Surat kepada Redaksi dari Franciscus Suropati (Kompas, 8/4/2020) bercerita tentang anak-anaknya yang bisa lebih efektif belajar dan lebih ceria dengan pembelajaran metode daring. Hal ini menimbulkan pemikiran untuk mempertahankan ”model bisnis” ini.
Bisnis tidak berarti untuk berniaga saja, tetapi untuk segala proses kegiatan. Tampaknya model ini diterapkan pula di sektor lain, misalnya bidang industri kreatif. Musik dan desain disampaikan dengan metode pembelajaran digital, mulai dari cara bermain musik hingga pembuatan karakter tokoh, dilakukan lewat Zoom atau Skype.
Kolaborasi beberapa pekerja seni dalam konser musik pada masa pandemi Covid-19 ini bahkan mampu membantu saudara sebangsa dan setanah air, yang terdampak pandemi, dengan penyelenggaraan konser amal. Masyarakat Indonesia sadar atau tidak sadar ”dipaksa” belajar digital secara masif. Ini sungguh menggembirakan.
Dengan beberapa bukti di atas, secara bertahap sebenarnya telah terjadi perubahan model bisnis yang oleh para ahli dikatakan sebagai ”model bisnis digital”. Model bisnis yang semula manual berubah menjadi digital lewat bantuan teknologi.
Model bisnis digital diyakini bisa mempercepat kemajuan. Selanjutnya, alangkah baiknya apabila setelah Covid-19 berlalu, model bisnis baru ini tetap dipertahankan. Tentunya dengan penyesuaian anggaran, struktur organisasi, serta persiapan sarana dan prasarana yang optimal oleh pihak terkait, termasuk pemerintah.
Ini sesuai dengan gagasan Menteri Nadiem Makarim untuk penyiapan langkah percepatan pengembangan SDM unggul. Semoga dengan strategi baru ini, peringkat PISA anak Indonesia meningkat disertai dengan tingginya tingkat pemerataannya.
Swasta Priambada
Pengajar di FIA Universitas Brawijaya
Emisi Karbon
Indonesia mempunyai etalase dan formasi hutan lengkap, dari pantai sampai hutan hujan dataran tinggi. Ada hutan mulai dari hutan pantai, mangrove, hutan gambut, hutan tropika basah dataran rendah, hingga hutan tropika basah dataran tinggi.
Terdapat dua ekosistem hutan unik yang selalu digenangi air, yaitu hutan mangrove dan gambut. Ekosistem keduanya dianggap mampu menyerap emisi karbon terbesar dibandingkan hutan tropis lainnya.
Hutan mangrove adalah habitat unik di pantai dengan ciri-ciri khusus, di antaranya sedimentasi (tanahnya berlumpur), tergenang air laut secara berkala, menerima pasokan air tawar dari darat; daerahnya terlindung dari gelombang besar dan arus pasang surut; airnya berkadar garam payau hingga asin.
Data 2019, luas tutupan mangrove Indonesia 3,56 juta ha, terdiri dari 2,37 juta ha dalam kondisi baik dan 1,19 juta ha rusak. Hutan sekunder mangrove mampu menyimpan 54,1-182,5 ton karbon per ha. Mangrove dapat menyimpan karbon 3-5 kali lebih tinggi dari hutan tropis.
Luas lahan gambut di Indonesia 13,43 juta ha, tersebar di Sumatera (43%), Kalimantan (32%), dan Papua (25%). Badan Restorasi Gambut (BRG) mencatat 2,4 juta ha rusak akibat dari kebakaran hutan, illegal logging, dan alih fungsi lahan.
Kebakaran gambut di Indonesia pada 1997-1998 telah melepaskan 2,5 miliar ton karbon. Kebakaran 2002-2003 melepaskan 200 juta-1 miliar ton karbon ke atmosfer.
Perkebunan kelapa sawit di Kalimantan berperan besar dalam proses pengeringan hutan gambut yang menyebabkan karbon terlepas.
Melihat eskalasi kerusakan ekosistem hutan mangrove dan hutan gambut, perlu dipertanyakan komitmen pemerintah menurunkan emisi gas rumah kaca 29 persen dengan kemampuan sendiri hingga 2030. Mungkinkan target itu tercapai?
PRAMONO DWI SUSETYO
Pensiunan KLHK, Vila Bogor Indah, Ciparigi, Bogor