Kebijakan Fiskal untuk Kelas Menengah Bawah
Kita tahu dalam situasi yang mencemaskan ini, kita tak bisa membantu semua orang. Akan tetapi, setidaknya, jangan sampai pengorbanan terbesar justru diberikan oleh mereka yang paling rentan.
Kita mungkin hidup dalam zaman yang tergesa-gesa, zaman yang tak siap. Ketika wabah Covid-19 datang, kita belajar betapa rapuhnya kita. Pemerintah di sejumlah negara lalu mencoba mengeluarkan kebijakan untuk menanggulangi wabah ini. Indonesia tak terkecuali.
Pemerintah Indonesia membuat peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) yang terfokus untuk tiga hal: kesehatan, bantuan sosial, dan pemulihan ekonomi. Langkah pemerintah patut diapresiasi.
Saya pernah menulis di media ini (19/3/2020), Covid-19 dan pembatasan sosial akan berdampak terhadap perekonomian, baik akibat berkurangnya permintaan (demand shock)—karena menurunnya pendapatan—maupun berkurangnya produksi (supply shock)—karena terganggunya aktivitas produksi. Dalam kondisi ini, kebijakan fiskal harus disesuaikan dengan kondisi dan prioritas kebijakan, dan kebijakan fiskal pemerintah yang tercakup di dalam perppu memang sudah fokus menjawab persoalan itu.
Namun, seperti yang disampaikan oleh kolega saya, Rema Hanna dan Benjamin Olken, dalam dua tulisan sebelumnya, perlindungan sosial yang ada saat ini belum cukup. Perlindungan sosial perlu diperluas kepada kelompok menengah bawah.
Rema Hanna menulis bahwa program perlindungan sosial yang ada saat ini di Indonesia difokuskan bagi mereka yang miskin dan bukan kelas menengah bawah. Program-program ini juga dirancang bukan untuk mereka yang kehilangan pekerjaan karena kejutan ekonomi, seperti Covid-19. Karena itu, program bantuan sosial yang ada perlu diperluas.
Perlindungan sosial perlu diperluas kepada kelompok menengah bawah.
Ruang fiskal
Benjamin Olken menulis perlu adanya pendekatan baru untuk menjawab persoalan yang disampaikan oleh Rema Hanna. Olken mengusulkan tiga opsi kebijakan: memperluas program Kartu Prakerja, memanfaatkan teknologi digital ponsel, dan menggunakan pendekatan berbasis komunitas sebagai alat untuk memberikan bantuan sosial bagi kelompok kelas menengah bawah yang rentan terdampak akibat Covid-19.
Pertanyaannya lalu apakah ada ruang fiskal untuk itu? Bagaimana kita membiayainya? Tulisan ini akan mencoba menjawab pertanyaan itu. Mungkin ada beberapa hal yang bisa dilakukan.
Pertama, langkah pemerintah melakukan realokasi anggaran dan fokus kepada tiga prioritas utama tadi sudah tepat. Namun, mungkin prioritas bisa lebih dipertajam. Program-program pemerintah, termasuk proyek-proyek infrastruktur, belanja fisik, atau belanja modal yang tak mendesak, ditunda dulu. Anggaran kementerian dan lembaga bisa dipotong lebih jauh. Anggaran yang efektivitasnya terbatas juga bisa dipotong.
Dalam situasi pembatasan sosial berskala besar seperti ini, sebagian besar perjalanan dinas akan terhenti, acara rapat dilakukan secara daring. Relaksasi pajak juga tak sepenuhnya efektif karena jika pekerja di-PHK atau perusahaan rugi, mereka toh tetap tak menerima manfaat dari kebijakan ini.
Lebih baik anggaran seperti ini dialokasikan ke kelas menengah bawah. Prioritas harus benar-benar tajam, fokus hanya pada tiga hal utama: kesehatan, bantuan sosial, dan pemulihan ekonomi. Di luar itu, tunggu setelah situasi kembali normal.
Kedua, Indonesia memang membutuhkan defisit anggaran yang lebih besar. Pemerintah telah menghapus batas defisit anggaran 3 persen dari produk domestik bruto (PDB) selama tiga tahun. Pemerintah telah mengalokasikan anggaran untuk mengatasi Covid-19 sebesar Rp 405 triliun (sekitar 2,5 persen dari PDB) yang dialokasikan untuk: tambahan anggaran kesehatan Rp 75 triliun; Rp 110 triliun untuk tambahan jaring pengaman sosial, Rp 70,1 triliun untuk dukungan industri, serta Rp 150 triliun untuk pemulihan ekonomi.
Jika program bantuan sosial ingin diperluas kepada kelompok menengah bawah yang terpukul akibat Covid-19, seperti yang diusulkan oleh Rema Hanna dan Benjamin Olken, dibutuhkan dana lebih besar. Sebagai contoh: Bank Dunia (2020) memperkirakan ada 115 juta orang yang masuk dalam kategori aspiring middle class (calon kelas menengah).
Jika kelompok ini yang ingin dituju, bantuan perlu diberikan kepada sekitar 30 juta rumah tangga. Jika nilai manfaat adalah Rp 1 juta per bulan dan diberikan selama empat bulan, dibutuhkan Rp 120 triliun atau sekitar 0,75 persen dari PDB. Jika ini dilakukan, defisit anggaran akan meningkat dari perkiraan pemerintah saat ini yang sekitar 5,07 persen dari PDB.
Dalam situasi yang seperti ini, saya melihat bahwa peningkatan defisit anggaran yang lebih besar adalah sesuatu yang bisa dibenarkan. Moto dari kebijakan fiskal saat ini di banyak negara di dunia adalah whatever it takes (apa pun yang dibutuhkan). Mungkin ada kekhawatiran bahwa defisit yang besar akan membahayakan fiskal ke depan.
Dalam situasi yang seperti ini, saya melihat bahwa peningkatan defisit anggaran yang lebih besar adalah sesuatu yang bisa dibenarkan.
Ini bukan situasi normal. Yang paling penting adalah wabah ini bisa diatasi. Jika ekonomi tak berjalan, pertumbuhan ekonomi negatif, rasio utang terhadap PDB juga akan tetap meningkat. Sementara jika alokasi anggarannya benar—digunakan untuk kesehatan, perlindungan sosial, dan pemulihan ekonomi—pasar akan dapat menerimanya dan ekonomi akan lebih cepat pulih.
Ketiga, jika defisit anggaran dinaikkan, lalu bagaimana pembiayaannya? Yang pertama adalah menggunakan sumber pembiayaan yang ada di pemerintah, seperti saldo anggaran lebih, dana badan layanan umum, dan sebagainya. Tentu ini saja tidak cukup. Karena itu, pemerintah perlu mengeluarkan obligasi.
Jika kita hanya menggantungkan diri pada pasar obligasi domestik, akan terjadi crowding out, karena dana perbankan akan diserap oleh obligasi pemerintah sehingga perbankan akan mengalami kesulitan likuiditas. Namun, saat ini permintaan terhadap kredit juga menurun akibat terganggunya aktivitas produksi.
Akibatnya, tekanan likuiditas perbankan juga menurun. Karena itu, ruang untuk pembiayaan melalui obligasi domestik sebenarnya lebih terbuka ketimbang beberapa bulan lalu. Opsi lain adalah mengeluarkan obligasi global.
Beberapa minggu lalu, pemerintah mengeluarkan obligasi global yang direspons positif oleh pasar. Namun, ke depan, dalam situasi dunia yang mungkin akan semakin menurun, bunga obligasi akan sangat tinggi. Karena itu, pemilihan waktu kapan obligasi diluncurkan menjadi penting.
Pilihan lain adalah helicopter money, sebuah istilah yang diciptakan oleh Milton Friedman tahun 1969. Salah satu contohnya adalah meminta Bank Indonesia untuk membeli obligasi pemerintah di pasar primer. Ide ini populer saat ini, tetapi kita harus tetap hati-hati.
Kita tahu, secara konseptual, dalam kondisi resesi atau depresi (Keynesian range), di mana orang menganggur dan perekonomian jauh dari kondisi full employment (kondisi sumber daya digunakan secara penuh), metode ”cetak uang”—dengan meminta Bank Indonesia membeli obligasi pemerintah—memang akan meningkatkan jumlah uang beredar dan dapat membiayai defisit anggaran, tanpa menimbulkan inflasi yang signifikan.
Namun, perlu diingat bahwa Covid-19 adalah kombinasi dari demand shock dan supply shock. Implikasinya jika pencetakan uang dilakukan dalam jumlah yang sangat besar dan terus-menerus, pada saat produksi (aggregate supply) turun, inflasi akan meningkat. Karena itu, dibutuhkan kehati-hatian.
Kerja sama internasional
Keempat, opsi lain adalah kerja sama internasional. Sampai dengan tahun 2014, Pemerintah Indonesia pernah memiliki fasilitas yang namanya Deferred Drawdown Option (DDO), di mana jika bunga obligasi di pasar sangat mahal, Pemerintah Indonesia dapat meminjam dari Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia (ADB), Australia, dan Jepang dengan bunga yang sangat rendah.
Skema ini mungkin bisa dihidupkan kembali. Dengan itu, kita punya akses pembiayaan dengan harga murah. Selain itu, kemungkinan dukungan dari AIIB atau dukungan bilateral seperti currency bilateral swap bisa dijajaki. Saya kira kita perlu memberikan apresiasi terhadap Bank Indonesia yang memperoleh fasilitas repurchase agreement (repo) dari The Fed senilai 60 miliar dollar AS.
Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral Dunia harus bekerja sama untuk memastikan tersedianya jaring pengaman keuangan global.
Di luar itu, dibutuhkan kerja sama internasional. Menteri keuangan dan gubernur bank sentral dunia harus bekerja sama untuk memastikan tersedianya jaring pengaman keuangan global. Carmen Reinhart dan Kenneth Rogoff dari Universitas Harvard bahkan mengusulkan perlunya moratorium sementara untuk pembayaran utang dari emerging market atau negara berkembang. Bunga cicilan utang ini untuk sementara waktu bisa digunakan untuk mengatasi masalah Covid-19.
Kelima, kami juga ingin mengingatkan bahwa eksekusi program-program dengan dana besar tersebut, termasuk pemulihan ekonomi, harus dilakukan berdasarkan basis aturan (rule based), kriteria yang jelas, tata kelola pemerintahan yang baik, dan juga perlindungan yang jelas untuk pelaksana. Kalau tidak, eksekusi akan menimbulkan persoalan. Dalam hal ini penekanan kepada isu tata kelola pemerintahan yang bersih menjadi amat penting.
Wabah Covid-19 memang punya banyak cerita tentang kematian, kehilangan penghasilan, pengangguran, dan air mata. Kita tahu dalam situasi yang mencemaskan ini, kita tak bisa membantu semua orang. Akan tetapi, setidaknya, seperti yang ditulis Rema Hanna dalam tulisannya kemarin: jangan sampai pengorbanan terbesar justru diberikan oleh mereka yang paling rentan.
(Muhamad Chatib Basri
Pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia)