Dalam kondisi terus tinggal di rumah entah sampai kapan, saya teringat novel Gabriel Garcia Marquez, One Hundred Years of Solitude—Seratus Tahun Kesunyian. Bagaimana hidup di sudut dunia jauh dari mana-mana, jumlah penduduk 300 orang, tidak ada apa pun kecuali kesunyian.
Jose Arcadio Buendia, pelopor permukiman tersebut, menenggelamkan diri dalam kerja siang malam, mencoba melakukan penemuan demi penemuan untuk memajukan kehidupan. Dia, disusul anaknya, cucunya, cicitnya—seperti disaksikan istrinya, Ursula, yang berumur panjang lebih dari 100 tahun—adalah manusia-manusia yang secara turun-temurun dicekam kesunyian.
Barangkali betul, pergulatan utama manusia sejatinya semata-mata melawan kebosanan. Dalam novel Garcia Marquez, anak Jose Arcadio Buendia, namanya Aureliano Buendia, angkat senjata melawan penguasa. Karena apa? Dalam kebosanan ia mendapati kecurangan rezim penguasa. Perlawanan tanpa gincu cita-cita dan ideologi ini lebih sulit ditundukkan dibanding perlawanan yang jelas pamrihnya: begitu dikasih bagian mingkem, menjadi klimis dan suka menjilat.
Dugaan saya, atau tepatnya harapan saya, apa yang kita alami sekarang tidaklah akan berlangsung 100 tahun. Keadaan kita pun berbeda dengan Macondo, kota di Amerika Latin tempat Garcia Marquez menuturkan kisah yang selanjutnya menjadi salah satu novel terbesar abad ke-20.
Kita terisolasi di zaman supremasi teknologi digital. Orang bisa saling sapa melalui peranti digital, melakukan apa saja, kecuali bersetubuh. Melalui saluran Youtube, yang gemar drama musikal bisa menyaksikan Phantom of the Opera ketika digelar di Royal Albert Hall, London, tahun 2011, memperingati 25 tahun opera luar biasa itu.
Di akhir pertunjukan, si pencipta, Andrew Lloyd Webber, mengundang para pemain orisinal 25 tahun sebelumnya ke atas panggung. Termasuk di antaranya mantan istrinya, Sarah Brightman, yang tetap cantik, Weber menyebutnya ”my angel of music”. Entah seusai pertunjukan keduanya pulang ke alamat masing-masing atau alamat yang sama.
Bagi saya pribadi yang tak kalah mengesankan adalah penampilan grup band Rolling Stones di ruang tamu masing-masing membawakan ”You Can’t Always Get What You Want”. Charlie Watts menabuh kopor-kopor sebagai drum. Keith Richards tanpa pengikat kepala. Ron Wood berkali-kali mengangkat tangan mengajak pemirsa ikut bernyanyi. Mick Jagger menunjukkan vitalitas muda, melebihi milenial yang cepat mengalami kekeroposan jiwa dan menjadi korup.
Saya tidak tahu, keharusan tinggal di rumah dengan kemewahan yang difasilitasi teknologi digital ini berkah atau kutukan. Sudah jelas lebih banyak lagi jumlah manusia yang belum menjadi bagian dunia digital. Mengira semua manusia sekarang adalah milenial yang hidup nikmat, tidak berkeringat, dengan seketika sukses, kaya raya, berkapasitas menjadi penasihat penguasa, adalah pemikiran sesat.
Salman Rushdie melalui novel terbaru yang terbit 2019, Quichotte, menggambarkan satire manusia pada zaman ini yang bingung membedakan mana nyata mana tidak nyata. Diakuinya, dia terbawa ketika membaca kembali novel klasik Don Quixote karya Cervantes. Bedanya, kalau dulu Don Quixote ndableg memerangi kincir angin yang dianggapnya raksasa, Quichotte-nya Rushdie mengejar-ngejar Nona Salma R, pembawa acara televisi yang dianggapnya sebagai pribadi nyata dan menantinya.
Peradaban Barat dibangun antara lain oleh novel. Dari situ orang belajar mengenai segi terdalam kemanusiaan—humanisme. Tradisi tersebut berlangsung dalam kurun waktu ratusan tahun. Kini, tradisi ini tenggelam, digantikan kecepatan jempol oleh manusia-manusia yang mendadak ahli, menuliskan dan menyebarluaskan apa saja kecuali kebenaran.
Terus terang, di layar digital saya memilih menonton The Stones dengan ”Sympathy for the Devil” daripada menyaksikan orang sok tahu bicara. Saya juga lebih suka membaca novel daripada mengikuti informasi berikut pendapat ahli dadakan. Selain mengurangi makan sebagai wujud altruisme di masa sulit, saya merasa memerlukan diet informasi.
Siapa tahu seusai masa isolasi sosial ini manusia berubah. Bisa kembali pada kenyataan di alam, bahwa yang bisa dimakan bukanlah citra padi hasil cetak digital tiga dimensi. Yang bisa dimakan tetaplah padi hasil manusia yang bekerja bukan mengolah citra, melainkan mengolah bumi.