Saat energi dan perhatian terfokus menangani pandemi Covid-19, negara-negara ASEAN dikejutkan oleh meningkatnya tensi konflik di kawasan Laut China Selatan.
Oleh
EDITOR
·3 menit baca
Saat energi dan perhatian terfokus menangani pandemi Covid-19, negara-negara ASEAN dikejutkan oleh meningkatnya tensi konflik di kawasan Laut China Selatan.
Eskalasi, intensitas, dan wujud tensi di perairan itu semakin mencemaskan. Tak hanya bersinggungan dengan dua negara anggota ASEAN yang selama ini bergesekan dengan China dalam sengketa di kawasan itu, yakni Vietnam dan Filipina, tetapi gesekan itu juga melebar ke Malaysia. Tiga negara ini, bersama Brunei Darussalam, adalah negara ASEAN yang berstatus pengklaim (claimant) dalam sengketa Laut China Selatan (LCS), selain China dan Taiwan. Indonesia, bukan negara pengklaim, juga sempat meradang saat kapal-kapal China melakukan aktivitas di perairan zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia di Laut Natuna Utara sepanjang Desember 2019.
Hanya berselang empat bulan, suhu konflik di kawasan itu kembali mendidih. Pemicunya, seperti insiden sebelumnya, adalah kehadiran kapal survei China, dengan kawalan kapal patroli penjaga pantai dan laut, masuk wilayah perairan ZEE Malaysia, pertengahan April ini. Tak berbeda dari drama sebelumnya, insiden itu memicu reaksi dari rival China, yakni Amerika Serikat (AS), yang juga mengerahkan kapal perangnya, disusul kapal perang Australia, ke kawasan LCS.
Sangat beralasan jika Malaysia, seperti halnya juga negara ASEAN lainnya, khawatir dengan perkembangan saat ini. Seperti diberitakan harian ini, Jumat (24/4/2020), Menteri Luar Negeri Malaysia Hishammuddin Hussein menyuarakan kekhawatiran itu. Meski diakui ada kebebasan berlayar yang dijamin hukum internasional, ia menyatakan, kehadiran kapal perang di kawasan LCS ”berpotensi menaikkan ketegangan yang berujung pada salah penghitungan dan memengaruhi perdamaian, keamanan, dan stabilitas kawasan”.
Kekhawatiran itu bukan pepesan kosong. Dalam nota protes yang disampaikan Pemerintah Filipina pada Duta Besar China di negara itu, Manila mengungkap ulah kapal perang China yang membidik kapal perang Filipina di perairan sengketa pada akhir Februari 2020. Tidak ada penembakan memang dalam peristiwa tersebut, tetapi hal itu memperlihatkan tensi di kawasan mengarah pada situasi yang sangat berbahaya. Filipina menyebut hal itu sebagai ”permusuhan nyata”.
China membantah laporan yang menyebut ada perselisihan terkait aktivitas kapalnya di LCS. Namun, tak bisa dimungkiri, aktivitas kapal China dan reaksi kapal AS dan sekutunya telah memanaskan tensi di kawasan LCS. Sepatutnya, di tengah pandemi Covid-19 saat ini, tindakan seperti itu dihindari.
Kita sedikit lega, respons Malaysia menanggapi tensi di LCS akhir-akhir ini tenang dan menyejukkan. Melalui Hishammuddin, Kuala Lumpur menegaskan, semua sengketa harus diselesaikan lewat jalur damai, diplomasi, dan saling percaya. Bukan dengan konfrontasi dan pengerahan kekuatan. Dia juga menyebutkan, Malaysia menjalin komunikasi dengan pihak terkait. Dengan cara itu, tensi di kawasan itu semoga kembali mereda. Semua pihak kembali fokus pada pandemi Covid-19.