL) dihentikan sementara selama PSBB. PSBB itu meliputi peliburan sekolah dan tempat kerja, pembatasan kegiatan keagamaan, dan/atau pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum.
Pemberhentian transportasi umum memang tidak termasuk karena sangat vital bagi masyarakat. Namun, jika jumlah penumpang KRL masih cukup banyak karena ada yang bekerja dan beraktivitas di luar rumah, PSBB di sektor transportasi itu tidak akan bisa optimal.
Kebijakan PSBB memang berdampak besar dan luas bagi masyarakat karena membatasi bahkan menghentikan berbagai kegiatan ekonomi. Konsekuensinya, hampir semua negara yang memutuskan lockdown mengeluarkan paket perlindungan sosial dan stimulus ekonomi yang sangat besar.
AS menggelontorkan 2 triliun dollar AS (10 persen PDB), Singapura 54,4 miliar dollar Singapura (10 persen PDB), Australia 191,4 miliar dollar Australia (9,8 persen PDB), China 1,3 triliun yuan (1,2 persen PDB), Inggris 37 miliar pound sterling (1,68 persen PDB), Malaysia 256 miliar ringgit Malaysia, Thailand 518 miliar bhat (3 persen PDB), Italia 25 miliar euro (1,4 persen PDB), dan Korea Selatan 16 triliun won (0,8 persen PDB).
Indonesia yang awalnya mengalokasikan dana untuk paket stimulus fiskal pertama dan kedua senilai Rp 33,2 triliun (0,2 persen PDB), terakhir ditambah menjadi Rp 405,1 triliun.
Dengan kondisi yang seperti ini, mestinya tidak perlu terjadi polemik terkait pembatasan operasional transportasi umum pada masa PSBB. Jika penularan tidak segera dapat dikendalikan, akan berdampak pada ketidakpastian yang panjang dan justru kerugian ekonomi yang jauh lebih besar. Sementara berbagai dampak ekonomi sebenarnya masih dapat dimitigasi, asal berbagai program perlindungan sosial efektif, terukur, dan tepat sasaran.
Langkah tepat
Pada masa PSBB, tidak perlu terlalu banyak skema program perlindungan sosial. Utamanya fokuslah pada program yang mampu memitigasi rumah tangga yang ekonominya sangat rentan.
Pada masa PSBB, tidak perlu terlalu banyak skema program perlindungan sosial. Utamanya fokuslah pada program yang mampu memitigasi rumah tangga yang ekonominya sangat rentan.
Kelompok yang terdampak dan memerlukan jaring pengaman sosial terdiri atas dua kelompok. Pertama adalah kelompok miskin dan rentan miskin. Kelompok miskin yang berjumlah sekitar 25 juta jiwa sudah jelas karena dalam kondisi ekonomi normal saja memang harus mendapat bantuan.
Kelompok rentan miskin adalah yang semula dapat bekerja, tetapi karena PSBB, terpaksa harus berhenti. Data kelompok ini harus diakui tidak tersedia secara akurat. Namun, kriteria kelompok ini bisa dikerucutkan, yaitu buruh harian dan pekerja informal. Melalui pendataan RT/RW dan kerja sama dengan asosiasi yang menaungi sektor informal, mestinya dapat dengan cepat dilakukan.
Kelompok kedua adalah masyarakat terkena pemutusan hubungan kerja (PHK). Kementerian Ketenagakerjaan pada 8 April 2020 mencatat, terdapat 74.430 perusahaan yang telah merumahkan 1,2 juta pekerja. Dengan diberlakukannya PSBB, potensi PHK bisa mencapai sekitar 4 juta pekerja. Bahkan, jika PSBB diperluas ke sejumlah daerah, potensi PHK dapat mencapai lebih dari 6 juta pekerja.
Pemerintah telah menyiapkan tambahan dan perluasan dana perlindungan sosial, dari semula Rp 372,5 triliun dalam APBN 2020 akan ditambah Rp 110 triliun untuk memitigasi dampak Covid-19. Dari jumlah itu, Rp 20 triliun dialokasikan untuk program Kartu Prakerja.
Baca juga : Triwulan II-2020, Titik Kritis Dampak Covid-19
Dengan demikian, panduan realokasi dan refocusing anggaran dapat dilakukan lebih sederhana, mudah, dan terintegrasi dari pusat hingga daerah. Untuk kelompok pertama dapat dipenuhi dari anggaran dan skema program perlindungan sosial yang telah ditetapkan. Hal itu baik melalui skema bantuan sembako, PKH, subsidi listrik, maupun insentif perumahan masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).
Sementara bagi korban PHK dapat langsung direalokasikan dari program Kartu Prakerja Rp 20 triliun. Penerima Kartu Prakerja ini akan mendapatkan paket manfaat total senilai Rp 3,55 juta. Hal itu terdiri dari bantuan biaya pelatihan melalui platform digital Rp 1 juta dan insentif Rp 600.000 per bulan selama empat bulan atau Rp 2,4 juta.
Saat ini, jumlah pendaftar Kartu Prakerja sudah sebanyak 5,96 juta orang atau melebihi target penerima program itu dalam setahun, yaitu 5,6 juta orang. Jika anggaran tersebut direalokasi dan di-refocusing, dengan perhitungan satu penerima manfaat mendapatkan Rp 2,4 juta, maka dapat menjangkau 8,33 juta pekerja. Ini justru akan jauh lebih tepat sasaran.
Dengan menyasar langsung korban PHK, seleksi dan verifikasi data akan lebih mudah. Hal itu dapat dilakukan melalui koordinasi dengan perusahaan-perusahaan yang melakukan PHK. Dari sisi efektivitas program jauh terukur, mampu mempertahankan daya beli masyarakat.
Sementara pelatihan daring sulit diharapkan berjalan efektif dan mampu menghasilkan kualitas tenaga kerja terampil dan memiliki etos kerja. Apalagi jika model pelatihan daring hanya sekadar tutorial semata.
Kartu Prakerja menyediakan 2.000 jenis pelatihan daring yang melibatkan 189 lembaga penyelenggara pendidikan pada delapan mitra platform daring. Beberapa di antaranya adalah Tokopedia, Skill Academy (Ruangguru), Mau Belajar Apa, Bukalapak, Pintaria, Sekolahmu, Kemnaker, dan Pijar Mahir.
Adapun beberap paket pelatihan yang ditawarkan antara lain membuat kroket ayam keju Rp 400.000 (Mau Belajar Apa), aneka resep jajanan rumahan Rp 150.000 (Sekolahmu), bisnis jajanan rumahan Rp 75.000 (Pijar Mahir), cara mudah bisnis kue dan roti dari rumah Rp 600.000 (Pintaria), serta sukses interview, cepat dapat kerja Rp 200.000 (Skill Academy).
Padahal, berbagai konten pelatihan sejenis tersedia dan dapat diakses dengan mudah di Youtube secara gratis. Apalagi, sebelumnya, sejak lima tahun lalu, Kementerian Desa telah meluncurkan program Akademi Desa. Intinya, berbagai program pelatihan tenaga kerja, baik konvensional maupun daring.
Baca juga : Pelatihan Tidak Relevan di Masa Pandemi
Jika program Kartu Prakerja itu merujuk pada keberhasilan Finlandia, tentu tidak sepenuhnya tepat. Finlandia, sebagai negara Skandinavia atau negara sejahtera dan bebas korupsi, memberikan akses luas bagi warganya untuk belajar coding, yaitu bahasa pemprograman teknologi informasi dan komunikasi (IT) khusus untuk tenaga ahli di bidang komputer. Artinya, basis subyek ataupun obyek pelatihannya adalah bidang IT. Program tersebut sukses meningkatkan skill, reskilling, dan upskilling pekerja IT. Kini, Finlandia menjadi salah satu negara kiblat untuk teknologi IT.
Sementara akses dan penguasaan masyarakat terhadap IT di Indonesia masih sangat terbatas. Oleh karena itu, di tengah pandemi, apalagi saat PSBB, yang paling utama adalah efektivitas skema perlindungam sosial. Prioritas ekonomi lain yang tidak kalah penting adalah perlindungan terhadap berbagai usaha pertanian pangan yang belum ada skema perlindungan dan stimulus. Padahal, di samping para medis, pangan juga merupakan garda terdepan melawan Covid-19.
(Enny Sri Hartati, Direktur Institute for Development of Economics and Finance/Indef)